BEBERAPA PENGGAL KEHIDUPAN DAYAK KANAYATAN

BEBERAPA PENGGAL KEHIDUPAN DAYAK KANAYATAN
Kekayaan Ritual dan Keaneka-Ragaman Pertanian di Hutan Kalimantan Barat


SEVERAL SNAPSHOTS OF THE KANAYATAN DAYAK
Precious Rituals and Agricultural Diversity in the West Kalimantan Forest


INTISARI

Makalah ini merupakan hasil dari studi lapangan singkat masyarakat
Dayak yang menghuni Propinsi Kalimantan Barat. Lebih utama saya
memfokuskan pada kehidupan Dayak Kanayatan dan khususnya kekayaan
ritual dan pertaniannya di hutan. Menurut ahli antropologi kelompok
Kanayatan diklasifikasikan sebagai salah satu sub kelompok Dayak Darat.
Mereka salah satu sub kelompok etnis Dayak yang sebagian besar mendiami
daerah Kabupaten Bengkayang. Walaupun dulu kawasan mereka eksklusif
diduduki oleh Dayak Kanayatan serta suku Dayak lainnya, sejak lama suku
lain datang seperti, suku Melayu, Tionghoa, Jawa dan Bugis.
Klasifikasi mengenai siapa orang Kanayatan dan bagaimana budaya
orang Kanayatan sebenarnya sulit dijelaskan karena masyarakat Kanayatan
meminjam banyak aspek budaya dari tetangganya yaitu dari kelompok Dayak
sekitarnya dan aspek budaya dari perantau seperti Tionghoa, India, Arab,
Barat dan pulau-pulau nusantara lainnya yang datang sejak lama. Perantau
tersebut didesak melakukan perjalanan laut dari tempat asalnya untuk mencari
bahan perniagaan, mencari hubungan dengan masyarakat luar dan memuaskan
keingintahuan mereka serta mencari tempat yang diharapkan lebih subur dan
nyaman.
Di makalah ini dibahas antara lain, aspek kultural, organisasi sosial,
multi diversitas dalam pertanian, kepercayaan dan ritual, ekonomi, kesehatan
dan politik. Perspektif Dayak Kanayatan mengenai aspek-aspek tersebut
kelihatannya diabaikan atau dilihat sebagai hal yang dinilai kurang signifikan
oleh orang-orang luar. Disampingi aspek tersebut makalah ini juga
menyajikan sejarah lisan, mitos-mitos orang Kanayatan yang diperoleh dari
observasi dan wawancara dengan informan dan tokoh masyarakat di lokasi
dusun Senapit, desa Seles serta di desa Paham yang masih memiliki rumah
panjang dan beberapa tempat lain.
Dalam makalah ini yang akan dikemukakan adalah perihal evolusi
peradaban orang Dayak dan evolusi peradaban akulturasi. Dewasa ini
perubahan juga disebabkan oleh perilaku politik maupun bisnis yang
kebijaksanaan-kebijaksanaannya berasal dari pusat propinsi, ibu kota negara
dan bahkan dari luar negeri yang mengakibatkan perubahan serta dampak
pada pola hidup dan lingkungan masyarakat Dayak.
Makalah ini lebih menggambarkan pola hidup masyarakat Kanayatan
di pelosok sebagai sebuah tulisan etnografi klasik dari pada memfokuskan
pada gaya hidup perkotaan, gaya hidup yang sering disajikan oleh media
masa. Kebanyakan generalisasi dari orang di luar kelompok Dayak
mensteriotipkan suku Dayak sebagai masyarakat yang belum paham memeluk
era konsumerisme. Masyarakat Dayak juga dipandang memiliki perabadan
yang kurang berkembang seperti yang digambarkan oleh media populer pada
waktu kerusuhan etnis beberapa tahun yang lalu. Seandainya aspek kekayaan
peradaban masyarakat Dayak termasuk keanekaragaman pertumbuhan
pertaniannya ditonjolkan maka gambaran yang lebih menarik akan muncul.

ABSTRACT
This paper is the result of a short field study of an ethnic Dayak group
who mainly live in the Bengkayang regency in West Kalimantan. Primarily
I focus on the cultural life, rituals and agricultural aspects of the Kanayatan
Dayaks who according to some anthropologists are classified as a sub group
of the Land Dayaks. Although previously Kanayatan Dayaks and other
Dayak groups inhabited this area exclusively, since long other ethnic groups
including Malay, Chinese, Javanese and Buginese have relocated here.
It is very difficult to ascertain which sub groups are included the
Kanayatan Dayaks and what precisely is included in the Kanayatan culture
because many cultural aspects are adopted from other cultures. That is,
from neighbouring Dayak cultures as well as cultural aspects of migrants
such as the Chinese, Indians, Arabs, Europeans and other inhabitants of the
archipelago who arrived a long time ago. Those initial migrants were
encouraged to make sea journeys from their native soil to locate tradable
goods, satisfy their quest for knowledge and perhaps to find a place which
was more fertile or peaceful.
In this paper aspects of culture, social organisation, multi diverse
agriculture, economics, health and political inequitably are highlighted. It
seems that in regards to the above the Dayak Kanayatan perspective often is
being ignored and they are being marginalised by outsiders. In addition
several oral historic stories and myths are being depicted as told by
informants and prominent members of the community in the hamlet of
Senapit, the villages of Seles and Paham, the later one which still has an
original longhouse.
This paper highlights the development of Dayak society, their multi
diverse agriculture, belief system and rituals, economical and health
aspects. The changes originated by the political and business decision made
in the capital of the province, country and even overseas, which affect the
life and environment of the Dayaks.
This paper represents the results from interviews as well as
information gathered from observations which illustrates the life of the
Kanayatan Dayaks in a remote area similar to a classic ethnographic study
instead of focusing on life in urban areas, a life style which is typically
written about in the mass media. Often in generalisations the Dayaks are
stereotyped as a community which is unaware of embracing the era of
consumerism. The Dayaks are often depicted as a violent civilisation, as
illustrated by the media during the ethnic unrest several years ago. However
if the richness of Dayak civilisation including its traditional agriculture is
highlighted an appealing and vibrant picture emerges of the people,
surroundings and its culture.

BEBERAPA PENGGAL KEHIDUPAN DAYAK KANAYATAN
Kekayaan Ritual dan Keaneka-Ragaman
Pertanian di Hutan Kalimantan Barat

BAGIAN I
PROLOG
1. Latar Belakang
Sebelum masuk daerah studi lapangan di pulau ketiga terluas di dunia,
setelah membaca artikel dan tulisan lain serta menonton gambar visual
mengenai kawasan alam tropis khatulistiwa, mendorong keingintahuan saya.
Di samping menonton gambar-gambar dan membaca tulisan mengenai
keadaan alam dan hutan yang menggambarkan kehidupan budaya tradisional
orang Dayak saya juga mencari keterangan aspek historis serta antropologi
sosial di Kalimantan.
Makalah ini merupakan hasil dari pengamatan di Kalimantan Tengah dan
Barat dan khususnya etnis Dayak yang dikenal sebagai sub kelompok
Kanayatan. Masyarakat ini berasal dari kelompok induk Dayak Darat yang
menurut Andasputra (1997: 1) berjumlah 300.000 jiwa. Ini berarti jumlah
Dayak Kanayatan diperkirakan kurang lebih sepertiga dari suku Dayak di
Kalimantan Barat.
Suku Dayak sebenarnya adalah nama kolektif puluhan suku, sub suku
dan sub-sub suku. Beberapa kategorisasi digunakan pada masyarakat Dayak,
tetapi pada umumnya bisa disebutkan bahwa kelompok induk Dayak terdiri
dari Ngaju–Ot Danum, Iban, Punan, Kenyah Kayan, Lun Dayeh dan Land
Dayak sebagai kelompok utama di Kalimantan (Avé 1996 : 4). Menurut
klasifikasi Mallinckrodt, yang sedikit berbeda dari yang disebut di atas, yakni
ada enam suku induk Dayak utama. Kelompok pertama, Kenya – Kayan –
Bahhau, yang pada umumnya mendiami daerah Kalimantan Timur. Kedua,
suku Ot Danum mendiami Kalimantan Tengah. Ketiga, suku Iban tinggal di
daerah Malaysia Timur, Sabah dan Kalimantan Timur. Keempat, kelompok
Murut, yang pada umumnya di Malaysia Timur, bagian Sabah dan bagian
utara Kalimantan Timur. Kelima, kelompok Klemantan, juga sering
diklasifikasikan sebagai Dayak Darat yang tinggal di Kalimantan Barat dan
keenam, kelompok Punan yang pada umumnya tinggal di pedalaman
Kalimantan.
Kita harus mengetahui bahwa dewasa ini bahasa dan latar belakang etnis
Dayak tidak selalu mengikuti wilayah yang sama. Kadang-kadang kelompok
terpisah dari sub suku yang pindah ke daerah lain, karena kesempatan
ekonomi atau alasan lain. Masyarakat itu membawa bahasa dan kebudayaan
sendiri. Bahasa mungkin berubah sedikit, tetapi budaya dapat berubah dengan
cepat sesuai dengan lingkungannya. Misalnya, ada informan yang
mengatakan, bahwa ada kelompok orang Iban yang baru pindah pada waktu
Perang Dunia Kedua dari Sarawak ke Kalimantan Barat (Kalbar). Alasan
mereka pindah karena hidup di Sarawak terlalu berat dibandingkan dengan
hidup di Kalbar khususnya pada waktu Jepang menduduki Borneo. Setelah
perang selesai, kelompok Iban tidak kembali ke tempat asalnya. Kelompok
utama yang bukan etnis Dayak yang tinggal di Kalbar adalah kelompok etnis
Melayu, Tionghoa, Jawa, Bugis, dan Madura.
Pada beberapa dekade terakhir sering ada masalah lingkungan dan
masalah etnis di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat yang mendapat
perhatian dari media. Banyak terjadi perubahan lingkungan alam secara fisik,
tidak hanya disebabkan oleh masalah internal tetapi juga masalah yang
berkaitan dengan kondisi kekurangan tanah dan permintaan bahan mentah
dari luar Kalimantan. Walaupun kebijaksanaan pada waktu lalu mungkin
cukup mantap, sehingga pemerintah mengeluarkan izin kepada perusahaan
kayu untuk menebang pohon-pohon, tetapi kebijaksanaan pemerintah belum
memperhatikan rencana perusahaan kayu untuk rehabilitasi tanah pada masa
yang akan datang. Sekarang, short term thinking pada waktu itu
mengakibatkan erosi tanah, sehingga tidak subur lagi dan merugikan
kesempatan pada generasi muda di Kalimantan.
Hal itu sangat berbeda dari kebijaksanaan petani tradisional yang
membuka ladang secara berpindah-pindah. Setiap keluarga Dayak hanya
membuka hutan seluas satu atau dua hektar saja, sehingga keseimbangan
ekosistem hutan tidak rusak. Abu dari pembakaran hutan menjadi pupuk
alami yang mengakibatkan hasil ladang cukup dan lingkungan pertanian
kembali subur untuk manusia bertahan hidup di lingkungannya. Sesudah
panen padi atau jagung tanahnya bisa dikembalikan menjadi hutan lagi dalam
beberapa waktu. Seandainya bekas ladang sudah menjadi hutan dengan pohon
yang sudah cukup tinggi, hutan itu bisa dibuka kembali untuk memenuhi
kebutuhan primer masyarakat.
Tanaman padi menjadi salah satu faktor esensial pada suku Dayak dalam
mewujudkan kebudayaan dan lingkungan hidupnya. Tanaman padi adalah inti
dari budaya, pola pikiran dan kosmologi mereka karena keseluruhan hidup
berkaitan dengan siklus padi. Seorang informan menyatakan bahwa kalau
butiran padi tidak ditanam lagi maka tradisi Dayak bisa terancam punah.
Petani ladang gunung atau petani sawah sebenarnya sangat cakap dalam
menanam dan memilih bibit padi yang cocok dengan lokasinya. Semua desa
memiliki puluhan jenis bibit padi, yaitu beras biasa dan beras ketan, yang
ditanam di sawah atau di ladang. Tiap jenis padi mempunyai sifat yang unik,
antara lain, tahan hama atau resistensi terhadap serangga, tahan kekeringan,
menyesuaikan dengan kondisi kesuburan dan konsistensi tipe tanah. Sifat nasi
juga berbeda, ada yang keras ada yang lembut, ada yang aroma wangi dan
tidak beraroma.
Di samping suku Dayak, sudah sejak lama ada masyarakat dari luar
dengan latar belakang etnis yang berbeda yang masuk Kalimantan. Mereka
meningkatkan persaingan dalam mencari nafkah, menggali hasil bumi, seperti
emas dan intan, membuka ladang pertanian atau melakukan perniagaan.
Kerusuhan etnis Madura-Dayak yang muncul beberapa tahun lalu,
digambarkan secara grafis oleh media. Berita itu mengisi halaman pertama
selama beberapa hari di media dunia. Sayangnya berita itu tidak merincikan
alasan yang tepat, apa yang menyebabkan tindakan kekerasan dari kedua
belah pihak. Dalam berbagai media, latar belakang tindakan tersebut tidak
dijelaskan sepenuhnya, hanya pada penderitaan fisik yang mendapat sorotan.
Sampai sekarang masalah kerusuhan dan masalah pengungsi yang muncul
belum dapat terpecahkan. Bagi masyarakat Madura yang tidak langsung
mengungsi ke Jawa atau Madura dikumpulkan untuk sementara di kamp-
kamp pengungsi sekitar Pontianak. Baru-baru ini ada rencana untuk
membuka daerah bagian selatan dari Pontianak yang letaknya di pinggir laut
sebagai daerah transmigrasi baru, yang mudah-mudahan tidak akan
menyebabkan masalah keamanan bagi semua pihak pada masa depan.
Tekanan dari luar untuk memenuhi kebutuhan hidup dewasa ini lebih
intrusif lagi. Pertama karena tekanan ekonomis memaksa eksplorasi kekayaan
sumber daya alam dengan mengonversi yang tumbuh di atas bumi misalnya,
kayu hutan hujan menjadi bahan baku pada pabrik plywood serta kilang
gergaji. Hutan dan tanah dusun juga dikonversi menjadi perkebunan kelapa
sawit. Kedua, kekayaan dari perut bumi, yakni mineral-mineral digali dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat termasuk permintaan
pasar dunia. Itu menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat pasca tradisional
lebih diprioritaskan dibandingkan kebutuhan masyarakat pra modern. Bahan
mentah sebenarnya terletak di “Lebensraum” kelompok tradisional. Sejak
lama Kalimantan dilihat sebagai sumber alam yang tidak ada habis-habisnya,
padahal sumber itu sebenarnya terbatas.
Permintaan kayu pasar dunia masih kuat, sementara produksi kayu bulat
turun karena sulit memperpanjang izin atau menebang pohon secara ilegal.
Pada waktu melakukan perjalanan salah seorang penumpang yang bekerja di
pabrik kayu plywood memkonfirmasikan keadaan di Kalbar bahwa keperluan
bahan mentah pabrik yang memproduksi plywood kurang cukup. Untuk
mengatasi masalah bahan baku di Kalimantan ada kayu bulat yang masuk
dari Papua. Penebangan pohon untuk kebutuhan komersial tidak terjadi di
seluruh daerah Kalimantan. Di lokasi studi lapangan kebanyakan kayunya
ditebang untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya sendiri. Di tempat studi
lapangan yang terakhir di Kalimantan Barat, di desa Paham ada beberapa
orang Dayak yang menebang kayu untuk permintaan pasar lokal. Mereka
adalah kelompok penebang kayu yang masuk hutan memakai sepeda ontel
yang rangkanya diperkuat lagi dengan menggunakan kayu supaya bisa
mengangkat beban kayu yang berat. Mereka pulang dari hutan dengan
membawa papan kayu ke desanya pada waktu sore.
Menurut pengalaman saya kebanyakan masyarakat Kalimantan sangat
tertarik bergaul dan juga ingin mengetahui mengenai keadaan hidup orang
lain. Pada saat menggunakan transportasi umum yang makan banyak waktu,
selalu ada kesempatan untuk bercakap-cakap dengan penumpang-penumpang
lain. Khususnya komunikasi verbal diprioritaskan oleh masyarakat di desa
dibandingkan dengan komunikasi yang tertulis. Sebagai penumpang kapal
laut, sampan sungai, maupun bis umum menjadi salah satu jalur yang baik
untuk bertemu dan berkomunikasi dengan beberapa lapisan masyarakat atau
kelompok-kelompok etnis di Kalimantan. Misalnya di kapal laut dari Jawa ke
Kalimantan ada kelompok penumpang transmigran spontan yang mencari
nafkah hidup yang baru di Kalimantan, pedagang Jawa yang menjual dan
membeli barang di Kalimantan, mahasiswa Kalimantan yang mudik, dan para
penumpang yang pulang. Kalimantan adalah pulau khusus yang mempunyai
daya tarik bagi para penduduk dari pulau yang jumlah penduduknya lebih
padat. Beberapa kali di kapal laut ada kesempatan bercakap-cakap dengan
orang Jawa, Bugis, dan Flores yang menggambarkan keadaan hidupnya, asal-
usul dan tujuannya. Sering kali mereka merantau sendiri ke Kalimantan
sedangkan keluarganya masih di tempat asal. Kalau pendatang baru sudah
merasa cocok dan aman dengan tempat baru dan kesempatan pada masa
depan terbuka, seluruh keluarganya akan mengikutinya. Atau dalam situasi
lain, ibu-bapak merantau karena kontrak kerja di perkebunan akan langsung
pindah bersama dengan keluarganya.
Dikarenakan konsentrasi investasi, kepadatan penduduk, dan produksi
barang buatan berada di Jawa sementara di Kalimantan tidak banyak barang
buatan yang diproduksi maka banyak pedagang Jawa pergi ke Kalimantan
untuk menjual produk buatan. Barang yang dijual adalah bahan pokok,
konfeksi, mesin, peralatan rumah tangga, perkakas, sepeda motor, mobil,
truk, dan bahan lain yang kurang diproduksi atau ditanam di Kalimantan. Ada
juga pedagang Jawa yang mencari barang perniagaan, seperti rotan, kayu,
emas, lada, dan jagung di Kalimantan. Daerah Dayak Kanayatan, Kabupaten
Bengkayang, Kalbar adalah salah satu kawasan pertanian jagung terpenting di
Indonesia. Produksi jagung daerah tersebut menjadi bahan pokok makanan
bagi bio-industry, khususnya untuk makanan ayam.
Sudah sejak lama gaya hidup tradisional di Kalimantan menarik
perhatian pihak luar negeri. Hal tersebut salah satunya dapat dilihat dari buku
yang diterbitkan oleh “Royal Asiatic Society” pada halaman 126 tahun 1880,
pada buku itu tertulis:
“The Council of Straits Branch of the Royal Asiatic Society has resolved to
invite the assistance of persons residing or travelling ....in Borneo... with a
view to collection of fuller and more information .....in regard to the Wild
Tribes of these regions.”
Pada zaman itu pihak luar negeri berpendapat bahwa suku liar yang
dikenal sebagai masyarakat “ganas” dari Formosa, atau masyarakat “kanibal”
adalah dari pulau Turk serta Dayak liar dari Borneo. Menurut publikasi
tersebut di atas suku liar mungkin mempunyai asal usul nenek moyang yang
sama. Berdasarkan pengamatan antropolog modern, disimpulkan bahwa
budaya dan tradisi suku Dayak memang unik, termasuk aspek organisasi
sosial, perilaku sosial, seni, ekonomi dan kosmologi mereka.
Saya tinggal di Kalimantan selama satu bulan pada bulan Juni tahun
2004 untuk melakukan survei tahap pertama di Kalimantan Selatan dan
mencari lokasi studi lapangan yang mungkin sesuai dengan kriteria yang
sudah ditetapkan sebelumnya. Untuk mendapatkan informasi dan menemukan
informan yang potensial, diputuskan melaksanakan perjalanan dengan kapal
laut dari Semarang ke Kumai di Kalimantan Tengah. Setelah itu untuk tahap
kedua pada bulan Agustus dan September saya kembali selama enam minggu
ke Kalimantan Barat dan langsung memfokuskan perhatian pada suku Dayak
Kanayatan yang juga dikenal sebagai kelompok dari suku Kendayan
(Dusuman, 1949 : 10). Kelompok itu berada pada masa transisi karena
mereka sudah mengadopsi beberapa aspek modern tetapi mereka juga
berkeinginan untuk memiliki identitas sendiri atau melestarikan beberapa
aspek tradisional. Pertentangan-pertentangan juga sering timbul antara orang
tua dan pemuda yang sering menonton program televisi dari luar negeri dan
peristiwa di kota-kota besar Indonesia.
Kebanyakan informan menceritakan mengenai tradisi dan sejarah
Dayak hanya bisa ditemui pada lapisan masyarakat yang sudah lanjut usia.
Tidak mudah menemukan orang yang berumur empat puluh tahun atau yang
lebih muda yang bisa menceritakan mitos-mitos, pantun dan lagu-lagu
tradisional atau yang masih ingat bagaimana waktu orang Dayak tinggal di
rumah tradisional. Menurut perkiraan saya dalam waktu singkat, mungkin
sepuluh tahun mendatang, tradisi dari nenek moyang Dayak tidak ditemui
lagi di kampung, tetapi di perpustakaan atau di museum saja.
Semakin lama pendidikan formal para pemuda suku Dayak semakin
meningkat. Di Pontianak terdapat asrama pelajar dan mahasiswa yang
disubsidi, dan kebanyakan mahasiswa yang tinggal di sana berasal dari
daerah terpencil. Kadang-kadang mereka mendapat beasiswa untuk program
diploma, gelar sarjana atau pasca sarjana. Di kota pelajar Yogyakarta
misalnya, ada asrama mahasiswa Kalimantan yang dapat membantu generasi
muda untuk memperluas wawasan dan pengetahuan mereka.
Saya memperoleh cerita pengalaman para pemuda dan aspirasi mereka
tentang masa depan. Saya juga menemui informan dari generasi lanjut usia
yang menceritakan mitos-mitos, lagu-lagu dan menjelaskan pengalamannya
pada waktu mereka masih muda dulu.
Beberapa tahun yang lalu saya melakukan studi lapangan di daerah
tradisional orang Rimba di Provinsi Jambi. Suku itu tinggal di hutan dan
memiliki tradisi berpindah-pindah. Sekitar 20 tahun yang lalu pemerintah
memasukan proyek transmigrasi tidak jauh dari tempat mereka. Sebagian
besar suku Rimba tidak sama dengan suku Dayak dalam mengadopsi cara-
cara baru. Kebanyakan masyarakat Rimba tertarik mengikuti kebudayaan
warisan nenek moyang sebaik mungkin. Hal itu berbeda dengan orang Dayak,
pada umumnya mereka sangat tertarik dengan modernisasi akan tetapi tokoh
masyarakat sangat prihatin dengan perubahan struktur hidup dan keuntungan
yang muncul dari modernisasi. Misalnya di Kalbar Proposal Perseroan
Terbatas (PT) kelapa sawit yang masih dalam tahap feasibility study sering
ditolak oleh tokoh masyarakat karena keuntungan pada masyarakat desa
menurut mereka kurang jelas. Masyarakat berpendapat bahwa penghasilan
pada karyawan PT tersebut “tekor” atau kurang cukup. Mereka takut jika
harga kelapa sawit yang ditetapkan oleh dinas pemerintahan mungkin
dipermainkan dan kurang seimbang dengan crude palm oil (CPO) yang
ditentukan oleh harga pasar dunia dan juga tergantung pada permintaan dan
spekulator yang tidak mampu memprediksi pada masa depan.
Di dekat dusun Paling di Kecamatan Sangga Ledo, Kabupaten
Bengkayang ada PT kelapa sawit yang luasnya sekitar 1000 hektar yang
didirikan beberapa tahun yang lalu. Jika keperluan sumber daya manusia di
PT itu pada umumnya berasal dari daerah sekitarnya maka pengangguran
suku Dayak dapat dikurangi. Kebanyakan jumlah karyawan diambil dari luar
dengan gaji harian minimal 17.000 rupiah, untuk menghadapi biaya hidup
yang mahal di daerah terpencil
1
. Menurut salah seorang di desa Paling, gaji di
PT tidak seimbang dengan keperluan hidup, dan juga aneksasi tanah dan
ganti-rugi kepada masyarakat desa di sana tidak sesuai dengan kesepakatan.
2. Perumusan Masalah
Saya merumuskan masalah yang akan menjadi pedoman sekaligus
arah dari penelitian. Dari pertanyaan pokok ini dirincikan menjadi beberapa
pertanyaan hipotesis yang merupakan penurunan dari pertanyaan pokok.
Pertanyaan tersebut adalah; Bagaimanakah lingkungan alam memenuhi
kebutuhan hidup mereka? Bagaimanakah sejarah asal usul suku Dayak dan
sub suku Dayak Kanayatan Bakati? Bagaimanakah struktur sosial masyarakat
kelompok Bakati? Apakah filosofi hidup mereka dan juga pandangan hidup
di luar dunia mereka? Bagaimanakah prospek suku Kanayatan pada masa
depan?
Ada kecenderungan bahwa masyarakat yang berpendidikan formal,
yang menggunakan bahasa tulis, mengharapkan untuk mengelola sumber
daya manusia dan sumber daya alam dimana-mana. Sebuah komunitas yang
tidak hidup menurut standar tata tertib atau dengan norma yang ditetapkan
oleh pemerintah dan pejabat daerah sering dipinggirkan. Marginalisasi
tersebut tidak hanya berdasarkan latar belakang finansial atau etnis saja tetapi
1
Di bagian lampiran makalah ini terdapat tabel harga makanan pokok di Pontianak tentang
perbandingan biaya makan di pasar dengan penghasilannya tersebut.
________________________________________
juga berdasarkan agama atau kepercayaan. Kepercayaan tradisional suku
Dayak bukan merupakan salah satu agama resmi yang diterima atau yang
boleh dicantumkan pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Religi memang
terkait dengan kebijaksanaan pemerintah Indonesia. Tiap penduduk didorong
untuk menganut Ketuhanan Yang Maha Esa yang berarti menjadi salah satu
pengikut ajaran Islam, Budha, Katolik, Protestan, atau Hindu, khususnya
setelah perubahan politik pada tanggal 30 September 1965 (Gerakan 30 S).
Waktu itu penduduk yang tidak menganut kepercayaan resmi
didorong dengan keras untuk mendaftar secepat mungkin. Walaupun
mungkin mereka dipaksa menganut agama seperti Islam atau Kristen, akan
tetapi mereka sering mendaftar secara nominal saja. Banyak informan dari
tokoh masyarakat Kanayatan yang berusia setengah tua pada waktu
pergantian keyakinan menerima religi Kristen Katolik atau Protestan karena
mereka menemui banyak unsur-unsur yang mirip dengan kepercayaan
tradisional. Salah satunya adalah mitos Simulai Jadi dan Simulai Jagat yang
mirip cerita dalam agama Kristen tentang Adam dan Eve atau dalam Islam
cerita Adam dan Hawa.
Thambun Anyan (1996: 78) mencatat satu hal yang sangat menarik
mengenai agama. Pada waktu zaman kolonial masyarakat suku Dayak yang
ingin melanjutkan sekolah terlebih dahulu harus masuk Islam supaya tidak
diejek sebagai orang kafir atau orang yang dihina sebagai pemotong kepala.
Proses memilih atau pemaksaan kepercayaan baru tidak hanya terjadi
pada abad ke-19 tetapi juga sudah terjadi pada waktu agama Hindu, Islam dan
Kristen menyebar di Nusantara. Pada zaman dahulu penggantian kepercayaan
muncul dari hubungan yang lebih akrab dengan kelompok yang dipercaya
dan lebih berpengaruh atau langsung dipaksa ikut kepercayaan tertentu.
Misalnya, pada zaman dinasti Çailendra yang mendirikan candi Borobudur
2
menunjukkan sudah adanya kolonialis Jawa yang masuk Kalimantan dan
membawa aliran baru dari budaya dan agama.
2
Ada relief di Borobudur yang menggambarkan orang dengan telinga panjang dan yang menggunakan
sumpit, walaupun tidak ada bukti, diperkirakan orang itu adalah orang Dayak. Gambar itu dimasukkan
di lampiran.
________________________________________
Apabila kita mengamati struktur sosial, kita harus menyadari bahwa
struktur sosial masyarakat Dayak dapat diubah oleh pendatang yang masuk
sebelumnya. Khususnya budaya India dengan latar belakang Hindu, Budha
dan Islam. Orang Arab dengan latar belakang Islam dan orang Eropa dengan
latar belakang Kristen ikut mengubah institusi sosial di Kalimantan. Pejabat
Kühr (1995 : 78) pada tahun 1892, di Serawei, Kabupaten Sintang Hulu,
menemukan monumen Hindu dari zaman dahulu, yang dianggap sebagai
tempat suci dan untuk meletakkan sajen oleh orang Melayu dan Dayak agar
panennya dikabulkan. King (1978 : 2) menyatakan bahwa pembelahan
(fission) dan perpaduan (fusion) sosiokultural terjadi karena anggota
masyarakat sering meminjam unsur-unsur sosial yang semakin lama semakin
mempersulit kategorisasi kelompok etnik.
Enthoven menjelaskan dalam buku yang ditulis pada tahun 1903
(King, 1978 : 3) bahwa masyarakat Pengaki di Kalimantan Barat yang baru
masuk Islam, yang dalam bahasa daerah mereka disebut masok Melayu.
Mereka tidak melepaskan kebiasaan tinggal di rumah panjang, minuman
tradisional yang beralkohol dan makan jenis daging yang menurut ajaran
Islam tidak halal. Nilai atau kepentingan sosial bersama mewujudkan struktur
sosial masyarakat. Radcliffe Brown (1980: 223) menyatakan bahwa
hubungan sosial tidak muncul dari persamaan kepentingan tetapi diwujudkan
dari kepentingan bersama.
Unsur kepentingan bersama yang menyatukan masyarakat, seperti
melestarikan klan dan tujuan bersama dari sudut kesehatan atau ekonomi,
misalnya hasil panen yang cukup dan prasarana dusun, seperti jalan, sekolah
dan air bersih. Hal itu memang menyatukan masyarakat di tempat tertentu.
Agama dan bahasa yang sama juga merupakan salah satu alat yang dapat
mewujudkan persatuan. Upacara seperti untuk merayakan panen, pernikahan,
kelahiran anak, kerja bakti dan lain-lain adalah kesempatan untuk
mengakrabkan hubungan antara anggota masyarakat. Kegiatan tersebut
menolong manusia dalam perjalanan selama siklus hidup, dari kelahiran
sampai meninggal dunia, dan juga mengikuti siklus alam dan irama hidup.
(Van Gennep 1960 : 194)
3. Maksud, Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Dewasa ini khususnya dimana-mana kebudayaan di dunia berubah
dengan cepat. Pada waktu dahulu hanya manusia yang masuk secara fisik dan
membawa hal abstrak seperti ilmu, bahasa, filosofi, kepercayaan atau hal
konkret seperti perhiasan, kain, senjata, makanan dan lain-lain, ke daerah
tradisional, dapat mengubah kebudayaan. Berbeda dengan saat ini, orang
tidak perlu sampai ke sana secara fisik. Transfer ilmu, tingkah laku manusia
dan transfer sikap dari luar sebenarnya lebih mudah terjadi. Hal-hal baru bisa
didengar dan ditonton melalui radio atau televisi. Pengaruh atau transfer hal
tersebut dengan radio luar biasa, tetapi pengaruh televisi lebih luar biasa lagi.
Daerah studi lapangan berada di pegunungan yang tidak terlalu tinggi,
sekitar tiga jam jaraknya dengan menggunakan bis umum dan ojek dari
Bengkayang, ibu kota Kabupaten Bengkayang. Untuk mengunjungi
Bengkayang sebenarnya memerlukan waktu enam jam dengan bis dari kota
Pontianak. Sebelum masuk daerah ini saya berencana memilih daerah studi
lapangan di dusun yang cukup jauh dari jalan aspal, yang belum masuk aliran
listrik untuk merekam atau memotret snapshot kehidupan orang Dayak di
desa terpencil.
Sebelum memulai studi lapangan saya mempersiapkan bahan
referensi antropologis yang terbit pada waktu sebelum Perang Dunia Kedua.
Pada waktu itu kehidupan orang Dayak sangat tradisional. Rumah panjang
ada dimana-mana di Kalbar, masih ada kepercayaan tradisional yang
dijalankan sepenuhnya dan hiasan kain pakaian yang luar biasa berbeda.
Banyak upacara masih sering diikuti oleh semua penduduk dan kebutuhan
makanan berasal dari dusun mereka sendiri dan belum banyak unsur budaya
dari luar yang diserap.
Keadaan kultural itu jauh berbeda dengan tahun 2004. Di desa Senapit
beberapa pemuda punya hiasan gaya Barat, seperti tindik atau body pierce di
bibir, hidung dan di alis mata. Sesungguhnya selama satu tahun ini ada
parabola yang menyerap program-program yang disiarkan baik dari dalam
dan luar negeri. Hampir tiap malam, seandainya tidak ada gangguan dengan
alat pembangkit listrik disel, dan mereka punya cukup uang untuk mengisi
tangkinya, gambar-gambar berita, sinetron Jakarta, telenovela Amerika
Selatan, Bollywood, Hollywood dan MTV masuk ke daerah tengah hutan
Kalimantan. Listrik di dusun diutamakan untuk televisi dan yang kedua untuk
lampu. Ada dua rumah yang punya televisi di Senapit. Sekitar 50 orang
berkumpul dari anak kecil sampai orang dewasa untuk menikmati gambar-
gambar di layar televisi. Orang yang sudah lanjut usia kelihatannya tidak
tertarik dengan program-program tersebut. Keahlian mereka termasuk
mendongeng (storytelling) tidak diajarkan lagi dan menjadi bagian tradisi
zaman dulu. Mendongeng tidak bisa bersaing dengan gambar-gambar
berwarna dan musik pop saat ini.
Sebelum berangkat dari Yogyakarta beberapa teman yang berasal dari
Kalimantan menyatakan bahwa teknologi baru diterima dengan baik oleh
suku Dayak. Suku Dayak memang sangat adaptif dengan budaya modern
yang baru masuk. Dampak listrik, satelit dan televisi sangat mempercepat
perubahan budaya.
Salah satu alasan menulis makalah tentang masyarakat Dayak
Kanayatan adalah untuk mengetahui sifat-sifat kebudayaan tradisional yang
masih dimiliki dan dilihat atau dialami secara intensif oleh generasi paruh
baya dan generasi yang lebih tua, sebelum ilmu dan hidup mereka hanya bisa
ditemui di perpustakaan saja. Alasan kedua untuk menulis adalah meneliti
perilaku pemuda dan keinginan masyarakat umum tentang masa depan,
khususnya setelah Kabupaten Bengkayang terpisah dari Kabupaten Sambas,
dan banyak transmigran didorong secara keras untuk pindah dari daerahnya.
Dalam makalah ini saya juga tertarik dan ingin mengetahui kosmologi
masyarakat, maksud dan tujuan hidup manusia menurut orang Kanayatan.
________________________________________
Keterangan yang didapat dari studi ini digunakan untuk memahami
masyarakat secara mendalam dan holistik mengenai prinsip-prinsip dan
pengendalian sosial.
4. Metode Penelitian
Sebelum melakukan studi lapangan dan masuk ke lokasi
penelitian, beberapa keterangan dicari di perpustakaan dan saya mendapat
beberapa publikasi dari pejabat-pejabat pada waktu mereka bertugas di
Kalimantan, seperti Mallinckrodt dan Kühr, dan pengalaman misionaris-
misionaris seperti Dunselman yang tinggal bersama masyarakat Dayak. Ada
juga tulisan eksplorir yang menciptakan gambar-gambar dari pengalamannya,
dan ahli antropologi, sosiologi dan biologi pada waktu mereka berada di
pelosok. Memang mustahil untuk mengulangi apa yang diceritakan oleh
Perelaer pada tahun 1887 di halaman 217:
“...... 28 koppen waren buitgemaakt....de ogen uit de kassen halen
....eindelijk in de schedelholten wroeten om de hersens uit te halen”
“......28 kepala manusia direbut.... mata manusia dicongkel dari
lubangnya ...terakhir menggali otak dari tengkorak dengan tangan.....”
Contoh tulisan di atas dari abad yang lalu mengindikasikan orang
Dayak disteriotipkan sebagai orang liar atau ganas pada waktu itu. Fenomena
tersebut juga terkait dengan keadaan yang dikenal dengan istilah etnosentrik
yang pertama kali digunakan oleh Summer pada tahun 1906. Artinya
masyarakat di luar kebudayaan atau lokasi pengamatan diobservasi dengan
norma budaya atau nilai-nilai yang berlaku dalam kebudayaan pengamat. Ada
faktor lain bahwa penulis memberi warna tulisannya dari sudut pribadi sendiri,
sesuai dengan keinginan dan tujuan penulis.
Beberapa tahun yang lalu seorang mahasiswa etnis Dayak di
perpustakaan Yogyakarta, memberi keterangan bahwa perubahan budaya
Dayak sangat cepat. Dia menyarankan untuk berkunjung langsung dan secepat
________________________________________
mungkin. Memang itu juga dikonfirmasikan oleh para antropolog yang
kembali ke bekas daerah penelitiannya. Pada umumnya mereka terkejut bahwa
beberapa aspek budaya yang membuat budaya Dayak itu unik yang baru saja
mereka teliti cepat luntur atau hilang.
Beberapa metode digunakan untuk mengumpulkan data studi
lapangan ini. Metode utama adalah observasi, partisipasi dan wawancara. Di
luar lokasi penelitian adalah penelitian arsip dan studi pustaka. Pengalaman di
lokasi ditafsirkan sebaik mungkin, dan terutama di Kecamatan Ledo.
Observasi sering dilakukan di dusun dari pagi-pagi sampai tengah
malam. Pola kehidupan rutin, dimana masyarakat bangun pada waktu pagi,
pergi ke ladang dan kembali ke rumah. Kadang-kadang laki-laki berburu
dengan senapan atau memancing, sedangkan perempuan mencari kayu bakar,
sayur rebung, pakis dan lain-lain. Pada waktu sore masyarakat pulang ke
kampung dan mempersiapkan untuk memasak, mandi atau makan malam.
Pada waktu malam masyarakat bercakap-cakap dengan cahaya lampu minyak
tanah. Anak-anak kecil di rumah biasanya dipelihara oleh bagian masyarakat
yang tidak perlu pergi ke ladang. Ada warga desa yang membuat kerajinan
tangan dan ada yang sibuk dengan mengurus rumah. Pada sore hari waktu
mereka pulang dari ladang, dusun menjadi ramai.
Partisipasi saya dalam kegiatan di dusun sangat penting, dimana saya
ikut serta aktivitas gotong royong seperti kegiatan memelihara pipa air minum
sepanjang dua kilometer dari waduk ke dusun. Ini adalah salah satu aktivitas
yang menyatukan semua warga dusun. Mengikuti orang dusun ke ladang,
mencari kayu bakar atau pergi ke sungai mencari siput dan ikan mempererat
hubungan saya dengan masyarakat dusun.
Wawancara dilakukan dengan orang yang mempunyai banyak
pengalaman dan bisa menceritakan keadaan pada waktu yang lalu. Mereka
bisa membandingkan politik yang diatur oleh masyarakat di dalam dan yang
dilakukan oleh masyarakat dari luar. Pemuda masih mencari jalan hidup
sendiri yang cocok dengan keinginan dan kesempatan mereka. Pemuda juga
mempunyai gagasan sendiri tentang apa yang dialami sendiri. Pada umumnya
________________________________________
mereka terbuka dan tertarik pada sifat-sifat yang baru muncul dan yang bisa
diamati di kota dan yang ditonton di televisi.
Penelitian arsip dan studi pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data
di luar lapangan yang sudah disusun oleh pihak ketiga. Arsip dan pustaka
memberi keterangan yang tidak ada di lapangan. Makalah ini dideskripsikan
dan didasari pada studi kualitatif orang Kanayatan dengan mengutamakan
observasi langsung di lapangan. Untuk menyempurnakan studi lapangan juga
penting untuk memasukkan data statistik dan observasi dari pihak lain. Dari
sudut sejarah, observasi dan catatan dari orang lain, sangat penting untuk
membandingkan cara hidup pada waktu sebelumnya dengan yang sekarang.
Tiap kekerabatan atau keluarga inti punya hak sumber non fisik,
seperti aksi politik, dan hak nyata seperti rumah, ladang, perkebunan karet dan
lain-lain. Waktu saya yang terbatas menyebabkan tidak ada kesempatan untuk
menyaksikan upacara kelahiran, pernikahan, meninggal dunia dan kelakuan
sosial individu.
Tahap pertama studi lapangan dimulai di pelabuhan Kumai,
Kalimantan Tengah pada bulan Juni 2004. Alasan saya datang ke daerah
bagian selatan Kalimantan disebabkan ada informan yang menceritakan
bahwa ada suku Dayak di hulu sungai Lamandau yang menurut mitos asal
usul mereka dari Minangkabau, Sumatra Tengah. Sebenarnya, diceritakan
bahwa perlu waktu satu jam untuk mendaki gunung dari Karang Besi. Di atas
ada pemukiman Dayak, dan tidak begitu jauh dari sana ada batu besar yang
bentuknya sama dengan perahu batu yang membuktikan secara visual mitos
mereka.
Menurut Hose (1990 : 7) dalam teks orisinal yang ditulis pada tahun
1926 dikemukakan bahwa beberapa abad yang lalu suku Iban merupakan
salah satu suku yang mungkin merantau dari Sumatra. Hipotesis dari Adelaar
yang mengumumkan migrasi kembali ke Kalimantan menunjukkan
kemungkinan orang Dayak memang berasal dari Kalimantan yang pindah ke
________________________________________
luar dan pada akhirnya kembali lagi ke Kalimantan. Dewasa ini karena
banyaknya migrasi, pernikahan di luar kelompok asli, dan juga orang Dayak
yang pecah dari kelompoknya menyebabkan sulit untuk menemui tokoh
masyarakat adat yang bisa menceritakan mitos dan sifat-sifat lain budayanya.
Transportasi yang lebih cepat dewasa ini, seperti speedboat dan jalan
darat yang baru menjadikan percampuran suku lebih mudah dan melunturkan
budaya asli. Pemuda dan masyarakat yang berumur sampai setengah tua
jarang yang mampu mengingat atau belum menerima cerita dari nenek
moyangnya, apa lagi unsur-unsur budaya lain dari masa lalu. Saat ini
tantangan sehari-hari jauh berbeda dari tantangan nenek moyang mereka
dahulu. Sekarang tidak perlu waspada terhadap pengayauan tetapi perlu
waspada terhadap orang dari luar yang mengambil hasil dari hutannya dengan
harga murah.
Sama dengan orang kota, masyarakat di pelosok juga tergoda dengan
gaya hidup “ala” konsumerisme. Salah satu anggota tokoh masyarakat
memakai istilah “mabuk penyakit pasar” yang menurut dia artinya;
berkeliling di pasar kota, sekaligus menikmati segala sesuatu di sana dan
akan hilang keinginan untuk kembali ke desa lagi atau tidak berkeinginan lagi
untuk mencari nafkah seperti petani.
Realitas saat ini adalah banyak hutan sudah ditebang dan kesempatan
mencari sayur seperti rebung, daun pakis dan memburu binatang dan burung
tidak sama dengan 20 tahun yang lalu. Ada PT dan perusahaan yang berminat
masuk untuk menggali emas, batu-bara dan membuka ladang minyak, yang
memang mengubah sistem ekologi, ekonomi dan budaya mereka secara
drastis.
Ketika pertanian perkebunan komersial masuk wilayah mereka, pasti
ada perubahan, itu juga dikonfirmasi salah seorang karyawan dari PT yang
sudah mengelola beberapa proyek konversi hutan. Seandainya konversi hutan
terjadi, kerutinan atau irama hidup tidak diatur lagi oleh musim dan ladang
________________________________________
padi atau keperluan hidup sehari-harinya saja. Kehidupan mereka diatur oleh
permintaan Koperasi Unit Desa (KUD) atau perusahaan yang mengatur
jadwal panen dan jadwal memberi pupuk supaya hasil panennya sesuai
dengan harapannya dan proteksinya. Pola pemukiman diatur oleh pengelola-
pengelola PT yang mungkin mengubah pola interaksi masyarakat, pola
makan dan yang lainnya. Pada akhirnya pola hidup tidak sama dengan yang
sebelumnya. Seorang sosiolog terkenal M. Mead (Schoor 2003: 14)
mengemukakan bahwa manusia selalu bisa diadon dan dibentuk.
Sekarang ini harga bahan pokok tidak stabil dan kebijaksanaan
pemerintah terhadap masyarakat lapisan bawah mengenai subsidi bahan
primer tidak sama lagi, artinya mungkin dikurangi atau dihapuskan total.
Untuk memperoleh impresi nyata tentang orang Dayak dan
lingkungannya saya memutuskan untuk melakukan perjalanan dari
Kalimantan Tengah (Kalteng) ke arah barat dengan menggunakan
transportasi darat dan air. Dataran pantai selatan Kalimantan Barat rendah
dan pada musim hujan sungguh sulit dan kadang-kadang mustahil untuk
menyeberang dengan angkutan darat umum. Perusahaan bis menggunakan
musim hujan untuk mencabut jadwal biasa dan memperbaiki bis secara total
yang menempuh jalur Manismata-Ketapang. Setelah beberapa hari,
perjalanan dari Pangkala-bun saya sampai ke Pontianak, ibu kota Kalimantan
Barat.
Menurut Gubernur Aspar Aswin dalam artikel harian Kompas tanggal
4 April 1997, jumlah penduduk suku Dayak sekitar 42 persen dari seluruh
jumlah penduduk di Kalbar. Hal itu juga menjadi alasan untuk memutuskan
fokus perhatian pada kelompok Dayak di Kalbar dan memilih Dayak
Kanayatan sebagai kelompok penelitian. Sulit sekali untuk memastikan siapa
orang Dayak Kanayatan yang juga dikenal oleh beberapa pihak sebagai
Dayak Kendayan atau juga diklasifikasikan sebagai salah satu kelompok dari
Dayak Darat. Bahasa mereka adalah Bahasa Bakati yang juga sering
digunakan sebagai klasifikasi kelompok. Seorang misionaris asal Eropa yang
menjadi warga negara Indonesia dan lama tinggal di daerah Kanayatan
menjelaskan bahwa klasifikasi Dayak tidak selalu jelas dan membingungkan
masyarakat Dayak sendiri. Dalam makalah ini kedua istilah Kanayatan dan
Bakati digunakan. Pada waktu reformasi dan era otonomi daerah sekarang ini
latar belakang etnis menjadi alat kuasa politik.
________________________________________
BAGIAN II
SEJARAH, GEOGRAFI dan BAHASA
1. Sejarah
Suku Dayak dikatakan sebagai salah satu kelompok etnis tertua di
Kalimantan. Menurut mitos, nenek moyang orang Dayak berasal dari
Kalimantan. Catatan sejarah tentang orang Dayak sebelum tahun 1850
sebenarnya sangat nihil, dan orang Dayak Kanayatan sendiri hanya
mempunyai sejarah lisan. Ada beberapa hipotesis dari para ahli, seperti dari
Kern dan Bellwood yang menunjukkan bahwa orang pada zaman sekarang di
Nusantara mungkin berasal dari Yunan, Tiongkok yang datang ke Nusantara
secara bergelombang beberapa milenium sebelumnya. Pada tahun 1938
ditemukan tengkorak Homo Sapiens yang berumur sekitar 38.000 tahun di
salah satu gua di Niah, yang terletak di pantai utara Sarawak. Tengkorak itu
mirip tengkorak suku Dayak Punan pada zaman sekarang (Avé 1996 : 6).
Menurut Sellato (2002 : 128) aktivitas orang Dayak sebenarnya
beradaptasi dengan lingkungannya dan juga tergantung sosialisasi dengan
suku tetangganya. Dia berpendapat bahwa kelompok nomaden, hunter and
gathers, yang tinggal di pelosok secara pindah-pindah, dan juga tinggal jauh
dari kelompok lain mereka senantiasa berswadaya. Kelompok Dayak lain
juga beradaptasi dengan lingkungannya tetapi mereka tidak berswadaya
secara menyeluruh seperti kelompok yang disebut di atas. Ada juga
kelompok ketiga, yang berasimilasi total dengan pendatang baru, mereka
tetap bertani dan membudidayakan binatang-binatang tertentu dan mungkin
juga mengadopsi bahasa dari imigran sekitarnya.
Bahasa Dayak menurut para ahli linguistik diklasifikasikan sebagai
Malayo Polynesia dari keluarga bahasa Austronesia (www.ethnologue.com :
2004). Menurut hipotesis Adelaar, Borneo dilihat sebagai homeland, daerah
asal, bahasa Malay(ic) (Adelaar 2004 : 4). Ada ahli bahasa lain yang
berpendapat bahwa homeland bahasa Malayic berada sekitar 100 kilometer
dari hulu sungai Sambas, tetapi pendapat itu harus dipertimbangkan dengan
hati-hati, karena belum cukup data yang mendukung hipotesis itu, menurut
Adelaar. Walaupun ada persamaan keluarga bahasa, namun tidak harus
memiliki persamaan etnis. Belum cukup temuan arkeologis yang didapat
untuk membuktikan asal usul orang Dayak. Hipotesis-hipotesis dan tulisan
tersebut di atas hanya mengindikasikan bahwa suku Dayak sudah lama
berada di Kalimantan.
Tampaknya sekitar abad ke-11 suku Melayu masuk (atau kembali) ke
Sambas, Mempawah, Sangga, Sintang dan kemudian menyebar ke tempat
lain. Menurut pendapat umum agama Islam menyebar ke Kalimantan sekitar
abad ke-15. Ini menunjukkan bahwa Islam masuk setelah orang Melayu dan
Jawa membawa unsur-unsur agama Hindu dan budaya dari zaman Sriwijaya
dan juga dari zaman Majapahit ke Kalimantan. Salah satu Kerajaan Hindu
tertua di Kutai didirikan sekitar abad keempat, tepatnya di Kalimantan Utara.
Disebutkan bahwa di candi Borobudur ada gambar laki-laki dengan telinga
panjang yang sepertinya menggunakan sumpit yang panjang. Relief ini
mungkin melukiskan orang Dayak (Avé 1986 : 13). Menurut Kühr (1995 :
53) dewa-dewi orang Dayak yang tinggal di pinggir sungai Kapuas,
sebenarnya diberi nama dewa-dewi Hindu-Jawa yang didayakkan seperti;
Petara (Batara), Jubata (Déwata) dan Sengiaug (Sang Hyang).
Di samping back migration (merantau kembali) orang Melayu,
bangsa Tionghoa berlayar ke pantai Asia Timur pada abad ketiga untuk
perdagangan dan kembalinya melalui Kalimantan dan Filipina dengan
memanfaatkan angin musim. Bangsa Tionghoa adalah kelompok etnis yang
cukup penting dalam sejarah Kalimantan, sehingga sejarah mereka penting
disorot.
Sekitar abad ketujuh orang Tionghoa mulai menetap di Kalimantan
tetapi mereka tetap bercorak Cina dan hubungan dengan negeri leluhur
mereka selalu dipelihara. Pada tahun 1292 pasukan Kubilai Khan dalam
perjalanannya untuk menghukum raja Kertanegara dari Majapahit di Jawa
singgah di pulau Karimata yang terletak tidak terlalu jauh dari Pontianak.
Kawasan tersebut termasuk jaringan lalu lintas rute pelayaran dari daratan
Asia ke Asia selatan. Pasukan Tar-tar dari Jawa menderita kekalahan total
dalam pertempuran dengan pasukan Kubilai Khan. Ada kemungkinan bahwa
sebagian besar pasukannya lari dan menetap di Kalimantan karena mereka
takut dihukum oleh pejabat Kubilai Khan yang masih ada di Jawa.
Agama Islam di Kalimantan juga ikut disebarkan oleh orang
Tionghoa. Pada tahun 1407 berdiri perkumpulan masyarakat Tionghoa
Hanafi yang menganut Islam di Sambas. Laksamana Cheng Ho seorang Hui
adalah penganut Islam dari Yunan yang atas perintah Cheng Tsu
3
dan anak
buahnya masuk untuk menguasai daerah tersebut. Dia menetap di sana dan
menikah dengan penduduk setempat, serta menyebarkan agama Islam kepada
penduduk lokal.
Pada tahun 1609 Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang
aktif dari tahun 1602-1799 menjalin peniagaan dengan kerajaan Sambas,
yang pada waktu itu masih di bawah kedaulatan kerajaan Johor. Dalam waktu
yang relatif pendek perselisihan terjadi dan beberapa orang Belanda dibunuh
oleh masyarakat Sambas. Pada tahun 1612 tindakan pembalasan oleh VOC
terjadi, sebuah kampung di Sambas juga dibakar.
Pada abad ke-17 sudah ada dua rute laut dari Cina melalui Indo-Cina
ke Nusantara. Pertama yang terus ke Malaya dan pantai Sumatra Timur lalu
ke Bangka-Belitung serta pantai Kalbar, terutama Sambas dan Mempawah.
Rute laut kedua melalui Borneo Utara terus ke Sambas dan pedalaman
Sambas dan Mempawah Hulu.
Pada tahun 1745 gelombang besar masyarakat Tionghoa datang
dengan persetujuan Sultan Sambas untuk membuka tambang-tambang emas.
Pada waktu itu sepertujuh produksi emas dunia diperkirakan berasal dari
Kalbar. Orang Tionghoa membentuk kongsi di Montrado dan di Mandor,
kongsi itu semakin lama semakin kuat. Perkongsian itu menetap di daerah
tersebut dan wajib membayar upeti kepada sultan Melayu. Pembayaran itu
mengakibatkan sultan memberi izin kepada orang Tionghoa untuk mengatur
3
Kaisar keempat dari dinasty Ming.
daerah sendiri, seperti urusan pemerintahan lokal dan punya pengadilan
sendiri. Orang Dayak yang tidak merasa cocok dengan kekuatan orang
Tionghoa berpindah ke luar daerah kekuasaan kongsi tersebut.
Gelombang perantau baru dari Tiongkok masuk karena hidup di
Kalimantan aman dan ada cukup kesempatan untuk mencari emas, intan,
perak dan juga karena tanahnya cukup subur. Pada tahun 1777, orang
Tionghoa dari suku Tio Ciu dan suku Khe yang mencari emas di Mandor dan
Montrado mendirikan Republik Lan Fong di Mandor, enam tahun setelah
kota Pontianak didirikan. Pada umumnya hanya laki-laki Tionghoa yang
merantau, ini dikarenakan mereka cepat berbaur dan bisa memperistri wanita
Dayak atau Melayu. Kelompok Tionghoa cepat berkembang sehingga jumlah
mereka mencapai 30.000 jiwa. Pada waktu itu, setelah mereka berkembang
mereka berani melawan pemerintahan sultan. Beberapa pertempuran terjadi
antara kongsi-kongsi dan pangeran dari Sambas.
Pada tahun 1818 bendera Belanda dikibarkan di Sambas dan atas
alasan perjanjian Belanda dengan Sultan, kepala-kepala Tionghoa sebenarnya
berada di bawah kekuasaan Belanda. Setelah beberapa pertempuran berat
terjadi, kekuasaan kongsi-kongsi Tionghoa dibubarkan di seluruh daerah
Kalimantan Barat dan Republik Lan Fong Mandor yang berkuasa selama 107
tahun dan Republik Montrado yang berkuasa selama 100 tahun diakhiri
(Lontaan 1975 : 256).
Sekitar 18 bulan setelah G30S meletus di Jawa, yang menyebabkan
Soeharto menjadi pemimpin Indonesia, orang Dayak mengusir sekitar 45.000
jiwa Tionghoa dari pelosok dan membunuh ratusan jiwa Tionghoa, sebagai
aksi politik untuk mengimbangi masalah pada zaman dahulu (Schwarz 2004 :
21). Dari tulisan di atas dapat disimpulkan bahwa pemerintah kolonial
mempengaruhi kehidupan orang Dayak, dan juga bahwa sejarah orang
Tionghoa, Melayu dan Dayak sangat terjalin.
Apa yang sudah disebutkan di atas, orang Melayu masuk dari
Sumatra dan dari Semenanjung Malaka sekitar abad ke-11 atau ke-12 dan
berbaur dengan orang Dayak. Pada umumnya mereka mendiami daerah
pinggir laut dan menjadi perantara orang luar dan orang Dayak yang ingin
menukar atau menjual hasil hutan. Orang Melayu juga berbaur dengan
keturunan orang Jawa yang sudah masuk sebelumnya. Seorang Ratu dari
keturunan Hindu Majapahit yang memerintah daerah Sambas pindah ke
agama Islam untuk memudahkan perniagaan dan mengembangkan hubungan
baik dengan Johor dan Brunei yang sudah masuk Islam. Dewasa ini istilah
Melayu digunakan sebagai kontras Dayak dengan Melayu. Istilah Melayu
tidak digunakan sebagai referensi etnis tetapi sebagai referensi Islam kontras
non-Islam. Peningkatan jumlah besar orang Melayu di Kalimantan
disebabkan oleh orang asli atau Dayak yang memeluk Islam dan bukan
karena jumlah besar orang Melayu yang merantau ke Kalimantan. Orang
Dayak yang memeluk Islam tidak berarti bahwa mereka selalu memeluk
secara penuh tetapi mungkin hanya secara nominal.
Pada zaman dahulu, orang Dayak yang tidak mau dikuasai oleh suku
lain terdesak dari pantai ke pedalaman Kalbar. Tergantung kekuatan suku
Dayak tertentu, mereka membayar upeti atau tidak. Upeti dibayar dalam
bentuk hasil hutan kepada sultan yang dibawa dengan sampan oleh pedagang
Melayu ke hilir, ke pusat perdagangan di pinggir laut. Ada juga suku Dayak
yang bertahan yang disebut “Dayak merdeka” dan mereka tidak dikuasai
langsung oleh kerajaan Melayu pada zaman dahulu.
Aktivitas perniagaan menyebabkan aspek baru muncul seperti
pembayaran dengan uang atau membayar dengan kredit atau pinjaman
dengan jaminan. Institusi sejenis “budak hutang” (pandeling) muncul sebagai
jaminan diri sendiri terhadap hutang yang ada, setelah mendapat barang
perniagaan tanpa menukar dengan duit atau barang hasil hutan (Mallinckrodt
1928 :136). Selama “budak hutang” tidak mengembalikan hutangnya atau
tidak mampu melunasi, dia dipaksa kerja untuk orang yang memberi
pinjaman atau kreditor. Pada tahun 1892 secara resmi diundangkan
penghapusan sistem perbudakan (King 1978 : 27).
2. Sejarah Lisan dan Mitos
Sebelum kita membahas sejarah, kita harus sadar bahwa suku Dayak
mempunyai banyak mitos lisan, pantun dan lagu-lagu yang nilainya penting
dari sudut kebudayaan. Sastra lisan dalam bentuk lagu-lagu digunakan pada
waktu tertentu, seperti lagu-lagu yang dinyanyikan pada waktu menidurkan
anak-anak. Ada lagu untuk tarian yang dinyanyikan saat pesta, ada lagu
lainnya yang dinyanyikan pada waktu panen atau sedang menggarap ladang.
Ada juga lagu yang dinyanyikan pada waktu mengobati orang. Dukun atau
yang dikenal dengan gelar balian menyanyikan lagu-lagu ritual dan
mengucapkan mantra spiritual untuk menyenangkan roh atau malaikat baik,
dan juga untuk mengusir roh yang jahat.
Ada sastra lisan dalam bentuk dongeng-dongeng dengan nilai-nilai
moral atau epik yang diceritakan ketika semua warga desa berkumpul pada
waktu malam. Ada sastra lisan yang diungkapkan pada waktu memakamkan
jenazah dan upacara tertentu, dan juga ada sastra lisan dalam bentuk pantun
seperti yang dikenal dalam sastra Melayu.
Pada waktu di pemukiman Senapit seorang tokoh masyarakat, Pak
Ihong menjadi salah satu informan dari tokoh masyarakat yang berasal dari
daerah itu. Pak Ihong bersekolah pada waktu Perang Dunia Kedua dan
sampai sekarang masih ingat dan bisa berbicara dalam bahasa Jepang sedikit.
Memastikan umurnya sulit sekali, kira-kira 70 tahun. Pada waktu berkunjung
ke rumahnya, dia sedang membuat kerajinan-tangan, dia meraut untuk
menghaluskan sejenis rotan tipis yang digunakan untuk membuat tikar khas
gaya Dayak. Tikar itu terbuat dari kulit kayu yang dianyam dengan rotan
yang awet dan tahan lama. Dia menjual anyaman-anyaman, seperti keranjang
dan tikar kepada masyarakat desa atau kepada pedagang keliling yang
mampir ke dusun dan membeli barang-barang kerajinan-tangan.
Sebelum dia menceritakan mitos mengenai pencipta dunia yang
bernama Setapak, dia melakukan ritual supaya ceritanya bisa sebaik mungkin
diungkapkan. Untuk ritual tersebut perlu dipersiapkan sesajen yang terdiri
dari semangkok beras, ditambah sebutir telur ayam dan selembar bulu ayam.
Dia mengucapkan mantra sambil memercikkan beberapa tetes minuman arak
di ruangannya dan juga dia meminumnya seloki kecil. Setelah upacara kecil
tersebut selesai, dia menceritakan salah satu mitos mengenai asal usul orang
Dayak Kanayatan yang dikenal di daerah itu sebagai berikut:
Pada awalnya di dunia sebelum permulaan kehidupan masyarakat
Dayak, ada tiga penolong Setapak yang bernama si Ahir, si Awal, dan si
Ahar yang membantu pada waktu Setapak turun dari langit. Mereka
membantu Setapak menciptakan alam semesta atau jagat raya. Mereka
menciptakan bumi dari tanah, matahari, bulan, termasuk bintang-bintang
yang terletak di angkasa. Pada waktu matahari dibentuk oleh Setapak, dia
meletakkan tongkat yang tumbuh akarnya. Tongkat itu tumbuh cepat sampai
melampaui awan-awan, supaya pada waktu matahari selesai dibentuk bisa
diangkat dan diletakkan ke angkasa.
Setelah matahari diletakkan di angkasa, dia mengangkat bulan dan
bintang-bintang yang baru dibuatnya. Setapak sudah capek sekali setelah
menciptakan hal tersebut dan naik ke atas lagi. Waktu dia di atas dan
beristirahat secukupnya, dia merasa belum cukup puas dengan hal yang telah
diciptakan sebelumnya. Menurut dia, bumi tampak kosong dan belum
lengkap. Hal itu menyebabkan dia turun lagi dari langit dan meletakkan
tongkatnya di daerah Bangun, sekarang dekat kota Sambas di Kalbar. Setelah
beberapa saat kemudian tongkatnya meletus dan muncullah roh yang
bernama Simula-jadi. Setelah satu minggu Simula-jadi berada di dunia, dia
mengatakan kepada Setapak bahwa dia merasa agak sepi dan meminta
Setapak membuat roh lagi supaya Simula-jadi mempunyai teman. Setapak
mewujudkan seorang perempuan dari tanah yang bernama Simula-tanah.
Simula-jadi merasa senang dengan teman barunya dan dia langsung mau
bergaul dengan Simula-tanah, tetapi Setapak melarang Simula-jadi untuk
memegang Simula-tanah selama tujuh hari. Baru beberapa hari berlalu
Simula-jadi merasa agak bosan dan dia mau main dengan Simula-tanah.
________________________________________
Sebenarnya dia mempunyai keinginan yang besar untuk tahu apakah Simula-
tanah benar-benar merupakan teman akrab dan diapun memegang Simula-
tanah. Setelah Simula-tanah dipegang oleh Simula-jadi, langsung Simula-
tanah hancur dan lebur menjadi tanah lagi.
Simula-jadi sangat sedih dan menangis, dia meminta temanya kembali.
Setapak merasa kasihan dengan Simula-jadi dan turun lagi dari langit, dan
dia mengatakan kepada Simula-jadi untuk tidak bersedih. Setapak mencoba
membuat perempuan dari busa. Langsung Setapak mewujudkan seorang
perempuan yang diberi nama Jagat. Kali ini Setapak juga mengatakan kepada
Simula-jadi untuk tidak mengganggu Jagat selama tujuh hari. Kali ini
Simula-jadi tahan dan membiarkan Jagat cukup selama tujuh hari supaya
Jagat siap untuk menerima Simula-jadi. Langsung setelah tujuh hari dia
menikah dengan Jagat dan kemudian Jagat hamil. Keduanya merasa senang
dengan kehamilan itu dan setelah sembilan bulan sepuluh hari pada jam enam
pagi Jagat melahirkan putra yang diberi nama dari orang tuanya, si Kuntum.
Tetapi sayang, si Kuntum tidak dapat bertahan dan pada waktu sore jam 6 si
Kuntum meninggal dunia. Kedua orang-tua si Kuntum sangat sedih dan
menangis selama tujuh hari. Pada waktu itu jenazah si Kuntum di cincang
dan dibungkus, sedangkan orang-tuanya menangis terus. Setapak turun dari
langit dan melemparkan bungkusan jenazah si kecil supaya jenazah si
Kuntum tersebar di dunia. Kepala jenazah dilempar ke daerah Senapit,
tempat dimana Pak Ihong menceritakan mitos ini kepada saya. Bungkusan si
Kuntum hancur lebur sehingga menyuburkan tanah sekitarnya. Setelah tujuh
hari ladang yang disuburkan oleh jenazah si Kuntum muncul tumbuh-
tumbuhan dan ladang itu berkembang. Ladang di Senapit memang subur
sekali dan banyak pohon buah-buahan tumbuh, seperti durian, jeruk manis,
rambutan dan sebagainya.
Setapak yang turun dari langit memberi peringatan kepada Simula-Jadi
dan Jagat bahwa mereka bisa makan semua buah-buahan tetapi mereka
dilarang makan buah dari pohon Timanggong. Jika makan buah itu mungkin
beracun atau mungkin mereka mendapat sial atau diasingkan dari taman yang
indah itu. Simula-Jadi dan Jagat setuju dan mereka tinggal bersama dan
bahagia.
Tujuh hari kemudian si Serasat, si Siang, si Bangau yang berwujud
manusia muncul. Mereka sangat pintar dan juga punya otot yang sangat kuat.
Pertama mereka mewujudkan anak sungai bernama Sambas dari lokasi Anjil
Pujanji sampai gunung Bayang. Sungai kedua dari Landa sampai gunung
Bayang bernama sungai Tenanggap. Mereka bekerja keras dan mewujudkan
sungai ketiga yang bernama Teria, yang mengalir dari gunung Pandam ke
kampung Batung yang terletak di Ajun. Mereka membuat indah daerah
tersebut dan tanaman buah-buahan selalu mendapatkan cukup air.
Pada suatu pagi Simula-Jadi dan Jagat berjalan-jalan di taman yang
sangat indah, mereka sangat bahagia dengan tempat ini dan tidak ada
keinginan untuk tinggal di tempat lain. Ketika keduanya berjalan lewat pohon
Timanggong, dan pada waktu yang bersamaan Simula-Jadi dan Jagat
dipanggil oleh pohon yang berbunyi “psssssst......psssssst”. Simula-Jadi
bertanya siapa pemilik bunyi itu sambil keduanya mendekati pohon tersebut.
Dari salah satu cabang pohon Timanggong ada seekor ular yang turun,
mengamati Simula-Jadi dan Jagat. Dia memberi salam, “Selamat pagi, yang
Mulia, saya tahu bahwa Setapak berkata kepadamu bahwa dia tidak setuju
anda makan buah dari pohon ini. Dia memang sangat takut, jika anda
menjadi sama pintar dengan dia jika anda makan buah dari pohon ini.
Sebenarnya, Setapak sangat jahat.” Simula-Jadi dan Jagat saling memandang.
Mereka saling berpikir. “Aduuuh........ ular di pohon benar”, kata Simula-
Jadi.
Sekarang sudah jelas alasan mengapa Setapak melarang mereka untuk
makan buah tersebut. Kemudian Simula-Jadi mengulurkan tangannya dan
memetik buahnya dari sebelah timur, sedangkan Jagat mengambil buahnya
dari sebelah barat dan keduanya makan buah yang rasanya sangat pahit.
Tiba-tiba guntur terdengar dan angin bertiup kuat, Simula-Jadi menjadi takut
dan gelisah. Kelihatannya, buah yang tadi dimakan oleh Simula-jadi tidak
mau lepas dari lehernya dan menusuk. Dia kaget dan memegang lehernya
dan lehernya menjadi bengkak selamanya. Hal itu menjelaskan alasan
mengapa semua laki-laki punya jakun saat ini. Simula-Jadi memandangi
Jagat dan dia juga memegang lehernya, tapi kelihatannya buah itu tidak
menusuk di lehernya, tetapi Jagat merasa aneh pada bagian atas badannya.
Dia pegang dadanya yang memang sekarang membesar...... buah tersebut
terhambat di dadanya, dan dua buah susu muncul........ Tiba-tiba langit
terbuka dan Setapak turun dan berdiri di depan Simula-Jadi dan Jagat dan
memandang keduanya, ada dua buah susu di dada Jagat dan jakun di leher
Simula-Jadi. Kemudian Setapak bertanya, ”Ada banyak buah-buahan di
taman ini, kenapa kamu tidak meninggalkan buah dari satu pohon saja?”
Simula-jadi tidak berani memandang wajah Setapak dan dengan suara
bergetar Simula-Jadi berkata, “Kami lewat pohon buah Timanggong dan si
ular memberi nasihat bahwa kalau Jagat dan aku makan buah tersebut kami
juga sama pintar dengan Anda.” Setapak menggelengkan kepalanya,
“memang setan yang berbentuk sebagai ular sangat licik”, gumam Setapak.
Setapak langsung mengambil parangnya dan menghukum ular tersebut saat
itu juga. Itulah alasannya mengapa ular tidak ada kaki maupun tangan lagi,
supaya dia tidak bisa berjalan lagi tetapi selalu merayap. Simula-Jadi dan
Jagat juga dihukum oleh Setapak, dan mereka tidak bisa berjalan jauh.
Mereka selalu merambat dan selalu goyang, karena mereka tidak punya lagi
tali atau urat darah yang halus. Ketika itu mereka diperintahkan untuk
mencari nafkah sendiri dan Setapak kembali naik ke langit.
Malaikat yang berada di langit mengamati kejadian di bumi dan
merasa kasihan kepada Simula-Jadi dan Jagat. Dia turun dari langit dan
berdiri di depan Simula-Jadi dan Jagat yang mukanya terlihat sedih.
Kemudian mereka bertanya kepada malaikat apakah dia bisa membantu.
Malaikat mengucapkan beberapa jampi-jampi kepada Simula-Jadi dan Jagat
untuk mengembalikan urat darahnya. Setelah itu Simula-Jadi dan Jagat
melanjutkan perjalanannya ke gunung Bawang yang terletak beberapa jam
jauhnya dari Senapit, sesuai dengan perintah Setapak. Mereka diperintahkan
untuk mengasingkan diri ke sana dengan tujuan untuk mengembangkan
keluarganya sebelum akhirnya bisa kembali lagi ke daerah Senapit yang
indah dekat gunung Seles.
Di lereng gunung Bawang, mereka membuka ladang dan berkebun
sayur dan Jagat melahirkan beberapa keturunan. Mereka adalah, Manis-
Amas, Lupo, Langga, yang semuanya putra, Cingcing Pengaji putri dan anak
yang bungsu Buratn Banta. Mereka tumbuh cepat dan semakin lama semakin
menjadi mandiri.
Pada suatu hari, si Langga berencana untuk pergi ke hutan dan dia
masuk ke hutan yang sangat lebat yang terletak di sekitar gunung Bawang.
Setelah dia berjalan selama setengah jam, dia bertemu dengan bunga khusus
yang sangat indah. Si Langga terpesona dan berhenti di depan bunga yang
sangat indah sambil berkata kepada bunga itu, “Harummu enak, kalau kamu
manusia saya ingin kamu jadi istriku.” Dia mengamati si bunga sesaat dan
melanjutkan mencari binatang untuk dibawa ke rumahnya. Sebelum dia
berbelok, dia menoleh ke belakang dan .... “astaga” ..... sebenarnya bunga
yang tadi terlihat sekarang telah menjadi seorang perempuan yang cantik
sekali. Dia bertanya kepada perempuan cantik itu, “Siapa namamu?” dan
perempuan yang mempesona itu menjawab, ”Nama saya Genilan, dan saya
mengabulkan keinginanmu.” Dia terkejut dan mengharapkan Genilan ikut ke
rumahnya. Genilan setuju dan langsung mereka berdua berangkat ke rumah
Langga. Ketika pulang dia bertemu dengan saudaranya, Manis-Amas yang
menjadi sangat benci dan cemburu dengan Langga karena Manis-Amas mau
menikah dengan Genilan. Langsung saudara-saudara berkelahi dan pada
akhirnya si Langga melerai perkelahian di antara saudara itu. Langga
memberikan Genilan kepada Manis-Amas. Kemudian Genilan dan Manis-
Amas menikah dan setelah sembilan bulan sepuluh hari Genilan melahirkan
seorang putra bernama Garansi Tunggal. Mereka sangat bahagia dan hidup
mereka memang indah.
Pada suatu hari, waktu Genilan mandi ada setan yang sangat benci
dengan Manis-Amas. Setan itu kemudian turun dari pohon dan dia memukuli
Genilan dari belakang sampai semangatnya tidak ada lagi. Manis-Amas
sangat sedih, dan untuk mengatasi kesedihannya dia langsung mencari istri
baru. Dia minta pamit pada orang-tuanya dan berjalan ke gunung Rumput
yang terletak di dekat salah satu dusun yang di sana terdapat beberapa gadis
cantik. Dia langsung bertemu dengan gadis Pantar Bulan, tetapi pada waktu
itu juga ada panglima yang bernama Marabatn Ampor yang juga mencari
istri. Panglima Marabatn Ampor mengatakan kepada Manis-Amas, “Semoga
yang paling sakti dapat menikah dengan Pantar-Bulan.” Langsung keduanya
berkelahi tetapi tidak ada yang kalah dan tidak ada pula yang menang.
Untungnya ada seorang anak perempuan panglima bernama Sanga melewati
tempat itu dan mengatakan kepada kedua-duanya yang sedang berkelahi
bahwa mereka pasti sama kuat. “Lebih baik kita mencari jalan damai untuk
mengakhiri masalah ini”, kata Sanga kepada mereka berdua. Sanga berpikir
selama dua hari dua malam, setelah itu dia mendapatkan solusi yang paling
adil untuk mengatasi masalah tersebut. Dia mengatakan, ”Saya sudah
bertanya kepada roh-roh dan mereka memberi nasihat kepada saya.” Mereka
berpendapat bahwa kamu harus membagi dua si Pantar-Bulan. Sebelah kiri
diberikan kepada Manis-Amas dan sebelah kanan kepada Marabatn Ampor.
Keduanya berbahagia mendapat istri baru dan kemudian panglima Marabatn
Ampor terbang ke gunung Senujuh bersama dengan istrinya. Mereka hidup
bahagia walaupun hanya sebelah saja.
Bagian badan Pantar-Bulan untuk panglima Marabatn Ampor cukup
sehat akan tetapi bagian perempuan untuk Manis-Amas tidak merasa senang
dan bagian Pantar-Bulan itu selalu sakit kepala dan susah tidur. Manis-Amas
memang berputus-asa dan memanggil panglima Marabatn Ampor untuk
minta tolong. Sanga Bawang, teman Manis-Amas mengambil dan membikin
sayap dari bulu ayam supaya Manis-Amas bisa terbang ke tempat panglima
dan mereka berdua bisa mencari obat untuk menyembuhkan bagian Pantar-
Bulan yang menjadi milik Manis-Amas. Mereka memang mendapat obat
yang manjur supaya istri Manis-Amas sembuh. Semakin lama kondisi
istrinya lebih baik dan Pantar-Bulan melahirkan Bang Payu dan Bang Borok.
Pada waktu mereka beranjak dewasa ibunya hamil lagi dan melahirkan putri
Balu Andangan.
Pada waktu Balu Andangan sudah cukup dewasa dan pandai, datang
pemuda bernama Nurgadin. Dia minta menikah dengan Balu Andangan
tetapi dia ditolak, sebab ada anggapan semua perantau tidak baik dan pasti
lari kalau sudah bosan. Setelah dia mendengar alasannya dia memang merasa
malu dan lari dari tempat itu. Nurgadin berjalan selama tujuh bulan dan dia
bertemu dengan perempuan yang cantik bernama Seputin Darah Sebayan.
Perempuan itu sejenis setan yang membawa Nurgadin ke tempat tertentu dan
setan itu melahirkan dalam waktu satu hari beberapa binatang seperti; anjing,
ayam, babi, burung kitau, burung cerwit, burung meriah, burung janjih dan
yang terakhir burung pice. Semua burung langsung terbang. Nurgadin tidak
merasa senang punya hubungan dengan Seputin Darah Sebayan lagi dan
mengatakan kepada Seputin, “lebih baik kita bercerai.” Seputin menjawab
kepada Nurgadin, “Seandainya kamu mau cerai, boleh, tetapi kamu harus
pulang ke kampung asalmu.” Nurgadin membawa bibit sawit, bayam,
ketimun, jagung dan nuri (sejenis padi), termasuk anjing, ayam dan juga
babi. Dia langsung pergi kembali ke rumah Balu Andang dan mereka
langsung berpesta dan menikah.
Balu Andang memang sangat subur dan langsung melahirkan anak
laki-laki bernama Remaga, dan anak perempuan bernama Minta. Suatu hari
mereka disuruh oleh ibunya mengambil buah rambutan yang hanya seikat
saja, tetapi kedua-keduanya sama-sama mau mengambil seikat buah
rambutan itu untuk diserahkan pada ibunya. Mereka berkelahi dan setelah itu
mereka merasa malu karena mereka sadar bahwa mereka tidak seharusnya
berkelahi dalam masalah itu. Remaga selama tujuh hari menangis tanpa
berhenti. Dia disuruh untuk mencari pengalaman di dunia dan diberi sebuah
keranjang yang penuh dengan makanan dan keperluan penting lainnya. Dia
berpamitan kepada keluarganya dan memulai perjalanannya. Setelah
perjalanannya jauh dia bertemu teman dan bersama dengan si Sungu, si
Sekejap, si Serano berlayar dengan perahu dan merantau ke tempat lain.
Dalam beberapa bulan perjalanan mereka mendapat banyak pengalaman,
termasuk membunuh si Moleng, seorang manusia yang menjadi setan. Pada
akhirnya dia bertemu dengan anak Patirani dan menikah. Mereka
membangun rumah di gunung Bayang dan melahirkan sepuluh anak yang
bernama Ria Magat, Ria Kota, Ria Sindir, Ria Manding, Ria Japu, Ria
Ladung, Ria Taja, Ria Ganeng, Ria Gadeng dan Ria Jaga. Pada waktu
mereka dewasa, mereka disuruh untuk menyebar ke daerah Bakati, Sanggau,
Tadang, Seberang Laut, Semandung, Pulau Santan dan ke Jawa.
Kisah tersebut adalah mitos tentang terciptanya dunia dan cara-cara
manusia menyebar di dunia yang diceritakan oleh Pak Ihong dan Pak Aloys,
keduanya tokoh masyarakat di Senapit.
Pada kesempatan lain saya beruntung bertemu dengan Temenggung
Berend Basuni yang lahir sekitar tahun 1932 dan tinggal di Seles
menceritakan pengalamannya. Pak Basuni adalah salah seorang yang
mendapat gelar Temenggung dan dia lahir sebelum Perang Dunia Kedua,
sama dengan Pak Ihong yang tersebut di atas. Oleh karena itu dia masih ingat
waktu sebelum Jepang menduduki Borneo. Pengalaman dan ceritanya
mengenai zaman sistem kerja paksa atau budak sementara (rodi) yang diatur
oleh sultan dengan sepengetahuan pemerintah kolonial. Dia menceritakan
bahwa pada waktu itu orang-orang Melayu masuk ke kampung dengan surat
perintah dan mandor Melayu memilih orang yang mempunyai fisik cocok
untuk ikut kerja paksa. Warga dusun yang dipilih langsung disuruh untuk
berangkat kerja, seandainya mereka tidak patuh mereka dipukuli dengan
keras sampai mengeluarkan darah.
Temenggung Berend Basuni menceritakan juga bahwa ada anggota
masyarakat yang sangat takut dengan mandor dan mereka spontan buang air
kecil dan air besar pada waktu mereka dipilih mengikuti kerja rodi. Untuk
urusan makanan mereka dipaksa membawa keperluan penting sendiri, seperti
pakaian, beras, garam dan uang, termasuk ongkos transportasi. Sebelum
berangkat dari kampung mereka tidak diberi tahu berapa lama mereka akan
dipisahkan dari keluarganya atau berapa jauhnya tempat mereka di paksa
untuk bekerja, hanya mandor yang tahu lokasinya. Pada umumnya semua
masyarakat yang dianggap mampu, sesuai dengan surat perintah harus ikut.
Artinya kebanyakan laki-laki dan kalau perlu perempuan juga ikut. Pekerjaan
utama kerja paksa terdiri dari memperbaiki atau membangun prasarana di
daerah, seperti mencangkul jalan, membuat jembatan dan lain-lain. Pada
waktu itu kebanyakan jalan-jalan di daerah tersebut terdiri dari jalan sempit,
cukup untuk jalan kaki saja. Di samping kerja paksa orang Dayak juga
dibebani dengan sistem pajak atau belasting dan petani disuruh untuk
menanam tanaman yang sesuai dengan keinginan pemerintah saat itu,
khususnya karet. Getah karet yang diproduksi melebihi kebutuhan untuk
memenuhi pembayaran pajak kepada pemerintah boleh dijual oleh petani
secara bebas.
Mantan Temenggung Berend Basuni menceritakan bahwa pada waktu
dahulu uang rupiah terdiri dari uang perak bergambar ratu Wilhelmina. Satu
rupiah adalah empat tali, satu rupiah juga sama dengan sepuluh ketip atau
seratus sen.
Adapun struktur pemerintah Senapit terdiri dari Kenda atau
Temenggung, Ketua Adat, di bawahnya ada Singga sebagai kepala desa,
Pengarah seperti mentri kampung dan di bawah ada masyarakat kampung.
Ketua Adat atau Tokoh Adat terdiri dari Pemané, yang mengatur hukum adat
dan Pembari seperti dukun.
Pada tahun 1942 sudah ada Sekolah Rakyat (SR 02) di Senapit dan
murid-murid yang belajar di sekolah tidak perlu membayar untuk pendidikan.
Mereka tidak dipaksa untuk mengganti kepercayaannya. Pada permulaan
guru-guru di sekolah beragama Kristen atau Islam dan ketika pertama kali
sekolah dibuka orang Dayak tidak ingin anaknya bersekolah karena warga
dusun berpikir bahwa anaknya mungkin dijual atau diperbudak atau
setidaknya diajari kepercayaan yang asing.
Pada zaman dahulu masyarakat hidup seirama dengan lingkungannya
dan mereka mengikuti alam sebagai panduan hidup. Seandainya mereka
mendengar suara jenis burung tertentu atau melihat sejenis burung yang
terbang ke arah tertentu, itu diamati sebagai tanda alam. Suara burung Serwit
yang didengar misalnya ditafsirkan sebagai pertanda yang baik, pertanda
berhasil dan mendorong masyarakat untuk meneruskan aktivitas yang sedang
mereka lakukan. Seandainya warga desa mendengar suara Meria atau Kito,
pada umumnya mereka tidak bergerak sementara waktu untuk minta
keselamatan supaya mereka dilindungi dari bahaya atau hal yang buruk yang
mungkin terjadi. Suara burung Pacé diinterpretasi sebagai bunyi yang kurang
baik, mereka harus berhati-hati dengan masalah kesehatan dan masalah
lainnya. Mereka perlu berdoa supaya kekuatan roh baik menang melawan
kekuatan roh jahat. Suara Pejijit diinterpretasi sebagai bunyi yang sangat
baik, individu akan berhasil mendapatkan lauk pauk dan seterusnya. Suara
Jentik adalah perintah, kalau masyarakat berada di ladang mereka harus
menjaga ladang dengan baik. Suara burung Kunikn diinterpretasi sesuai
dengan saat burung itu berbunyi. Seandainya didengar pada waktu malam,
artinya waspada mungkin ada orang jahat yang berada dekat. Kalau burung
Kunikn bunyi pada waktu siang interpretasi berbeda. Bunyi suara burung lain
sebenarnya dipandang sebagai bagian orkes alam yang indah yang dapat
dinikmati sebaik mungkin.
Ada beberapa jenis kera di daerah Seles seperti Lutung, Tuhut, Berok
dan Pio. Tidak ada pantangan untuk makan daging kera, tetapi itu tergantung
pada keinginan dan selera individu. Menurut Pak Basuni, ada juga orang
Dayak Kenayatan Banana yang tidak menggunakan bahasa Bakati tetapi
bahasa Banana, dan mereka berdiam di sekitar Kabupaten Pontianak.
Pak Basuni tidak mau tinggal di tengah kampung tetapi membangun
rumah sekitar satu kilometer jaraknya dari kampung dengan pemandangan
indah gunung Seles. Dia tinggal bersama dengan istri dan anak kecil di
sebuah rumah yang berukuran 8 meter kali 4 meter. Di belakang rumahnya
ada sebuah dapur kecil dan di depan ada serambi. Di halamannya yang sangat
indah dia memelihara beberapa ekor ayam, anjing dan babi.
Pada waktu bertemu Pak Basuni di dusun Seles, dia berminat
menceritakan mitos “Jubatan” kepada saya. Cerita ini sedikit berbeda dari
cerita yang direkam di Senapit, tetapi cukup penting untuk masuk makalah
ini. Sesuai dengan keinginannya cerita yang berjudul “Pesan Jubatan”
diikutsertakan di bawah:
Jubatan menciptakan batu, tanah, air, api, angin dan menyatukan
namanya dunia atau selimpan tanah bakhu. Jubatan menciptakan tiga jenis
dunia: dunia Talino, dunia Sebayatan dan Kawa Maraka. Dunia Talino
dikuasai oleh Jubatan, dunia kedua, adalah dunia Sebayatan atau surga yang
di kuasai oleh Latalaa sejenis Malaikat dan dunia ketiga, dunia Kawa Maraka
atau neraka yang dikuasai oleh Pamakal Maut atau malaikat yang kurang
baik.
Di dunia Talino Jubatan Ngubanta ada tumbuh-tumbuhan dan kayu-
kayuan yang bermacam-macam. Cara dan sifat tumbuhnya ada di atas tanah,
di permukaan dan di dalam air dan sisanya ada yang menempel di atas
pohon. Kayu-kayu berkembang sepanjang usianya di dunia. Jubatan
sekaligus juga menciptakan binatang-binatang yang masing-masing ada sifat-
sifat dan cara bergeraknya tersendiri. Ada yang hidup di atas tanah dan di
dalam tanah, ada yang hidup di atas dan di dalam air. Ada yang hidup di atas
udara atau di puncak kayu. Binatang-binatang juga berkembang sepanjang
usianya di dunia. Jubatan menciptakan binatang-binatang, bulan dan
matahari, serta sekaligus menciptakan siang dan malam, hujan dan panas,
menggerakkan angin yang tidak kelihatan dan membatasi roh-roh yang tidak
kelihatan. Semua peristiwa tersedia di selimpan tanah bakhu atau dunia.
Jubatan menciptakan manusia, Jubatan ngubanta talino, di Selimpan
Tanah Bakhu. Jubatan menciptakan manusia pertama yang bernama Simula
jadi, alias Adam, yang berikutnya bernama Simula jagat, alias Siti Hawa atau
Eva, kemudian Jubatan menciptakan nafsu pada mereka. Dalam pergaulan
mereka berkembanglah ribuan bangsa dan suku Talino serta terdapat pulau-
pulau, baik besar dan kecil, dan memiliki bahasa yang berbeda-beda, dan
juga budaya yang berlainan.
Anak ketujuh dari Simula jadi, Saihonyano, melahirkan anak
bernama Ibun. Ibun dijatahkan dengan pulau yang belum bernama dan belum
ada Talino, hanya ada hutan yang ditumbuhi dengan segala jenis pohon,
halus, besar dan tinggi. Ada makhluk yang hidup di muka bumi, yaitu yang
berada di atas dan dalam air, serta binatang-binatang yang hidup di dalam
dan di atas air, di atas tanah atau di udara. Binatang halus, kecil, besar, ada
yang tidak berbulu, ada yang berbulu, ada yang tidak berkaki dan ada yang
berkaki dua, berkaki empat dan lebih dari empat kaki. Ada yang berekor dan
tidak berekor. Semua binatang pandai mencium, membedakan makanan dan
tahu musuhnya serta mempunyai pendengaran yang tajam. Ada yang
bertanduk, bertaring, ada yang bergigi dan ada yang tidak bergigi, seperti
cacing dan lintah.
Pesan pertama pada Simula jadi dan Simula jagat dari Jubatan bahwa
di sana sudah siap satu bidang tanah atau ladang dengan tanaman yang
tumbuh yaitu padi, jagung, sawi, bayam, ketimun dan yang lainnya. Tersedia
juga ayam, babi, anjing yang berjumlah tiga pasang untuk berkembang biak.
Tumbuhan dan hewan yang kecil rasanya enak dan bergizi. Dijelaskan juga
bahwa beberapa binatang berasal dari pulau lain. Dengan kuasa Jubatan,
berangkatlah mereka dari selimpan tanah bakhu, setempat dunia, sampai ke
pulau yang belum ada talino dan belum bernama. Di situlah Jubatan berpesan
yang kedua kalinya, bahwa mereka mesti melahirkan seorang putra dan
diberi nama Rédayu dan sekaligus menjadi nama pulau itu. Ketika Rédayu
belajar berjalan lalu lahir lagi seorang wanita namanya Genalé. Sepanjang
hidupnya mereka mempunyai putra-putri sebanyak 14 orang (tujuh pasang).
Satu pasang bernama Ganturtanah pergi ke timur. Satu pasang Bantaberanyut
yang pergi ke barat. Satu pasang Janyayo yang pergi ke selatan dan satu
pasang Tardani yang pergi ke utara. Tiga pasang tinggal di tengah-tengah
pulau. Rédayu punya putra yang bernama Patélune dan putra lain
Mambangbulé. Sebelum putra-putri berangkat mereka beradat kepercayaan
Jubata, selalu diyakini oleh Rédayu. Sebelah barat dari pulau Rédayu ini
berkembanglah manusia yang bernama Bantaberanyut yang punya istri dan
tujuh pasang anak. Bantaberanyut, beranakkan Ganturtanah, tujuh pasang,
Ganturtanah, beranakkan Patélune tujuh pasang, Patélune beranakkan
Manéamas, tujuh pasang, Manéamas beranakkan Norgadikng, tujuh pasang
juga. Norgadikng beranakkan Riyamaga tujuh pasang juga. Riyamaga
beranakkan Riyasindir tujuh putra semua, Riyamangit putra ketujuh atau
yang bungsu dari Riyamaga berkembang menjadi Dayak subsuku Sebiha
yang berada di sepanjang sungai Sambas. Jauh sebelum ada modernisasi,
semua talino hidup dalam kemuliaan Jubatan.
Peristiwa-peristiwa dari keturunan Manéamas mengembangkan adat
kepercayaan dan istiadat dengan segala pantangan atau tabu.
Zaman Riyamaga, pulau Dayak baru ada alat dari besi, periok, kuali,
parang, beliung atau kapak, garam, dan kain. Si pedagang dari Tangkolk
berasal dari Melayu. Mereka memakai perahu layar di setiap muara sungai-
sungai besar di pulau Dayak ini yang diduduki orang Melayu, berdampingan
dengan Talino, manusia Dayak yang asli.
3. Geografi, Topografi, Flora dan Fauna
Antara daratan Asia dan Australia terletak Nusa Tenggara Indonesia
termasuk pulau Borneo yang oleh orang Indonesia dinamakan Kalimantan.
Nama Borneo mungkin berasal dari nama Brunei dan sering digunakan untuk
menamai seluruh pulau sedangkan nama Kalimantan mungkin berasal dari
keadaan pulau yang punya banyak kali, banyak mas, dan banyak intan,
sehingga menjadi Kalimantan. Menurut beberapa pihak lain mungkin nama
Kalimantan berasal dari nama Lamanta. Lamanta adalah sagu dari pohon
yang baru ditebang, yang masih mentah. Pada umumnya nama Kalimantan
digunakan untuk bagian geografis tanah di bawah pemerintahan Indonesia
dan West Malaysia atau nama Borneo untuk bagian di bawah pemerintahan
Malaysia.
Daratan Borneo sekitar 750.000 kilometer persegi atau sekitar enam
kali lipat daratan Jawa atau lebih besar jika digabung Jerman, Polandia,
Belanda dan Belgia. Pada hakikatnya Propinsi Kalimantan Barat sama besar
dengan Jawa digabung Madura. Pedalaman Borneo adalah pegunungan
sekitar 1000 sampai 1500 meter di atas permukaan laut.
Gunung tertinggi adalah Kinabalu di West Malaysia dengan tinggi 4175
meter. Kebanyakan sungai besar mengalir dari tengah pulau ke laut dan
merupakan sarana penting untuk menghubungkan masyarakat hulu sungai
dengan masyarakat di pinggir laut. Ke arah selatan ada sungai Barito dan
sungai Kahayan yang bermuara di Banjarmasin. Ke arah barat ada sungai
terpanjang bernama Kapuas yang bermuara di Pontianak, yang terletak di
garis kathulistiwa. Sungai Rejang bermuara di Sarawak. Di bagian timur
pulau Kalimantan ada sungai Kayan dan Mahakam yang mengalir ke kota
Samarinda. Pantai Kalimantan merupakan daratan yang sangat rendah dengan
tumbuhan bakau (mangrove).
Daerah Borneo yang menjadi bagian teritorial Indonesia di bagi
atas empat propinsi:
• Kalimantan Barat (Kalbar) dengan luas daratan 146.760 kilometer
persegi dan jumlah penduduk yang pertumbuhannya 2,6 juta pada
tahun 1980 menjadi 4 juta pada tahun 2004 dengan ibu kota Pontianak.
• Kalimantan Tengah (Kalteng), luasnya 152.600 kilometer persegi
dengan jumlah penduduk 1 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota
Palangka Raya.
• Kalimantan Selatan (Kalsel), luasnya 37.660 kilometer persegi, dengan
jumlah penduduk 2,3 juta pada tahun 1980, dengan ibu kota
Banjarmasin.
• Kalimantan Timur (Kaltim), luasnya 202.440 kilometer persegi,
dengan jumlah penduduk 1,3 juta pada tahun 1980, dengan ibu kota
Samarinda.
Adapun bagian teritorial Malaysia terdiri dari dua negara bagian:
• Sarawak, luasnya 124.449 kilometer persegi dengan jumlah penduduk
1,2 juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Kuching.
• Sabah, luasnya 73.700 kilometer persegi, dengan jumlah penduduk 0,8
juta pada tahun 1980 dengan ibu kota Kota Kinabalu.
Bagian teritorial dengan kedaulatan sendiri adalah Brunei, luasnya 5.765
kilometer persegi dengan jumlah penduduk 0,2 juta pada tahun 1980 dengan ibu
kota Bandar Seri Begawan.
Garis Kathulistiwa membelah Kalimantan dari Pontianak di sebelah
barat sampai ke pantai timur sedikit ke utara dari Samarinda. Hujan di daerah
tropis sangat tinggi dengan rata-rata 2500 mm per tahun di selatan-tenggara
dan bagian daratan pantai timur. Rata-rata hujan turun sampai 4500 mm per
tahun di pedalaman. Suhu rata-rata dari 25ºC sampai 35ºC yang menunjukkan
kelembaban tinggi dan menyebabkan banyak tantangan bagi penduduk yang
mempersulit pemeliharaan prasarana buatan, seperti jalan, jembatan dan
perumahan. Musim hujan lebat yang panjang rata-rata 8 bulan, dari bulan
Oktober sampai Mei, dan dari bulan Juni sampai September hujan tidak terlalu
lebat. Untuk membangun jalan atau jembatan yang tahan lama perlu keahlian
teknik tinggi dan bahan konstruksi yang sesuai dengan kondisi yang sangat
korosif.
Hujan lebat juga menyebabkan tanah bekas konsesi PT kayu
pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang meninggalkan tanah gundul
tanpa pohon sehingga lapisan humus yang sangat tipis cepat hanyut ke sungai
dan laut. Pada umumnya tanah tropis yang terdiri dari tanah liat yang tandus
dan cenderung asam yang tidak berkapasitas untuk menyimpan banyak bahan
gizi, hanya nutrisi lapisan humus yang tipis berguna untuk tumbuhnya hutan
lebat dengan jenis pohon Dipterpcarpaceae.
Salah satu jenis kayu kelas satu adalah ulin (Eusideroxylon zwageri),
juga dikenal sebagai kayu belian atau kayu besi yang sangat bernilai sebab
tahan rayap dan tidak membusuk di tempat yang basah. Meranti, Keruing dan
Ramin adalah nama jenis kayu yang terkenal dari keluarga pohon
Dipterpcarpaceae, yang berguna sebagai bahan bangunan rumah dan mebel.
Di samping kayu juga ada beberapa jenis getah, lateks dan rotan yang
dihasilkan, dan buah seperti durian (Durio zibethines) dan buah-buah jenis
Artocarpus (nangka dan cempedak). Diversitas flora sangat tinggi, sekitar
5000 spesies pohon sebagian besar dari keluarga pohon Dipterpcarpaceae.
Kalimantan adalah pulau yang dibelah sungai-sungai yang terdapat
kelompok ikan yang menjadi pusat hidup manusia dan fauna. Di samping
binatang buruan di hutan, sungai juga merupakan sumber makanan besar bagi
masyarakat Dayak, seperti ikan, keong dan siput. Pada waktu musim hujan
sungai meluap. Pada musim kemarau permukaan air sungai turun yang
mengakibatkan kapal sungai tidak selalu bisa dilayari. Keadaan itu
mengganggu lalu lintas air sebagai salah satu jalur transportasi terpenting bagi
masyarakat hulu sungai. Dari gunung Bawang dan gunung Raya yang
letaknya di Kabupaten Bengkayang, ada lima sungai yang mengalir di daerah
tradisional orang Kanayatan, seperti; sungai Ledo dan sungai Teriak yang
bermuara di Sambas, sungai Menyukee, Mempawah dan Selako yang
mengalir ke Landak.
Kalimantan juga memiliki beragam jenis burung. Salah satu burung
terkenal adalah Enggang Geding (Rhinoplax Vigil) yang menjadi maskot
Kalimantan Barat. Di Kalimantan ada banyak burung yang ditangkap dan ada
banyak burung yang dianggap suci. Pada zaman dahulu binatang tersebut
tinggal dimana-mana tetapi setelah eksploitasi hutan, burung-burung tersebut,
orang-utan dan jenis kera lain cenderung bertahan hidup di taman nasional
saja. Salah satu binatang yang terpenting sebagai sumber protein hewani
adalah babi hutan (Sus vitatur). Selain itu juga ada rusa (Cervus equimus), dan
kijang (Cervulus muntjac) yang ditangkap, akan tetapi jarang karena sekarang
tidak ada banyak. Ada juga beberapa macam kera dan binatang lain yang
diburu di hutan. Di sekitar gunung Seles ada sejenis beruang yang langka dan
hanya terdapat di Kalimantan.
4. Wilayah Suku Dayak Kanayatan
Kelompok Kanayatan yang berbahasa Bakati tinggal di dusun Senapit,
desa Seles, Kecamatan Ledo yang terletak di kaki gunung Seles. Masyarakat
untuk pengamatan, pembahasan dan diwawancarai untuk
penelitian. Di dusun Senapit sebelum tahun 60-an ada empat rumah panjang
yang dinding dan lantainya dibuat dari bambu. Pada waktu itu atap rumah
dibuat dari daun sagu yang isi pohonnya juga digunakan sebagai bahan
makanan. Pak Aloysius, salah satu tokoh masyarakat Senapit masih ingat
ketika dia bermain di bawah salah satu rumah panjang yang berpintu 50 yang
berarti dihuni oleh 50 kepala keluarga (KK).
Secara tradisional suku Dayak tinggal di tengah hutan di rumah panjang
yang tingginya beberapa meter dari tanah sehingga penghuni menggunakan
tangga untuk naik ke lantai rumah. Mereka tinggal di rumah panjang yang
tinggi dari tanah supaya hidup lebih aman dari binatang ganas. Pada zaman
dahulu hal itu juga dimaksudkan untuk menghindari musuh anggota suku
Dayak yang mencari kepala manusia (ritual pengayau) sebagai bagian dari
kepercayaan mereka. Menurut kosmologi mereka kegiatan mengayau
dilakukan supaya mendapat kekuatan gaib yang menguntungkan bagi suku
dan daerah mereka. Selain itu juga untuk mengusir roh jahat dan sesuatu yang
tidak baik atau menyakitkan bagi kehidupan manusia.
Semakin lama semakin sering orang Dayak didesak oleh pihak dari luar
untuk mengubah gaya pemukiman karena alasan kesehatan masyarakat,
politik, pengamanan dan lain-lain. Setelah masyarakat tidak membangun
rumah tradisional yang panjang dan tinggi lagi, masyarakat membangun
sebuah rumah panjang langsung di atas tanah, bergaya Cina. Semakin lama
semakin banyak orang Dayak membangun rumah sendiri dengan gaya
arsitektur yang tidak lagi tradisional. Dewasa ini bentuk rumah tidak sama,
keanekaragaman arsitektur yang digunakan oleh masyarakat sangat tinggi.
Ada banyak rumah dengan lantai yang terbuat dari papan kayu atau dari
semen, ada yang menggunakan atap dari daun sagu atau seng dan ada rumah
yang bertingkat. Walaupun kebanyakan masyarakat kelihatannya egaliter,
tetapi ada keluarga yang lebih mampu membeli barang mewah dari pada
keluarga lain dan rumahnya lebih berkecukupan meskipun tidak berlebih-
lebihan.
Jumlah penduduk di dusun Senapit stabil walaupun jumlah anak cukup
besar tetapi ada banyak anak yang pindah keluar untuk mencari nafkah atau
pendidikan di Bengkayang, Pontianak dan Jakarta. Juga ada pemuda yang
mencari pekerjaan di Malaysia. Menurut adat mereka bebas untuk menikah di
luar kelompok Kanayatan. Seandainya kesempatan lebih baik di tempat
mertua, pasangan baru membangun rumah dan keluarga di sana. Pada
umumnya sifat orang tua sangat liberal, pemuda tidak dipaksa oleh orang tua
untuk menetap di Senapit, mereka bisa memilih sendiri tempat yang cocok
untuk membangun keluarga atau memilih istri atau suami dari agama lain.
Ada harta milik bersama dan pribadi di dusun. Harta bersama terdiri
dari tanah hutan yang digunakan untuk berladang dan berburu binatang. Tiap
tahun pada saat tertentu tokoh masyarakat dan masyarakat musyawarah untuk
memecahkan masalah pembukaan ladang di hutan dan urusan lain. Pada
zaman dahulu seluruh masyarakat ikut perintah tokoh masyarakat mengenai
arah mana membuka dan menggarap ladangnya. Dewasa ini semua warga
desa bebas untuk membuka ladang dimana-mana di daerah bagian dusun
Senapit di desa Seles. Sebelum membuka ladang harus memberitahukan lebih
dulu dimana warga desa ingin membuka, supaya tidak mengganggu orang
lain.
Harta pribadi adalah seperti sawah, kolam, perkebunan karet dan lada
serta rumah pribadi. Harta pribadi atau hak tetap bisa ditukarkan atau
diperjualbelikan antar kelompok di desa, tetapi perlu mendapat izin terlebih
dahulu dari tokoh masyarakat, termasuk ketua adat, kepala dusun, dan kepala
desa. Sejak lama masyarakat menyimpan kekayaan dalam bentuk emas.
Seorang informan memberitahukan bahwa bapaknya menyimpan emas yang
digunakan untuk membeli sawah dan kolam, supaya kebutuhan keluarganya
terpenuhi.
Pada akhir tahun 2004 desa Seles terdiri dari empat dusun yaitu; dusun
Senapit, dengan 45 Kepala Keluarga (KK), dusun Seles dengan 14 KK, dusun
Tribun dengan 30 KK dan Sejaro dengan 30 KK. Dua dusun yang terakhir
berlokasi tetap. Empat kelompok dusun yang merupakan desa Seles dengan
pusat pemerintahan desa berada di dusun Seles. Pada tahun 1996 dusun Seles
pecah dari lokasi Senapit dan pindah sejauh 5 kilometer jauh dari lokasi
dusun Senapit, karena masyarakat berkeinginan tinggal dekat ladangnya,
dekat dari sungai Seles dan sungai Teriak yang mengalir ke Ledo dan juga
dekat ke jalan raya aspal yang jaraknya sekitar 15 km, supaya dusun dan
warganya bisa berkembang lebih cepat.
Walaupun kelihatannya masyarakat Dayak egaliter, dewasa ini bisa
diamati ada dua lapisan masyarakat; tokoh masyarakat atau ningrat yang pada
umumnya punya pengalaman atau ilmu yang lebih tinggi dan lapisan
masyarakat biasa yang termasuk golongan petani. Dahulu memang lapisan-
lapisan dibentuk lebih formal. Lapisan masyarakat atas terdiri dari tokoh yang
bergelar Singa yang mengurus tentang perkara tindakan-tindakan kriminal
seperti perkelahian, perzinahan dan pencurian. Ama Bideda yang memberi
keputusan apabila masalah tidak bisa diselesaikan oleh Kepala Burung yang
mengadili urusan dalam bidang persengketaan, khususnya tanah ladang dan
sawah. Kepala Adat yang menentukan adat, sangsi adat bersama Ama Bideda.
Pengarah, yang memberi nasihat dan petunjuk dalam proses penyelesaian
masalah (Petebang 2000 : 68). Di masyarakat Senapit ada balian, salah satu
tokoh masyarakat yang memberi nasihat kepada warga desa dan yang
mengobati orang dengan mantra dan upacara.
Pada waktu saya di dusun Senapit, ada kasus perempuan yang baru
menikah tetapi setelah beberapa bulan ada masalah dalam hubungan
perkawinan. Perempuan dalam kasus ini berpikir bahwa suaminya tidak
peduli atau cinta lagi. Dengan menggunakan ilmu gaibnya balian mencoba
membuat baik hubungan itu dengan menggunakan jampi-jampi melalui
pakaian suami perempuan itu.
Pada zaman dulu tidak hanya ada dua lapisan yang tadi disebut tetapi
ada tiga lapisan; budak, orang bebas dan golongan atas tetapi setelah
pemerintah kolonial mengundangkan aturan yang melarang perbudakan,
tinggal dua lapisan masyarakat saja.
Di Senapit ada dua warung sembako, untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari saja, yang dikelola oleh Pak Aloysius dan Pak Amir. Di Seles ada
satu warung yang juga membeli getah karet beku. Sekitar tahun 1942 salah
satu sekolah rakyat pertama di kecamatan Ledo didirikan di Senapit, karena
pada waktu itu pemerintah berpendapat bahwa dusun Senapit terletak di
tempat strategis yang akan berkembang pada masa depan. Dewasa ini dusun
Senapit masih di daerah pelosok yang sampai sekarang belum strategis, tetapi
jumlah anak yang bersekolah di SD Senapit sudah berjumlah 112 murid.
Mereka datang dari dusun Seles yang jauhnya enam kilometer, dusun
Sebangan yang jaraknya dua kilometer, dusun Tebalian jaraknya tiga
kilometer dan dusun Sebawak jaraknya dua kilometer. Walaupun sekolah
pada umumnya harus mulai jam tujuh pagi, karena dusun Seles jaraknya
cukup jauh dari Senapit, sekolah mulai jam delapan sampai jam duabelas.
Murid dari Seles yang berjalan kaki perlu satu setengah jam perjalanan,
mereka membawa kotak nasi dan makan sarapan sambil berjalan ke sekolah.
Ada enam kelas di SD Senapit. Di kelas satu dan kelas dua guru SD
menggunakan bahasa Bakati sebagai bahasa pengantar dan dari kelas tiga
sampai kelas enam bahasa Indonesia yang digunakan sebagai bahasa
pengantar. Menurut informan 98 persen dari anak yang tamat SD melanjutkan
pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) yang terletak 21
kilometer jaraknya ke Ledo. Kebanyakan murid SLTP tinggal di kos, dengan
keluarga atau teman yang berada di Ledo. Pada waktu libur mereka mudik.
Di dusun Senapit juga ada gereja Katolik dan tiap hari Minggu jam
tujuh pagi ada misa. Walaupun semua penduduk di desa Seles masuk agama
Katolik, tidak semua masuk gereja. Masyarakat di pelosok sering menganut
agama secara nominal dan yang dikatakan oleh informan penganut Katolik,
agama Katolik dan kepercayaan tradisional memang punya banyak
persamaan. Misalnya mitos penciptaan dunia yang diceritakan di atas,
menjadi salah satu contoh yang menjelaskan kesamaan tersebut. Masyarakat
yang masih ikut kepercayaan tradisional, takut kehilangan kekuatan gaib yang
hanya didapat dari kepercayaan tradisional. Walaupun mereka menganut
agama resmi, akan tetapi upacara tradisional seperti saat membuka ladang,
menanam padi, dan saat panen masih tetap dilaksanakan. Pertanian adalah
faktor utama dalam budaya dan kepercayaan tradisional Dayak.
Di dusun ada pondok adat kecil yang suci yang terletak di dekat
sekolah. Dalam pondok kecil tersebut ada beberapa tengkorak yang didapat
oleh panglima pada masa lalu waktu mereka mengayau. Juga ada beberapa
patung tradisional dan tempayan. Baru-baru ini beberapa tengkorak dan
patung hilang. Rumput di tempat adat tersebut agak tinggi dan tidak
dipelihara dengan baik lagi. Kebanyakan masyarakat tidak memeluk
kepercayaan dari nenek moyang lagi dan tidak mengikuti tradisi adatnya
secara penuh lagi.
Desa Seles adalah daerah pegunungan yang belum punya jalan lebar
tetapi punya jalan setapak dari jalan raya beraspal sekitar 20 kilometer
jauhnya. Ada beberapa sungai, seperti sungai Seles dan Teriak yang bisa
diseberangi dengan jembatan yang dibuat oleh masyarakat dengan kawat besi
dan papan kayu, yang cukup kuat untuk menyeberangkan sepeda motor. Pada
musim hujan ada sampan yang sampai ke Bengkayang dan Ledo dari dusun
Seles. Dua jam berjalan kaki jauhnya, ke arah timur terletak dusun
Lembakarya yang didiami oleh orang Melayu. Hanya satu orang beragama
Kristen tinggal di sana, dan dia pegawai negeri, guru SD. Beberapa kali
seminggu, beberapa orang Senapit mampir di Lembakarya untuk menjual
penghasilan karet dan membeli makanan pokok yang kurang cukup di
Senapit. Dusun Lembakarya yang didirikan oleh orang Melayu asal dari
Sambas terletak sekitar tujuh km dari Senapit dan letaknya strategis di pinggir
sungai Sambas kecil
Pak Lumoni yang lahir pada tahun 1928 di dusun Lembakarya
menceritakan bahwa, menurut mitos dari nenek-moyang, orang Melayu pada
intinya berasal dari Minangkabau yang merantau ke Kalimantan beberapa
abad lalu. Pada waktu Islam masuk sekitar abad ke-15, Sultan Syafiudin dari
kerajaan Sambas menikah dengan perempuan Dayak Iban dari Brunei, artinya
ada hubungan darah Melayu dengan Dayak. Sebagian masyarakat dari
Sambas disuruh mencari nafkah di hulu sungai, karena itu mereka mendirikan
Lembakarya, satu tempat aman dan strategis untuk perdagangan yang
menjadi pusat daerah untuk tukar-menukar barang yang dibawa dari Sambas.
Pak Lumoni masih ingat pada saat dia masih kecil pergi ke hulu sungai dari
Sambas. Mereka melakukan perjalanan dengan membebani sampan sampai
500 kilogram dan menggunakan tenaga manusia untuk mendayung dengan
galah dan sampai ke Lembakarya dalam waktu tiga atau empat hari.
Sekitar 50 tahun yang lalu, mesin pertama buatan Inggris dengan bahan
bakar minyak (BBM) digunakan untuk naik ke hulu sungai. Sekarang sampan
yang bermotor bisa dibebani sampai dua setengah ton. Barang utama yang
diinginkan oleh suku di pelosok pada zaman dulu adalah tembakau, daun
nipah (untuk memelinting rokok), gula, garam, minyak kelapa, kain jenis
belacu warna merah dan hitam dan peralatan besi seperti parang, pacul,
kampak dan alat lain. Barang yang diminati di Sambas antara lain terdiri dari
beras dari ladang gunung, getah karet, damar, rotan, kayu besi (belian) dan
lada. Sangat mengherankan karena mereka tidak memerlukan korek api. Pak
Lumoni menjelaskan bahwa batu kerikil putih juga dikenal sebagai batu api,
yang jika dikenai dengan besi bisa menyalakan kayu kering dan halus
langsung.
Dusun Lembakarya berkembang terus dari tujuh pintu (KK) sampai
sekitar 100 pintu sekarang ini. Ada sekolah dasar, mesjid, pelabuhan,
beberapa warung dan ladang-ladang. Petani Melayu berladang seperti orang
Dayak, karena Lembakarya letaknya strategis dan tempat itu makmur. Salah
satu pedagang terbesar di dusun Lembakarya berencana untuk haji, berarti
keluarga itu cukup makmur di sana. Hampir tiap hari ada sampan yang turun
ke Ledo, dengan menempuh jarak sekitar dua-empat jam lamanya dari
Lembakarya.
Aktivitas pokok masyarakat di daerah pegunungan tergantung pada
musim dan lokasinya. Pada musim kemarau bulan April sampai bulan
Agustus masyarakat sibuk di perkebunan karet atau di ladang. Pada waktu
hujan warga desa jarang di perkebunan karet. Seandainya tidak hujan,
sebelum matahari terbit tukang sadap masuk perkebunan karet menggunakan
lampu minyak tanah yang diikat di dahi supaya mereka bisa melihat dan tetap
bisa menggunakan dua tangan untuk menyadap karet. Proses penyadapan itu
dimulai dengan mendekati tiap pohon untuk memotong kulit pohon supaya
getah mengalir ke tempat yang terletak di samping pohon. Tukang sadap
sanggup memotong beberapa ratus pohon pada waktu pagi, tergantung
kemampuannya dan lokasi pohon. Setelah memotong kulit, tukang sadap
kembali ke pohon pertama dan mengambil air getah yang tadi mengalir ke
tempat yang sudah disediakan di bawah. Setelah semua getah terkumpul, si
tukang sadap kemudian memasukkan ke dalam ember dan kemudian ember
yang sudah berisi penuh dengan getah dibawa ke tempat khusus. Dalam
beberapa jam getah tidak cair lagi dan setelah dibekukan kemudian direndam
di sungai. Getah itu hanya bisa dipanen pada waktu tidak hujan, artinya bisa
panen getah selama sekitar 8 bulan.
Pada musim hujan dari bulan September sampai Januari getah jarang
bisa didapatkan, dan petani sibuk di ladang memotong rumput dan
memelihara kebun. Pada waktu itu warga dusun menebang pohon untuk
dibuat papan atau mencari sejenis rotan supaya bisa dibuat keranjang, dan
sejenis tikar (bidai). Perempuan dan laki-laki bersama membuat kerajinan
tangan.
Pada bulan Juni sampai Oktober, musim mencari ikan hias (Siluk) di
sungai, khususnya di sungai Teriak yang mengalir lewat dusun Seles. Ikan
Siluk memang unik, pada waktu anaknya masih kecil, mereka dipelihara di
mulut induknya. Di kota Bengkayang atau di Singkawang, perantara membeli
ikan Siluk untuk dijual di pasar lokal atau diekspor. Ikan Siluk bisa dijual
oleh masyarakat Dayak sampai 150.000 rupiah per ekor.
Pada bulan Pebruari sampai Mei petani sibuk memanen padi dan
setelah panen ada pesta padi Gawai. Pada bulan itu memang musim pesta
seperti pernikahan, sunatan dan niat atau dalam bahasa Indonesia syukuran.
Pada bulan Juni dan Juli masyarakat sibuk di kebun memanen kacang
tanah, ketimun dan mempersiapkan ladang kembali. Khususnya bulan Juli
dan Agustus masyarakat memilih ladang pindah-pindah yang baru, menebang
pohon dan membakar hutan untuk dijadikan ladang. Pada umumnya petani
membakar ladangnya sebelum tanggal 17 Agustus, sebelum musim hujan
mulai lagi. Kemudian setelah itu ladang ditanami supaya abu dari
pembakaran dapat menyuburkan tanah dan ini bersamaan dengan datangnya
musim hujan, saat yang baik untuk menanam bibit.
Semua daerah punya aktivitas sendiri. Masyarakat yang bermukim
dekat sungai sering terlibat mencari emas, sedangkan masyarakat yang
tinggal di dekat hutan sering menebang pohon. Ada beberapa pohon yang
sangat diminati, khususnya pohon kayu Keladan atau Kampor yang dapat
dijual. Ada juga beberapa jenis kayu yang cukup bagus untuk membuat mebel
seperti kayu Medang kuning dan kayu Nyato.
5. Bahasa
Kelompok bahasa suku Dayak Kanayatan diklasifikasikan sebagai
bagian keluarga dari bahasa induk Austronesia. Lebih persis sub keluarga
bahasa Malayu-Polinesia Barat menurut sebuah organisasi ahli linguistik
bernama Ethnologue. Suku Dayak Kanayatan berlokasi di utara dari Pontianak
dan selatan dari perbatasan Malaysia-Indonesia. Kota yang penting di daerah
suku Kanayatan adalah kota Bengkayang, Lumar, Sangga-Ledo, Salamantan,
Menjalin, Darit, Ngabang dan Serimbu.
Faktor penting yang mewujudkan bahasa di Kalbar adalah keadaan
geografis dan pemerintah adat lokal. Faktor geografis atau batas alam
mempersulit interaksi dengan masyarakat dari jauh. Sama dengan sistem adat
pemerintah yang dikenal sebelum merdeka dengan nama pemerintahan Benua.
Daerah Benua, besarnya sampai sekitar 10 kampung. Urusan yang tidak
dikelola oleh kampung seperti tindakan-tindakan kriminal atau masalah
keamanan dari luar dikelola oleh kepala Benua. Hubungan politik dalam
Benua dapat mewujudkan kesamaan bahasa atau dialek. Sebenarnya sampai
sekarang bahasa Bakati Rara atau Bakati Sebiha dipakai di daerah Benua
mereka sendiri. Pada umumnya klasifikasi bahasa mengikuti daerah Benua
walaupun pemerintah Benua tidak ada lagi dalam pemerintahan dewasa ini.
Bang Albertus dari Institut Dayakologi mengklasifikasikan setidaknya
sembilan logat Bakati di suku Kanayatan. Dia membedakan logat Bakati dari
beberapa Benua yaitu; Rara, Palayo, Sebiha, Lumar, Kanayatan Satango,
Subah, Kuma-Sengayan, Sara dan Riok.
Menurut salah satu sumber sekitar 42 persen atau sekitar 1,5 juta
jumlah penduduk di Kalbar dari latar belakang etnis Dayak. Kebudayaan dan
bahasa asli mereka beraneka ragam. Batas alam yang sulit diseberangi seperti;
pegunungan, hutan lebat, sungai besar, lembah dan rawa merupakan garis
yang memutus satu kelompok dari kelompok lain. Kita juga harus sadar
bahwa perbatasan bahasa atau daerah bahasa tidak selalu sama dengan
perbatasan atau daerah kebudayaan, dan tidak semua ahli mengikuti klasifikasi
yang sama, kadang-kadang menyebabkan kebingungan.
Menurut informan lokal “Kanayatan” berarti dalam bahasa Indonesia
(BI) “cara berbahasa”. Kelompok Kanayatan dibagi enam sub bahasa sebagai
berikut:
• Bakati, dalam BI berarti “tidak”. Bahasa itu punya setidaknya 5 logat
termasuk Palayo, Rara, Lumar, Riuk dengan jumlah pembicara 4000
(1980). Bahasa ini mirip dengan bahasa Nyadu.
• Nyadu, dalam BI berarti “tidak”. Bahasa ini punya setidaknya dua
logat; Hulu Ngabang, Perigi, dengan jumlah pembicara mungkin 5000
(1981) Bahasa ini mirip dengan bahasa Bakati.
• Ahé, dalam BI berarti “apa”. Bahasa ini punya dua logat, di
Mempawah Hulu dan Sengah Temula, jumlah pembicara 30000
(1990). Juga, dikenal sebagai Ahé Dayak. Bahasa Ahé mirip dengan
bahasa Jaré.
• Jaré, dalam BI berarti “katanya”. Pembicara berada di Montrado dan
Salmalantan dan daerah lain, jumlah pembicara belum dapat
dipastikan.
• Ampapé, dalam BI berarti “bagaimana”. Pembicara berada di Darit,
Menyukee, dan daerah lain, jumlah pembicara belum dapat dipastikan.
Bahasa ini mirip dengan bahasa Langin.
• Langin, dalam BI berarti “tidak”. Pembicara berada di utara dari
Ngabang, hulu sungai Landak dan Tubang, jumlah pembicara belum
dapat dipastikan.
BAGIAN III
KEHIDUPAN DAYAK KANAYATAN
1. Mata Pencarian dan Seni
A. Kebutuhan Primer dan Hasil Hutan
Pada dasarnya kebutuhan pokok dipenuhi oleh lingkungannya.
Sudah dikatakan sebelumnya bahwa Orang Dayak berburu dan berladang.
Padi (Oriza Sativa) dari keluarga Poacerea adalah suatu yang paling penting
dalam kehidupan Dayak. Keaneka-ragaman jenis bibit padi sangat tinggi.
Masyarakat Dayak terdiri dari petani ladang berpindah-pindah. Ladang
gunung baru dipilih dengan izin kepala desa. Pada umumnya hanya ladang
yang ditanam setidaknya tujuh atau sepuluh tahun sebelumnya digunakan
lagi. Tanah hutan yang semakin lama tidak digunakan untuk ladang semakin
subur. Keuntungan lain dari ladang berpindah-pindah adalah karena setelah
tanah cukup lama tidak digunakan menjadi hutan lagi sehingga tidak banyak
rumput yang tetap hidup. Itu berarti ladang tidak perlu digarap secara intensif
setelah padi muncul dan tumbuh.
Biasanya padi ladang di tanam pada bulan Agustus dan September,
setelah ladang di bakar dan dibersihkan. Masyarakat tidak menggunakan
alat-alat canggih dan juga tidak menggunakan tenaga hewan seperti kerbau
atau sapi. Mereka hanya menggunakan parang, kapak, cangkul dan tenaga
manusia untuk mempersiapkan ladang.
Petani-petani menggunakan abu dari kayu yang dibakar sebagai
pupuk yang sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan padi di ladang.
Seandainya ladang sudah siap untuk disebarkan bibit padi, petani membuat
lubang dengan tongkat, setelah itu langsung beberapa bibit padi dimasukkan
dan lubang ditutupi.
Ada upacara pada saat bibit padi ditanam dengan gaya melingkar
dan memberi korban ayam sebagai sesajen. Selama masa tumbuh padi ada
ritual dan memberi korban sesajen, supaya roh jahat dan baik merasa puas
dan panen tidak gagal tetapi berlimpah. Pada waktu ritual sesajen ada
pantangan makanan pada keluarga sesuai dengan yang disuruh oleh balian,
misalnya tidak bisa makan rusa atau rebung selama beberapa minggu. Pesta
besar bernama Gawai ada pada waktu panen.
Pada waktu di dusun Selabih, sekitar tiga jam jalan kaki dari
Senapit, seorang tokoh masyarakat menjelaskan bahwa ada banyak jenis bibit
padi ladang, yang dalam bahasa Bakati disebut uma. Bibit padi yang terdapat
di dusun Selabih ada pada tabel berikut.
Jenis Padi Ladang
Karakteristik Rasa
Fisik Bibit
Sekayam
Lembut
kecil /panjang
Sungkung
lembut
besar / pendek
Labu
keras
kecil / panjang
Penyanggong
sangat keras
besar / pendek
Labuh
lembut
besar / pendek
Ribunputh
lembut
panjang / kecil
Niyu (merah)
lembut
kecil / panjang
Semut (hitam)
lembut
panjang / kecil
Mandi (beras ketan)
lembut
panjang / kecil
Di samping padi ladang atau padi gunung juga ada jenis bibit
khusus untuk sawah di dusun Selabih atau dalam bahasa Bakati untuk ladang
paya yang ditanam pada bulan September sampai Oktober. Daftar bibit padi
dicantumkan pada tabel di bawah ini.
Jenis Bibit Sawah
Karakteristik Rasa
Fisik Bibit
Siya
keras
besar
Yakah
lembut dan wangi
kecil
Batiksay
keras
besar / pendek
Bimas
lembut
besar / pendek
Malang
keras
kecil / panjang
Pangkat
lembut
kecil /panjang
Jenis bibit padi tidak dicampur dengan jenis bibit lain pada waktu
ditanam, tetapi bagian ladang yang lain bisa digunakan untuk jenis
tamanan lain. Di ladang mereka sering menanam sayur, ubi kayu (Manihot
uthlissima), ubi jalar (Hamoea Batatas), jagung (Zea Mays), tebu
(Saccharum off Tiongkokrum), ketimun (Cucumis SP) dan jenis lain.
Tanaman-tanaman tersebut ditanam sewaktu padi sudah tumbuh, atau di
ladang tersendiri yang terpisah dari petak tanaman padi.
Di bawah ini daftar bibit padi di Senapit dan desa tetangganya yang
terletak di utara dari desa Selabih.
Bibit Padi Ladang
Bibit Sawah
Karakteristik
Informasi Lain
Pandan
harum, enak
Manyang
lembut
Bajuan
Bajara
lembut
cepat lapar
Bantana
Sungkung
Tare
Sumat
Purut
Ringka
kasar
seperti jagung,
lama merasa
kenyang
Gogo
Serwanda
Bengkata
Sentio
Sia
Kepala
Kampung
sangat lembut
panjang
Latum
Serecant
Di desa Paham masyarakat mencoba menanam padi unggul, sejenis
padi yang diluarkan oleh Dinas Pertanian. Petani sudah menanam jenis padi
unggul dua kali dengan hasil yang kurang memuaskan, karena bibit unggul
tidak tahan serangga dan kemungkinan jenis bibit unggul tidak cocok dengan
kesuburan ladang dan jenis tanah mereka. Sekarang petani tidak berani lagi
menanam bibit itu.
Kekayaan diversitas bibit padi petani tradisional sebenarnya jauh
berbeda dengan diversitas bibit padi masyarakat yang lebih maju yang
diversitas bibitnya lebih kecil. Sama dengan diversitas perkebunan tradisional
dengan perkebunan yang modern. Perkebunan karet tradisional termasuk
pohon buah-buahan, rotan dan tumbuh-tumbuhan lain yang bermanfaat bagi
masyarakat dipelihara. Itu jauh berbeda dengan perkebunan monokultur
kelapa sawit yang memerlukan banyak pupuk dan pestisida.
Obat-obatan pertanian atau pestisida dan herbisida sudah masuk
daerah terpencil dan dikenal oleh petani tradisional. Ongkos buruh dengan
ongkos penggunaan herbisida untuk membersihkan dan memudahkan
penggarapan tanah hampir sama. Kelihatannya bahwa kebijakan perusahaan
multi nasional herbisida menyadari ongkos potong rumput ladang secara
manual dengan efek dan ongkos penggunaan Roundup sebagai alternatif yang
ongkosnya hampir sama. Penggunaan obat-obatan di pelosok tersebar luas dan
ladang padi tradisional tidak selalu bebas dari racun tersebut.
Gaji buruh di desa yang pekerjaannya tidak berat, seperti
memotong rumput mendapat upah 10.000 rupiah per hari dan kerja berat
seperti memikul barang mendapat upah sampai 20.000 rupiah per hari. Di
daerah tradisional juga ada sistem kerja Belalé yang berarti tukar menukar
tenaga kerja pada waktu yang berbeda, tidak ada pembayaran dalam belalé
tetapi hanya tukar hari saja.
Pada zaman dulu padi yang berasal dari pegunungan yang ditanam di
hulu sungai oleh masyarakat Dayak sangat diminati. Gabah dari ladang
gunung bernilai tinggi dan ditukar atau dijual kepada pedagang Melayu yang
mampir untuk menjual dan membeli barang yang diminati oleh masyarakat
Dayak.
Dewasa ini harga beras terlalu rendah dan padi hanya ditanam untuk
kebutuhan sendiri. Sekitar ibu kota Kapubaten Bengkayang diamati beberapa
sawah yang tidak ditanami lagi pada musim tanam ini, sebab harga pasar yang
diatur oleh pemerintah pusat tidak seimbang dengan ongkos dan usaha petani.
Seandainya panen gagal atau hasil tidak cukup dengan kebutuhan hidup
mereka maka keperluan beras dibeli di pasar. Ada beberapa tanaman yang
khusus ditanam untuk dijual seperti kopi, jahe dan terutama getah dari pohon
karet (Helvea brassiliensis), lada, dan jagung (Zea Mays).
Bibit pohon karet masuk ke Indonesia pada zaman kolonial dan
menjadi salah satu penghasilan pokok suku Dayak tradisional. Perkebunan
tradisional karet di hutan sangat sesuai dengan lingkungannya. Banyak jenis
pohon yang bermanfaat bagi masyarakat juga ditanam yang mengakibatkan
keanekaragaman hayati hutan. Sebagaimana yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa sekitar delapan bulan masyarakat menyadap pohon karet,
selama empat bulan waktu musim hujan tidak bisa menyadap karet. Artinya
masyarakat menyadap karet tergantung pada cuaca. Penghasilan per hari per
100 pohon karet sekitar lima kilogram yang sudah beku dan dijual ke
perantara.
Lada adalah penghasilan agraris penting kedua di daerah Seles.
Buahnya dijemur dan langsung dijual kepada makelar. Seandainya buah lada
dicuci sebelum dijemur supaya kulit bijinya lepas maka nilainya lebih tinggi.
Selain pohon karet juga ada pohon lain dengan nilai ekonomi tinggi.
Di daerah Seles tidak banyak pohon yang dapat ditebang untuk dijadikan
papan. Dusun Seles yang terletak jauh dari jalan raya itu tidak banyak
memiliki pohon yang cukup besar. Pohon buah-buahan sangat penting bagi
masyarakat. Pohon-pohon tersebut antara lain adalah pisang yang ada banyak
jenisnya seperti; pisang Mas, Palembang, Otel, Ambon, Selandang, Kapal,
Kanyi, Nyawah yang berwarna merah, Bodol, Raja, Sejampu, Kapas, Kaok,
Susu, Tandur dan yang untuk dimasak jenis pisang Pilin.
Ada juga perkebunan buah-buahan warisan dari nenek moyang dekat
gunung Seles di bekas pemukiman lama. Walaupun lokasi rumahnya sudah
kembali menjadi hutan, pohon buah-buahan yang dulu ditanam di sana masih
ada. Pohon buah seperti; Rambutan (Nephilium Lapian), Cempedak
(Anthogarfus Intersa), Durian, Manggis, Duku, dan Petai.
Di desa Seles ada perkebunan karet, ladang gunung dan hutan.
Walaupun hutan tidak sama luasnya dengan pada waktu nenek moyang,
berburu merupakan salah satu tradisi kaum laki-laki Dayak yang masih
dilakukan. Binatang adalah salah satu sumber protein penting bagi masyarakat
Dayak. Dulu pemburu-pemburu menggunakan senjata sumpit tetapi sekarang
ada senapan, yang dalam bahasa Bakati disebut badil yang mereka buat
sendiri. Kebanyakan pemburu memburu binatang sendirian dengan senjata
senapan, mereka tidak berburu dalam kelompok. Pemburu menembak atau
memasang perangkap untuk menangkap babi, rusa, kijang, landak, monyet,
kera dan binatang lainnya.
Burung juga ditangkap atau ditembak, tetapi cara membunuh burung
tergantung pada jenis dan besarnya burung. Untuk menangkap burung
penggunaan lem yang dibuat dari karet mentah supaya menjadi bahan yang
lengket. Lem itu digosokkan pada batang pohon, supaya burung yang
mendarat di batang tersebut lengket dan tidak bisa terbang lagi. Cara
menangkap khusus digunakan untuk jenis burung Pipit, yang kecil dan
merusak padi di ladang dan sawah. Lem juga digunakan untuk menangkap
burung Sid, Kalakn, Pece, Kitu, Jiriwit dan Sentotok. Burung Kiong ditangkap
dengan memakai suara Kiong lain yang direkam di tape-recorder. Setelah
burung Kiong mendengar suara Kiong yang direkam tersebut dia datang dan
ditangkap dengan menggunakan jaring yang sudah disiapkan sebelumnya pada
posisi strategis. Salah satu senjata sederhana adalah ketapel juga masih
digunakan. Khususnya pemuda-pemuda yang sangat terampil menangkap
banyak burung dengan senjata itu. Burung besar dan yang cepat cepat seperti
Minsio, Jarapit, Salapn, Alo Bauwn, dan Seruwé ditembak dengan
menggunakan senapan.
Ikan tawar, kerang-kerangan, dan keong, adalah juga sumber terbesar
protein orang Dayak yang ditangkap di sungai dan di kolam alami atau kolam
buatan. Jenis ikan yang ditangkap adalah Sanga, Seluakn, Tempolik, Pet,
Buhiken, Babalo, Kebalis, Jelo, Tebugon, Balu, Batok, Bence, Dodok,
Lamantum, belut (Monopterus), Sensibut dan Hiram. Jenis siput (Molusca
gastropoda) yang ditangkap adalah; Lamuui, Lee dan Lapo serta sejenis tiram.

B. Penambangan Emas
Di bagian selatan Kalbar sejak lama masyarakat Dayak melakukan
dompeng atau Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI). Aktivitas PETI di
sungai Teriak di desa Seles baru muncul beberapa tahun belakangan ini.
Sekitar 50 rakit dan sampan dengan peralatan mesin disel dan pompa
digunakan untuk mencari emas di dasar sungai dekat dusun Seles. Pada musim
kemarau sungai menyusut sampai sekitar tujuh meter dalamnya sehingga
pekerjaan penyelam tidak begitu sukar. Awak yang bekerja di rakit atau
sampan berjumlah sekitar empat atau lima orang. Tugasnya terdiri dari
menyedot air lumpur dari palung sungai yang disemprotkan di kain tebal yang
berada di sampan dan menjaga selang udara penyelam dan selang air yang
menyedot pasir dari palung sungai. Awak sampan bertugas mencuci hasil
lumpur yang mengandung debu mas, memasak untuk karyawan di sampan dan
mengambil solar dan juga keperluan lain yang harus didapat beberapa
kilometer jaraknya dari dusun.
Tiap jam atau sesuai dengan keinginan mandor, kain tebal yang
terdiri dari beberapa kesetan dengan tulisan welcome yang berserat, dilepaskan
dari tempatnya dan kesetan tersebut dicuci supaya lumpur yang berisi debu
emas dapat lepas. Lumpur yang mengandung debu emas didulang oleh
pendulang emas supaya konsentrasi pasir berkurang sehingga kandungan emas
yang tinggal di dulang lebih tinggi. Pada tahap terakhir hasil dari proses
pendulangan yang belum sempurna diberi air raksa supaya kotoran lepas dari
debu halus emas. Pada umumnya sekitar tiga sampai lima gram hasil emas
diperoleh per hari. Sekali seminggu hasil gumpalan emas dijual ke pasar di
kota Bengkayang, beberapa jam jaraknya dengan sepeda motor dari Seles.
Penghasilan dari PETI dibagi dengan investor yang membeli
perlengkapan penambangan di sampan atau rakit, pekerja tambang di sampan
dan sebagian kecil kepada kepala dusun dan masyarakat di desa. Tugas
penyelam sebenarnya pekerjaan paling berbahaya apalagi jika menyelam pada
musim hujan palung sungai menjadi lebih dalam lagi dan tekanan air sampai
di kedalaman 14 meter. Kondisi seperti itu sebenarnya bisa merugikan organ-
organ vital manusia, bahkan bisa menyebabkan darah keluar dari telinga dan
hidung. Informan di lokasi menyatakan bahwa baru-baru ini seorang mantan
tukang ojek yang menjadi penyelam terpaksa harus pulang karena darah
keluar dari badannya dan dia tidak tahan menyelam di sungai lagi.
Di samping PETI di sungai dekat dusun Seles ada operasi PETI darat
dekat dusun Selabih yang memiliki peralatan penambangan yang lebih
lengkap dan besar dibandingkan dengan PETI sungai. Sekitar tujuh sampai
sembilan pekerja bertugas di penambangan emas tersebut. Air sungai
dipompakan ke penambangan darat sekitar setengah kilometer jaraknya dari
pinggir sungai dan air sungai disemprotkan langsung di atas tanah supaya
tanah berlumpur. Air berlumpur yang mengandung emas disedot dan dialirkan
ke tempat yang disebut kian yang terdiri dari papan khusus yang dipasang
dengan kain tebal atau kesetan dengan tulisan welcome yang berserat. Emas
yang sebenarnya salah satu logam terberat ditangkap oleh serat-serat di antara
kain tebal. Beberapa kali per hari kain tebal atau kesetan dicuci. Lumpur yang
mengandung pasir halus emas didulang. Setelah itu debu emas kotor tinggal.
Pada proses mencuci terakhir air raksa digunakan untuk memisahkan kotoran
dari emas. Hasil emas paling kecil sekitar 12 gram per hari, tetapi biasanya 20
sampai 30 gram. Sekali-sekali mereka beruntung dan hasil emas bisa
mencapai 50 gram per hari. Pemilik tanah dari dusun Selabih dan investor
peralatan penambangan mendapat sekitar setengah bagian dari emas yang
dihasilkan. Setengah bagian lagi dari hasil itu dibagi untuk para buruh
penambangan yang berasal dari Selabih.
Penghasilan dari dompeng lebih tinggi dibanding dengan penghasilan
dari perkebunan karet, tetapi juga lebih berbahaya. Beberapa bulan yang lalu
dua orang masyarakat Selabih ditelan oleh longsor tanah pada waktu mereka
bekerja di penambangan emas saat mengambil lumpur yang mengandung
debu emas yang tinggi dari lokasi penambangan yang berbahaya.
Masyarakat berpendapat bahwa penambangan emas PETI hanya untuk
sementara waktu dan walaupun aktivitas PETI itu gelap tetapi diabaikan oleh
pejabat berwenang setempat. Seandainya aktivitas penambangan tidak ada
lagi, masyarakat berencana kembali menyadap karet. Untuk sementara
aktivitas tersebut menambah penghasilan warga dusun dan mengurangi
pengangguran, yang kelihatannya mempunyai efek positif untuk jangka
pendek. Pada jangka panjang aktivitas PETI yang dilakukan di hutan
berdampak negatif pada lingkungan, serta limbah air raksa yang dilepaskan
mengancam kesehatan warga dusun.

C. Seni
Seni adalah konsep yang terkait dengan segala aspek hidup sehari-hari
orang Dayak. Mulai dari alat cangkul yang digunakan di ladang sampai patung
kepercayaan yang dipahat memiliki nilai religi yang tinggi.
Salah contoh karya seni lain adalah sejenis alat dari bambu dan rotan
yang bernama bubu untuk menangkap ikan, keong dan kepiting. Sebenarnya
bubu adalah suatu kerajinan-tangan yang dibentuk dengan sangat indah. Dulu
memang ada banyak peralatan sehari-hari seperti, pakaian, senjata, topeng,
tikar, patung, keranjang, dan tempat untuk menyimpan beras yang diciptakan
dan dibuat oleh masyarakatnya sendiri.
Pakaian khas Dayak dari kulit kayu masih dipakai pada waktu Perang
Dunia Kedua. Waktu itu memang sulit sekali untuk mendapatkan kain untuk
menjahit celana dan baju, itu alasannya masyarakat kembali menggunakan
pakaian tradisional. Warna juga menjadi hal yang penting bagi orang Dayak.
Dulu orang Melayu yang menjual kain kepada orang Dayak hulu sungai
menyatakan bahwa hanya warna hitam dan merah yang diminati oleh orang
Dayak. Sekarangpun warna hitam dan merah masih menjadi warna tradisional
Dayak Kanayatan.
Di Senapit ada pondok adat warisan dari nenek moyang, yang tidak
jauh dari gereja Katolik. Jarang orang yang masuk daerah itu lagi, terutama
pemuda dan pemudi. Di sana ada beberapa patung yang bernama Raja Gandi,
Niagun Nimpa, Gandi Amas dan Bereniyo yang mengandung nilai spiritual
yang menjaga manusia dari kesialan dan membantu masyarakat mengatasi
masalah. Balian di Senapit yang sudah cukup tua telah banyak lupa tentang
hal yang diceritakan oleh orang tua mereka, seperti mengenai roh-roh dan
tempat spiritual tersebut. Dulu memang masyarakat berkumpul di tempat suci
itu pada waktu panen, menanam padi atau kalau ingin mengadakan perayaan
yang besar. Tidak jauh dari patung ada tempayan kuno yang digunakan dalam
upacara tradisional. Di atas tempat patung tradisional itu ada beberapa
tengkorak yang bagian tulang atasnya diberi motif tradisional. Tengkorak di
pondok suci adalah tengkorak hasil pengayauan oleh panglima pada zaman
dulu.
Pak Hiong adalah salah seorang warga dusun yang membuat sejenis
tikar biday dari bambu dan kulit kayu dari pohon pudu. Biday itu tahan lama
dan digunakan di rumah sebagai tikar tidur dan juga sebagai tempat duduk.
Masyarakat di desa juga membuat bermacam-macam keranjang, yang mirip
dengan ransel takin dari rotan sejenis runa. Warga desa juga membuat alat
untuk menangkap ikan tanggo dan tikar kecil yang dibuat dari daun pandan,
bambu dan rotan.
Pada zaman dulu arsitektur rumah panjang menakjubkan. Pak Alos
yang lahir pada tahun 1942 di rumah panjang dengan 50 pintu (KK) di dusun
Senapit menjelaskan jenis bambu dan daun yang dahulu digunakan dalam
membangun rumah panjang. Tiang-tiang rumah panjang terdiri dari bambu
jenis batung, dinding dibuat dari jenis bambu buru, lantai dibuat dari jenis
bambu garé. Atap rumah panjang dibuat dari jenis daun sagu yang tahan lama
yang dapat dipakai sekitar enam tahun. Ada beberapa jenis daun lain yang
digunakan, seperti jenis rengkanang yang tahan lama sampai satu tahun dan
daun pura yang bisa tahan selama enam bulan. Pintu-pintu dibuat dari kulit
kayu sejenis sebumun.
Pak Alos juga menjelaskan penggunaan rumah panjang. Bagian rumah
panjang di ruang ujung belakang digunakan khusus untuk keluarga, sedangkan
bagian depan dan serambi adalah tempat bergaul dan tempat tidur untuk tamu.
Kebanyakan rumah panjang atau rumah benteng tidak ada lagi karena rumah
panjang kurang sesuai dengan kebijaksanaan pemerintah atau dianggap tidak
sesuai dengan standar hidup yang tepat. Kehidupan komunal memang berbau
seperti pola hidup komunis dan jitu tidak sesuai dengan norma pemerintah
dari sudut keselamatan, kesehatan dan moral.
Belum lama berselang penghuni rumah panjang di Paham yang
diperkirakan dibangun sebelum tahun 1883 didorong meninggalkan rumahnya
karena rumahnya diusulkan untuk dimuseumkan. Masyarakat di rumah
panjang menolak usulan pemerintah tersebut dengan keras.
Masakan dan minuman adalah juga salah satu ekspresi artistik
penting yang belum sering dieksplorir oleh ilmuan-ilmuan budaya. Orang
Dayak memiliki beberapa hidangan dan lauk pauk yang memuaskan selera
mereka dengan baik. Semua makanan dimasak di atas kayu bakar supaya rasa
asap alami masuk makanan. Pada umumnya orang makan nasi satu, dua atau
tiga kali per hari dan kadang-kadang ada makanan tambahan, seperti ubi kayu
yang direbus atau digoreng dan jagung yang direbus atau dibakar.
Orang Dayak menikmati masakan ikan kering. Salah satunya adalah
resep Ikan Teri Jahe yang cara masaknya sebagai berikut. Sedikit minyak
kelapa dipanaskan dalam kuali, setelah itu cabe dan jahe yang sudah
dihaluskan atau diiris dimasukkan. Setelah beberapa saat ikan teri yang sudah
dicuci dimasukkan ke dalam kuali dan ditambah vetsin (bumbu penyedap) dan
garam secukupnya. Ibu di dapur yang menceritakan resep hidangan ini kepada
saya menjelaskan bahwa vetsin masuk kampung itu pada tahun 70-an,
sebelumnya garam dan gula dipakai untuk “menggoyangkan” lidah.
Daun Pakis adalah salah satu sayur yang sering dimasak dengan cara
ditumis. Bagian yang dimakan adalah bagian daun yang masih muda. Bawang
merah, terasi dengan sedikit cabe digoreng di kuali, kemudian ditambah
sedikit ikan teri, air putih. Terakhir daun pakis dimasukkan beberapa menit,
setelah layu diangkat.
Minuman beralkohol yang terkenal adalah arak. Pada waktu studi
lapangan salah satu warga dusun menyerahkan resep cara menyuling arak.
Beras sebanyak 20 kilogram dimasak di kuali yang besar, setelah matang nasi
didinginkan. Nasi tersebut diletakkan di tempat yang tepat supaya nasi bisa
digemburkan dan kemudian diberi air sedikit supaya tidak lengket lagi. Kira-
kira setengah kilogram ragi yang telah dihaluskan dicampur dan diaduk
sampai rata untuk membuat arak tersebut. Hasil arak disimpan di dalam tong
atau drum. Setelah tiga malam ditambah sekitar 60 liter air bersih dan diaduk
sedikit. Setelah delapan hari baru cairan arak ditaruh di kuali dan dimasak dan
kemudian disuling. Arak dari resep di atas dapat menghasilkan sekitar 25
sampai 30 liter. Proses di atas juga bisa diulangi lagi dengan menggunakan
nasi yang sama dan hanya perlu menambahkan gula 15 sampai 20 kilogram
dan juga ragi. Proses itu bisa diulangi sampai enam kali sebelum nasi tersebut
tidak bisa dipakai lagi dan dibuang.
Tuak adalah minuman yang dibuat dari beras dan ragi tapé. Caranya
adalah satu setengah kilogram beras dimasak, setelah nasi matang didinginkan
dan kemudian diberi tiga-empat biji ragi tapé. Setelah itu campuran tersebut
ditambah dengan sekitar tiga liter air bersih dan disimpan di dalam tong yang
tertutup. Setelah tiga malam baru diperas dan air tuak atau arak tuak siap
untuk diminum.
Di samping makanan, sastra lisan juga termasuk seni orang Dayak
Kanayatan. Salah satunya adalah kisah “Ria Sindir yang lari ke Banyukee”
yang diceritakan oleh Pak Aloysius di bawah ini.
Ria Sindir adalah pemuda yang pergi merantau dengan naik perahu ke
kuala Béhé hilir sungai. Waktu sampai di hilir dia menemukan sehelai rambut
sepanjang tujuh kilan
4
. Dia berpikir tentang siapa yang mempunyai rambut
itu, dia harus sampai ketemu, jadi sampai lama-lama pas ketemu pemilik, jadi
saya mau pacaran dengan pemilik rambut. Pada akhirnya Ria Sindir bertemu
dengan pemilik tersebut, tetapi dia sudah kawin. Dia menikah dengan seorang
laki-laki yang beristri tujuh perempuan, yang ketujuh jadi pemilik rambut
yang bernama Darah Hitam. Suaminya, Palang Paling susah hatinya, soalnya
dia mau berperang dengan Baya Aju yang sebenarnya seorang panglima
dengan alasannya Baya Aju mau ambil istri ketujuh, Darah Hitam. Tetapi,
4
sehelai kilan adalah jarak dari kupu jempol sampai kupu jari telunjuk
Palang Paling tidak mau capek dan mencari orang yang cukup berani seperti
seorang panglima. Untung dia ketemu dengan si Ria Sindir. Palang Paling
bertanya kepada si Ria Sindir “Siapa namamu?” Si Ria Sindir menjawab,
“Saya Ria Sindir”. Palang Paling mengatakan, “Kalau kamu bisa melawan
Baya Aju saya akan memberi gaji beberapa gantang emas boleh saya kasih”.
Ria Sindir menolak dan mengatakan “Saya tidak mau pakai emas, kalau bisa
saya kasih salah satu dari istrimu”. Lalu Baya Aju menyanggupi. Dia setuju
dan mengatakan “....tetapi kamu harus menang!” “Setuju”, jawab si Ria
Sindir, “besok kita pergi membawa satu meriam dan membawa sepuluh lapis
serdadu”. Kemudian mereka siap untuk berkelahi dekat istana Baya Aju. Ria
Sindir mengatakan kepada prajuritnya “Kamu istirahat dulu di sini, sebabnya
aku mau periksa istana panglima Baya Aju dulu”. Di sana ada pagar dengan
aur berduri (seperti bambu). Ria Sindir mundur ke kelompok perajut tadi. Dia
menyatakan kepada mereka “Kita tidak sanggup melawan sekarang”.
Langsung pulang berangkat, datang ke istana raja Palang Paling. Ria Sindir
berbicara dengan raja bahwa kita tidak sanggup untuk berlawan panglima
Baya Aju, karena peluru tidak mampu membongkar pagarnya. Dia bicara lagi
dengan raja “Kalau mulia bisa kasih 5 buah meriam yang berisi dengan uang
perak pasti kita menang”. Si raja terima dan mengatakan “Hasil kita berharus
menang!” Si Ria berbicara dengan anggota panglima perang Palang Paling,
langsung mereka isi peluru di meriam lima buah. Kemudian si Ria Sindir
bergerak dengan pasukannya dari istana raja Palang Paling. Mereka datang ke
istana raja Baya Aju pada jam empat pagi dan langsung menembak pagarnya
dengan peluru-peluru perak. Setelah itu pasukan raja Palang Paling dengan
Ria Sindir berkumpul dan beristirahat. Pada saat fajar anak buah raja Baya
Aju keluar dari istana dan melihat ada banyak uang perak yang terletak di
pagarnya. Mereka melapor kepada raja Baya Aju masalah tersebut “Tolong
periksa pagar kita, ada banyak uang di situ”. Raja Baya Aju memeriksa
pagarnya setelah itu, inilah panglima Baya Aju sudah menyatakan dirinya,
“Kita sudah kalah!” Lalu Baya Aju menyuruh anak buahnya untuk menebas
habis pagar itu, uang dipungut dan dimasukkan dalam lima karung. “Kita
perlu pesta dulu.” kata Baya Aju, karena Palang Paling sudah pakai senjata
rahasia. Panglima Ria Sindir membawa pasukan perangnya lalu raja panglima
Baya Aju ditangkap yang sendiri sudah menyerah dan dibawa ke istana Raja
Palang Paling.
Ria Sindir menyatakan, “Kita sudah menang, bagaimanakah Raja janji
kita dulu?” Mau atau tidak mau raja tetap dengan janjinya dan menyerah dan
menyuruh enam istrinya berpakaian yang indah, supaya Ria Sindir sangat
tertarik. Kemudian setelah itu Palang Paling berkata, “Yang mana kamu
suka?”, padahal istri ketujuh tidak datang karena dia disuruh memasak di
dapur. Lalu Ria Sindir menyatakan “Raja, bagaimana istri ketujuh, tidak
dikeluarkan?” Raja menjawab, “Dia dikeluarkan, karena masih kotor”. Ria
Sindir menyatakan, ”Biar kotor, harus diluarkan!” Kemudian istri ketujuh
langsung dikeluarkan. Lalu dia disuruh memilih yang mana disukai. Ria Sindir
memilih, yang dia sukai adalah istri ketujuh, yang bernama Darah Hitam.
Baya Aju tersenyum. Raja Palang Paling lalu menyatakan “Tidak gunanya
saya menang, istri nomor tujuh, Darah Hitam, sudah di ambil oleh Ria Sindir”.
Palang Paling berkata, “Ria Sindir apakah kamu suka yang jelek?”.
“Meskipun jelek, ini adalah pilihan saya” , kata Ria Sindir.
Kemudian Ria Sindir berpamitan pada raja Palang Paling. “Ayo kita
sekarang berangkat pulang ke Kuala Béhé, di sana ada rumah bertangga”, Ria
Sindir berkata kepada Darah Hitam. Setelah mereka nikah, mereka bahagia
selama hidupnya.
Itu kisah Ria Sindir yang lari ke Banyukee, yang diceritakan oleh Pak
Aloysius kepada saya di serambi rumahnya di dusun Senapit.
Gus, seorang teman di Senapit menyampaikan sejenis pantun,
seperti tersebut di bawah ini:
Kalau ada jarum yang patah
Jangan simpan di dalam peti
Kalau ada keluarga yang salah
Jangan disimpan di dalam hati
Pantun kedua adalah sebagai berikut:
Burung pipit makan temanggu
5
Senang datang ke Senapit
Kalau sudah pulang,
Abang pasti rindu.

3. Beberapa Aspek Struktur Masyarakat
Desa Seles terdiri dari empat dusun yaitu: Senapit, Seles, Tribun dan
Sejaro. Desa tetangga Rodaya yang warganya akrab dengan warga desa Seles.
Desa itu terletak di pinggir jalan raya ke Bengkayang yang terdiri dari tiga
dusun, Segiro dengan 26 KK, Sedané 22 KK dan Baya 37 KK. Struktur
masyarakat tiap dusun sedikit berbeda dari yang lain karena latar belakang
historis dan adatnya tidak selalu sama.
Sebelumnya sudah digambarkan bahwa masyarakat dusun Seles baru
berpisah dari Senapit dengan alasan untuk lebih dekat dengan ladang dan
sungai yang terletak lebih strategis dan bisa bermanfaat bagi kemajuan dari
sudut ekonomi mereka. Menurut informan, keturunan warga dusun Senapit
dan Seles berasal dari tiga hubungan darah pokok atau klan. Kebanyakan
masyarakat Seles berasal dari satu kekerabatan, tetapi mereka menerima
dengan baik pendatang yang berniat tinggal di Seles. Setelah dapat izin dari
kepala desa, baru-baru ini masuk sebuah keluarga dari desa tetangga yang
dulu tinggal di tengah hutan, dekat ladangnya dan kebun karet. Karena kurang
cukup interaksi sosial dan merasa sunyi di sana mereka masuk ke dusun Seles.
Pada bagian sebelumnya juga disebutkan bahwa dalam struktur
pemerintah dulu ada tokoh masyarakat bergelar Temenggung, Singa,
Pengarah, dan Mentri yang mengatur kehidupan adat di desa. Sekarang sesuai
5
sejenis buah
dengan undang-undang pemerintah resmi ada Kepala Desa, Kepala Dusun,
Kepala Adat, Ketua Rukun Warga (RW), Ketua Rukun Tetangga (RT), dan
masyarakat. Semua urusan di desa sebaiknya diatur secara internal dengan
aturan adat yang juga punya kekuatan untuk memberi sangsi pada masyarakat
terhadap pelanggaran yang dilakukan. Sebenarnya menurut adat Dayak orang
tidak divonis atau didenda tetapi diberi sangsi. Kelihatannya sangsi adat lebih
ringan dibandingkan dengan kebudayaan di luar masyarakat Dayak tetapi ada
faktor lain yang dilupakan yaitu, rasa malu. Menurut budaya Dayak,
seandainya warga masyarakat disalahkan oleh ketua adat, itu memang
membuat individu malu, tetapi apa yang lebih berat lagi adalah semua
keluarga dipermalukan juga. Itu adalah suatu denda yang sangat berat.
Pantangan dan hukum adat diatur oleh tokoh adat dan kalau perlu
oleh Dewan Adat Daya yang terdiri tokoh masyarakat yang bijaksana dalam
pembuatan keputusan yang sesuai aturan. Sebenarnya proses hukum tersebut
di luar hukum pemerintah pusat dan hanya berlaku seandainya kedua-belah
pihak menghormati keputusan dari Dewan Adat Daya
6
. Seandainya salah
satu pihak tidak setuju dengan sangsi atau prosesnya maka dia bisa memilih
proses hukum negeri yang diatur di pengadilan.
Waktu di Sumatra saya menemukan aturan “hak makan” yang sangat
menarik yang aspek-aspeknya dilukiskan sebagai berikut. “Hak makan buah
mentah” warga suku Dayak di Kalimantan sama dengan “hak makan buah
mentah” warga suku orang Rimba di Sumatra. Seandainya seorang yang lapar
mengambil misalnya, buah, ubi kayu atau tebu, dari kebun atau pohon dia
punya hak untuk mengkonsumsi hal itu secara bebas tanpa sangsi atau denda
karena hasil tanah tersebut tidak perlu dimasak. Tetapi kulit buah yang
dimakan harus dibuang di bawah pohon atau dikembalikan ke ladang itu.
Seandainya seseorang mengambil buah atau sayur seperti keladi, labu,
seseorang bisa dihukum, karena hasil itu perlu dimasak dan perlu dibawa ke
rumah itu berarti hasil tanah tersebut merupakan pencurian.
6
Di lampiran ada daftar sangsi Dewan Daya

Aturan dan pantangan pernikahan adat berlaku di Senapit. Orang
Dayak menganggap hubungan endogami keluarga inti atau hubungan dengan
orang satu darah adalah tabu. Dengan kata lain, perbuatan sumbang atau incest
dilarang. Hanya pada generasi ke empat boleh terjadi pernikahan dari batang
atau garis keluarga yang sama. Kalau masyarakat berniat menikah dengan
keturunan dari generasi ketiga boleh, tetapi harus membayar adat Pemuka
Bungkur sebesar enam talih seperti hukuman dan melakukan sajen besar yaitu
sajen Kunjit Perbanyu, yang terdiri dari seekor babi, tiga ekor ayam dan untuk
menutupi upacara sajen dengan seekor anjing. Pernikahan keturunan dari
generasi pertama dan dari generasi kedua tetap dilarang.
Istilah yang digunakan dalam bahasa Bakati untuk memanggil nenek
adalah numa, kakek disebut mama, bapak disebut bapak, ibu disebut sino dan
anak disebut kangot. Cucu disebut sungkunt dan cicit generasi ketiga disebut
hijut. Dalam adat Dayak jarang seorang anak diangkat atau diadopsi dari
orang lain seandainya orang tua tidak mampu atau meninggal dunia, anak
kecil dipelihara oleh kerabat dekat yang terbaik.
Masyarakat Dayak punya hubungan monogami. Laki-laki atau
perempuan bebas mencari pasangan exorilokal, ketika suasana dan kondisi
hidup lebih baik di luar, pasangan boleh tinggal di luar Senapit. Untuk
meningkatkan taraf hidup di Senapit memang terbatas, karena hidup di
pelosok memang sederhana dan untuk memperbanyak harta benda pribadi
sama sulitnya. Kebanyakan tanah di dusun, seperti hutan, tanah ladang
potensial dan sungai merupakan harta bersama dengan warga desa lain.
Perkebunan (buah, karet dan lada), kolam dan sawah yang diolah secara keras
diklasifikasikan sebagai harta pribadi, sama dengan rumah di desa yang
diturunkan kepada anak atau keluarga dekat seandainya orang-tua meninggal
dunia. Ladang yang dibuka untuk menanam padi adalah harta pribadi masing-
masing KK untuk sementara karena setelah tanah kembali menjadi hutan lagi
warga dusun lain bisa membuka ladang itu.
Seandainya laki-laki memilih membangun keluarganya di luar
Senapit misalnya di tempat istri, harta benda yang berada di luar Senapit pada
waktu dia meninggal dunia menjadi harta benda istrinya. Walaupun pada masa
lalu kelihatannya masyarakat desa patrilineal, tetapi dewasa ini cenderung
bilateral. Keputusan ketua adat di desa pada umumnya dibuat seadil mungkin.
Hal penting yang diutamakan oleh ketua adat adalah bahwa keputusan mereka
tidak merugikan keadaan di desanya.

4 Kesehatan, Kepercayaan dan Kosmologi
Pada umumnya keadaan kesehatan dan gizi masyarakat Dayak cukup
baik. Pada waktu tertentu ada puskesmas keliling yang masuk ke dusun
untuk memeriksa anak di bawah lima tahun (balita). Tidak ada indikasi
bahwa kesehatan umum kurang baik walaupun banyak orang lanjut usia
memang memerlukan kaca mata atau perlu perawatan gigi. Hasil dari hutan,
ladang sungai dan kolam memenuhi keperluan gizi pokok mereka. Dari sudut
medis ada beberapa tumbuhan lokal yang dimanfaatkan masyarakat.
Di lokasi penelitian sumber air minum cukup baik. Air mentah dari
sungai tertentu atau air dari pegunungan yang terdapat di dusun Senapit
dapat diminum mentah (langsung), walaupun mungkin lebih tepat air
dididihkan dulu sebelum diminum. Beberapa tahun yang lalu masyarakat
dusun Senapit mendapat dana dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
setelah waduknya yang dibangun dekat dusun mereka tidak bisa digunakan
lagi karena ada proyek pemerintah untuk memperbaiki jalan mengisi waduk
kecil tersebut dengan tanah. Dana dari LSM digunakan untuk membeli cukup
pipa buatan plastik dan semen untuk membuat waduk kecil dekat kaki
gunung secara gotong oyong atau kerja bakti supaya warga Senapit bisa
menikmati air minum dari sumber yang jauh lebih bersih lagi. Kebanyakan
dusun mempunyai sumber air minum bersih yang cukup. Memang salah satu
dusun yang dikunjungi yang terletak di pinggir sungai warga desanya
dipaksa mengambil air minum bersih dari tempat yang jauh karena air sungai
keruh akibat dompeng di hulu sungai.
Kesehatan dari sudut gizi, protein, mineral dan vitamin di desa cukup
baik. Masyarakat desa mendapatkan sayuran dari hutan seperti pakis dan
rebung maupun sayuran dari kebun, seperti ketimun yang ditambah dengan
hasil dari ladang, seperti jagung, beras, dan ubi pada umumnya mencukupi
kebutuhan mereka. Protein yang didapat dari daging termasuk daging ikan
dan daging dari perburuan, dan juga dari binatang yang dipelihara seperti
ayam dan babi.
Menurut perkiraan pihak di rumah sakit umum Bengkayang sekitar
60 sampai 70 persen jumlah penduduk di Bengkayang dan sekitarnya adalah
dari kelompok etnis Dayak. Obat-obatan tradisional diminum atau dicari,
tetapi dewasa ini ada kecenderungan untuk berkonsultasi dengan ahli
kesehatan modern. Menurut data diagnosis dokter di rumah sakit umum di
Bengkayang masalah penyakit utama adalah penyakit malaria yang
disebabkan nyamuk. Sampai 35 persen kasus pasien yang masuk ke rumah
sakit didiagnosis dengan penyakit malaria. Kedua, 20 persen pasien masuk
rumah sakit karena penyakit gastro enteritis akut, yang kelihatannya
disebabkan oleh faktor kebersihan. Ada kemungkinan karena alasan status
ekonomi yang rendah dan pendidikan yang kurang. Penyakit ketiga dengan
10 persen dari semua pasien yang masuk di rumah sakit adalah pasien
dengan penyakit gastri atau sakit maag. Pasien lain yang masuk rumah sakit
juga ada yang didiagnosis dengan penyakit seperti; tuberculosis (TBC),
dispepsia, bronkritis, hipertensi, tifoid, pneumonia, dan infeksi saluran
pernapasan akut. Saya sangat heran bahwa malaria masih merupakan salah
satu penyakit yang belum dapat diatasi.
Di samping masalah kesehatan juga ditemui masalah sosial di kota
dan di desa. Kelihatannya bahwa banyak minuman beralkohol dan banyak
merokok adalah masalah besar di desa, walaupun menurut warga kota
masalah minuman beralkohol, rokok dan judi seperti main togel, Liong Fu,
prostitusi, masalah penyakit kelamin, obat-obatan terlarang dan moral yang
belum mencegah korupsi adalah masalah pokok yang diamati di kota.

Pada waktu di Seles ketika ditanyakan apakah tujuan hidup mereka,
salah seorang tokoh masyarakat langsung mengatakan, “Menambah
keturunan”. Sama dengan kebanyakan masyarakat Indonesia salah satu
keinginan pertama adalah melahirkan anak dalam waktu cepat setelah
pernikahan. Anak merupakan salah satu hal yang diutamakan dalam hidup
orang-tua dan mereka menjaga si kecil dengan baik. Jarang orang-tua marah
dengan si kecil yang menjadi perhatian pada seluruh keluarganya. Secara
tradisional sebelum dan sesudah melahirkan anak ada upacara supaya roh
jahat tidak mengganggu si kecil. Ini dilakukan supaya anak kecil sehat dan
punya rezeki pada masa depan.
Balian atau dukun Dayak adalah tokoh masyarakat yang dipanggil
untuk melakukan upacara supaya roh-roh kudus yang tinggal di hutan,
ladang, pohon dan tempat lain tidak disakiti hatinya. Upacara balian
menghasilkan dan mengakibatkan bahwa jiwa seorang yang menerima
anugrah diperkuat dengan hal yang baik. Upacara yang dipimpin balian
terdiri dari trance, dance dan possession. Dalam upacara yang digambarkan
di atas beberapa ekor ayam, babi dan untuk menutupi upacara seekor anjing
di korbankan. Dalam kepercayaan tradisional Dayak masalah atau ketidak
puasaan jiwa menyebabkan orang jatuh sakit. Walaupun ada puskesmas
keliling dan rumah sakit, orang Dayak tidak selalu berpikir bahwa masalah
kesehatan dapat diatasi di tempat medis modern. Saya memperoleh cerita
bahwa kadang-kadang seorang masuk rumah sakit untuk pengobatan tetapi
tidak ada manfaat walaupun mereka mengeluarkan banyak uang untuk obat.
Masalah itu menjadi alasan mereka merasa lebih cocok dan puas
berkonsultasi dengan balian atau ahli obat tradisional yang berada di
kampung atau di desa.
Pak Asin adalah salah satu ahli obat tradisional di desa dari keturunan
Dayak dan Tongsang (Tiongkok) yang memberikan nasihat obat tradisional
dan mencari obat di hutan atau yang ditanam di halamannya. Dia memang
sudah tua dan memiliki banyak ilmu warisan dari bapaknya. Waktu saya
bertemu dengan Pak Asin, dia menjelaskan bahwa dia belum bertemu
pemuda atau orang lain yang rajin dan berniat meneruskan keahliannya dan
yang cakap untuk melestarikan ilmu yang sudah dikumpulkan selama
beberapa generasi. Pak Asin memperoleh sebagian obat tradisional dari
tumbuhan hutan dan juga dari tumbuhan yang ditanam khusus dan yang bisa
didapat dari Tiongkok dan sudah dipatenkan. Seandainya orang-orang datang
yang perlu diobati, mereka diperiksa oleh Pak Asin dulu supaya dia bisa
mendiagnosis obat tradisional apa yang terbaik untuk diminum atau
digunakan. Tergantung penyakit, sebaiknya menggunakan obat yang segar
dan masih efektif supaya penyakit bisa sembuh secepat mungkin.
Sebelum pergi ke hutan dia berdoa kepada roh-roh yang menolong
mencari tumbuhan yang terbaik untuk menyembuhkan orang sakit.
Walaupun ada obat-obatan yang disimpan di rumah tetapi obat yang baru
didapat lebih segar dan efektif.
Pak Asin juga dikenal sebagai ahli patah tulang terbaik di daerah
tersebut. Sering pasien memanggil dia karena ongkos di rumah sakit kadang-
kadang mahal dan masyarakat desa percaya pada ilmu Pak Asin. Untuk
mengobati patah tulang dia menggunakan obat dari hutan atau yang ada di
kebun sekitar rumahnya. Sebelum memberi obat dia memeriksa pasien
karena dia perlu menentukan apakah patah tulang pasien sudah lama atau
baru, berat atau ringan dan pasiennya masih muda atau sudah tua. Semua
penyakit pasien dan pasien menderita patah tulang berbeda. Pasien yang
patah ringan tidak memerlukan banyak jenis obat tetapi yang tulangnya patah
berat mungkin perlu obat segar dari hutan. Kadang-kadang obat tradisional
memang sulit dicari atau tampaknya tidak ada lagi. Ada obat tradisional yang
harus diminum dan juga ada yang dihaluskan sebelum ditempelkan di kulit.
Untuk patah tulang misalnya, tahap pertama kalau lengan patah empat papan
panjang yang halus diikat dengan obat dan daun untuk menutupi bagian yang
patah, setelah itu, diikat lagi supaya tulang tidak bergerak lagi tetapi tetap
kaku. Di samping obat yang ditempel di kulit juga ada obat yang diminum.
Sebetulnya obat yang diminum rasanya sering pahit tetapi rasa pahit itu bisa
diatasi dengan menambahkan gula atau lebih baik madu. Sejenis madu
(madu batu) yang berwarna putih merupakan madu terbaik, tetapi madu itu
jarang ditemui di toko Tongsang (Tiongkok). Di Bengkayang ada toko obat
tradisional Tongsang yang punya obat yang hanya terdapat di Tiongkok, dan
juga ada obat yang bisa dicari di hutan tidak terlalu jauh dari desa ini. Pak
Asin hanya mencari obat di hutan untuk keperluan pasiennya sendiri dan
tidak menjualnya ke toko atau orang lain.
Pak Asin mampu mendiagnosis beberapa penyakit masuk angin.
Menurut Pak Asin penyakit muntah berak (menceret), khususnya pada anak
yang tidak bisa makan atau minum adalah sangat parah. Pasien yang muntah
darah (TBC), atau memiliki penyakit menular sangat sulit diatasi. Tumor
ganas dan impotensi pada laki-laki muda, bisa diatasi dengan obat tradisional
tetapi impotensi pada laki-laki yang sudah lanjut usia tidak bisa. Kadang-
kadang ada perempuan datang karena perlu obat supaya lebih subur dan lebih
mudah hamil. Sudah merupakan hal yang biasa jika pasien yang sudah
meminum obat modern tetapi mereka tidak puas dengan efeknya. Mereka
mendapat obat tradisional yang terdiri dari daun-daunan saja dan karenanya
obat tersebut harus dimasak dulu sebelum diminum. Pertama, air direbus di
periuk dan setelah air mendidih diangkat dan daun-daunan dimasukkan
sebanyak satu mangkok yang sebelumnya sudah ditumbuk. Kemudian api
dikecilkan dan 10 menit berikutnya obat siap dimasak dan sebelum diminum
sebaiknya lebih dulu didinginkan. Pada umumnya obat itu diminum setengah
gelas dan tiga kali sehari sudah cukup. Biasanya ada pantangan juga selama
minum obat, misalnya tidak bisa makan rusa, kancil, kijang, ayam yang
sudah bertelur, sayur rebung, cangkok manis dan juga kangkung. Pantangan
tersebut tergantung pada jenis obat dan penyakit yang diderita pasien.
Pantangan tersebut berlaku selama satu sampai dua minggu tetapi juga
kadang-kadang berlaku sampai satu tahun tergantung obat dan penyakitnya.
Menurut kepercayaan tradisional Dayak upacara dianggap penting.
Ada beberapa upacara yang diceritakan kepada saya waktu di Kalimantan
Barat, antara lain saya gambarkan di bawah.
Kebanyakan laki-laki Dayak disunat pada waktu mereka berumur
sekitar 15 tahun. Dalam tradisi Dayak laki-laki dianjurkan disunat untuk
membuang dosa pusaka dari nenek moyang keturunan Dayak mereka. Sunat
pelir dilakukan oleh ketua adat. Di dusun Senapit yang bergelar Kepala
Burung adalah Pak Alos, Pak Ihong dan Pak Tadong yang cakap melakukan
upacara sunatan yang disebut nyabakan betatake. Sunat dilakukan dengan
menarik kulit pelir dan sebatang kayu jenis tempatjo dimasukkan. Kulit
pelirnya dibelah dua memanjang (cut lengthwise) satu sentimeter dan tidak
ada bagian kulit yang dibuang. Dalam agama Islam kulit pelir dipotong, itu
berarti kulit sepanjang sekitar satu sentimeter dibuang. Menurut informan
Dayak, laki-laki Dayak dari suku Dayak Kuma tidak disunat. Perempuan
Dayak juga disunat tetapi di telinga saja (ditindik), seperti lubang untuk
perhiasan anting-anting mereka. Ada beberapa pantangan yang harus
dihormati sebelum dan sesudah upacara sunatan. Upacara sunatan, nyabakan
betatake dilakukan sekitar bulan April setelah panen. Pada umumnya sekitar
empat ekor babi dikorbankan sebagai sesajen. Sesajen lengkap yang
digambarkan di atas mengindikasikan bahwa upacara tersebut merupakan
salah satu upacara terpenting pada suku Dayak
Upacara pernikahan dalam bahasa Bakati disebut berkinja. Proses
sebelum pernikahan sangat menarik dan akan dideskripsikan di bawah ini.
Pada waktu laki-laki dan perempuan merasa cocok untuk menjadi pasangan
hidup, laki-laki dari pasangan tersebut menghubungi perantara menemui
orang-tua perempuan meminta izin untuk laki-laki tersebut menikahi
anaknya. Seandainya orang tua perempuan setuju mereka akan menghubungi
orang-tua laki-laki. Kalau orang-tua kedua belah pihak setuju dengan
pernikahan tersebut, izin resmi diberikan untuk pernikahan. Pada umumnya
pernikahan akan dilaksanakan dalam waktu tiga bulan setelah ada
persetujuan kedua belah pihak dan pada waktu itu ada upacara kecil, laki-laki
berjalan secara resmi dari rumah orang tua perempuan atau sebaliknya. Di
pesta pernikahan semua orang desa dipanggil, dan dalam upacara tersebut
babi dan ayam dikorbankan sebagai sajen dan kemudian daging itu menjadi
hidangan pesta.
Peristiwa perempuan melahirkan anak disebut Banakn dalam bahasa
Bakati. Perempuan hamil yang sudah cukup waktu untuk melahirkan dibantu
oleh tiga orang. Seandainya perempuan minta ditolong, anak yang masih ada
di perut bisa didorong oleh penolong supaya anak cepat keluar, tetapi kalau
ibu tidak ingin dibantu, anak dalam perut tidak didorong. Selalu ada obat siap
yang diberikan khusus untuk memudahkan proses kelahiran. Pada umumnya
barian atau balian mengucapkan jampi-jampi (mantra) sebelum anak
dikeluarkan dan perempuan diberi air dukit pada waktu upacara itu. Setelah
“sarang” bayi ke luar, tali pusat dipotong dengan Alis sejenis alat yang tajam
dari bambu. Plasenta atau sarang anak yang disebut tembuni, dikubur atau
digantung dari cabang pohon, sesuai dengan keinginan ibu.
Ada upacara meninggal dunia yang bernama Kabis. Pertama-tama
jenazah dimandikan, jika jenazah laki-laki maka dia dimandikan oleh
anggota keluarga yang laki-laki dan jenazah perempuan dimandikan oleh
perempuan. Setelah upacara memandikan, jenazah diberi pakaian warna
putih, pada waktu itu jenazah termasuk jari tidak boleh ditekuk, harus
dibujurkan dan diberi minyak wangi dari daun-daunan kayu yang bernama
Boreh. Selama dua hari jenazah tinggal di rumah agar orang-orang yang
melayat masih bisa melihat jenazah tersebut. Pada waktu itu semua keluarga
dipanggil untuk menunjukkan rasa hormat pada orang yang baru meninggal
dunia. Pelayat-pelayat memberi sumbangan, makanan dan minuman. Mereka
makan bersama dan barian memimpin upacara, termasuk mempersiapkan
makanan bagi jenazah untuk memuaskan rohnya (arwah) atau dalam bahasa
Bakati juga disebut arwahnya. Dahulu peti mayat dari bahan papan dibuat di
rumah sendiri, tetapi dewasa ini sering peti jenazah yang sudah jadi dibeli.
Setelah itu jenazah dimasukkan ke dalam peti yang sebelumnya sudah diberi
minyak wangi dan jenazah dibaringkan dengan posisi kaki menghadap ke
arah jalan di depan rumah. Peti jenazah ditutup dan dipaku atau hanya
ditutup saja dan diasapi dengan asap dari seludang pohon kepala, kelapa
utamé diberi. Peti tersebut diasapi selama dalam perjalanan dari rumah ke
kuburan. Lubang di kuburan juga diasapi dengan dupa atau dengan asap
murun. Setelah itu baru peti jenazah diturunkan ke lubang kubur dan ditutup
dengan tanah. Ada upacara sederhana dan terpisah dari upacara di kuburan,
untuk mempersiapkan bekal kubur yang berupa sebuah tas kecil yang diisi
dengan pakaian, mangkok, parang, nasi dan harta (sedikit emas). Tas kecil
itu digantung di pohon dekat kuburan sebagai bekal kubur. Setelah upacara
itu selesai dan sebelum pelayat di kuburan pulang mereka diundang kembali
ke rumah orang yang baru meninggal dunia. Di situ disediakan air untuk
mencuci kaki dan muka. Sebelum pelayat-pelayat pulang ke rumah masing-
masing yang adakalanya harus berjalan jauh, mereka diberi makanan dan
minuman oleh keluarga yang meninggal.
Tiga hari setelah jenazah dimakamkan ada upacara adat Tulak
Tangat. Tamu-tamu dipanggil dan ada makanan sederhana dihidangkan.
Upacara itu dilakukan untuk mengusir hantu supaya tidak mengganggu orang
yang masih hidup di rumah.
Empat hari sesudah upacara adat Tulak, atau tujuh hari setelah
penguburan ada upacara adat Natu Semangat, atau Memanggil Roh, untuk
memisahkan roh atau semangat dari keluarganya. Upacara itu memang agak
sedikit besar. Seandainya orang yang meninggal sudah berumur (dewasa),
wajib memberi korban sajen babi, kalau yang meninggal masih remaja,
cukup hanya dengan memberi korban sajen ayam saja. Hanya sajen ayam
yang diperlukan untuk anak muda yang baru meninggal dunia, karena pada
umumnya mereka belum banyak berdosa dan tidak perlu banyak bantuan
untuk langsung masuk surga, yang disebut saruga dalam bahasa Bakati.
Anak yang baru dilahirkan dan langsung meninggal dunia tidak boleh
dikuburkan tetapi di gantung di pohon. Anak yang meninggal itu tidak perlu
upacara dan tidak perlu memberi korban sajen karena dia belum punya dosa.
Anak diserahkan kepada Tuhan (Jubata/Jubatan) langsung.
Dosa manusia bisa dibagi dalam dua jenis, dosa yang berat dan dosa
ringan. Seandainya orang yang baru meninggal terlibat perbuatan jahat
seperti membunuh, menipu, memperkosa dan mengganggu anak bini orang
atau incest, dia langsung pergi ke neraga atau narakah. Seandainya orang
yang meninggal dunia melakukan dosa yang ringan, seperti mencuri
makanan, dan mengganggu hak orang, cukup memberi korban sajen kecil
saja. Itu sudah cukup untuk membantu orang tersebut sampai ke surga.
Setelah 40 hari orang meninggal dunia ada lagi upacara kecil, supaya
roh orang mati tidak mengganggu orang yang berada di rumah. Ada upacara
kecil lagi pada jam empat sore di hari itu yang mengorbankan sajen ayam
serta mengorbankan sajen anjing untuk menutup dan menyempurnakan
upacara sebaik mungkin. Anjing dipandang sebagai penjaga rumah dari roh-
roh yang meninggal dunia atau roh jahat lain. Tugas menjaga itu menjadi
alasan mengapa anjing dianggap penting dalam upacara tersebut.
Di samping upacara yang berkaitan dengan siklus kehidupan yang
digambarkan di atas, ada upacara lain di rumah tangga. Seandainya ada sial
atau hal yang tidak baik terjadi, seperti sering sakit atau hubungan cinta
gagal, pembari atau barian dipanggil oleh pemilik rumah untuk melakukan
upacara tertentu. Pembari punya ayunan yang talinya dibuat dari kulit pohon
yang digantung dari langit-langit rumah. Dia berayun-ayun dari langit-langit
rumah sambil menyanyi dan memanggil roh-roh atau malaikat baik. Pembari
disuruh untuk memanggil Jubata supaya hal baik terjadi. Keluarga atau
rumah tangga yang minta bantuan pembari harus berjanji dengan Jubata
untuk mengorbankan babi sampai tujuh ekor dan juga ayam dalam waktu
tiga tahun. Setelah tiga tahun keluarga tersebut perlu mengucapkan syukur
kepada Jubata. Pesta harus dilakukan dan tamu diundang, kalau pesta atau
upacara tidak disiapkan oleh orang yang minta keberuntungan, mereka bisa
didenda oleh pembari. Kalau perjanjian pembari dengan Jubatan tidak
dilaksanakan akan berdampak negatif pada pembari. Semua orang di
kampung juga diundang dan di pesta itu ada tarian, gamelan, makanan dan
minuman.
Ada pembari lain yang bernama Balenggaung yang ahli mencari
penyebab penyakit dengan menggunakan ilmu hitam, artinya dia memanggil
hantu, iblis dan setan untuk mengatasi masalah. Balenggaung memberi
makanan dan segala macam untuk memuaskan iblis, setan dan roh lain
supaya roh jahat mengusir hal yang jelek. Balenggaung boleh dipanggil
untuk membunuh orang lain dan itu berarti dia melakukan aktivitas yang
sangat berbahaya. Menurut informan Dayak Balenggaung mungkin berdosa
karena dia membunuh orang lain.
Balenggaung juga dipanggil oleh orang tertentu untuk meramal nasib
baik. Dia membuat alat dari batang bambu sepanjang tujuh ruas yang diisi
dengan cairan tertentu, termasuk air bersih yang belum dilangkahi manusia.
Ada beberapa jenis cairan yang digunakan, seperti air kelapa muda yang
berwarna kuning, air mayang, air pinang yang masih muda dan belum
dibuka, sejenis asam merah. Pada waktu itu roh-roh dipanggil supaya cairan
itu memiliki kekuatan. Orang yang meminta nasib baik hanya membutuhkan
sedikit cairan yang diperkuat dengan mantra Balenggaung. Cairan yang
sudah diperkuat mantra dibungkus, bisa dalam bentuk perhiasan yang terbuat
dari perak dan digantung atau ditaruh di tempat rahasia dan selalu dibawa
oleh peminta supaya mendapat rezeki atau keberuntungan.
Upacara lain yang dilakukan oleh dukun adalah upacara untuk
mencari lokasi atau membangun rumah yang baik. Upacara Batanong adalah
upacara khusus sebelum mulai membangun, supaya pintu, tempat tidur,
dapur dan ruang lainnya berada di lokasi dan arah yang baik. Untuk
melakukan upacara digunakan pinang yang dibelah dua dengan sirih,
kemudian dilempar dan sisi bagian atas menjadi indikasi untuk mengetahui
arah membangun rumah dan juga bentuknya.
Petani sangat menyadari kepercayaan tradisional mereka. Sekiranya
mereka ingin membuka ladang maka petani harus tidur di tempat tersebut.
Kalau ada suara burung yang aneh atau ada mimpi buruk sebaiknya
melakukan jampi-jampi untuk mengatasi masalah. Pelet (ilmu gaib) juga
harus dimantrai dan tokoh adat dipanggil untuk melaksanakan upacara adat,
yang kadangkala dengan mengorbankan babi, ayam, dan anjing. Pada waktu
itu juga ada beberapa pantangan, misalnya beberapa macam makanan
dilarang atau hal tertentu tidak bisa dilakukan.
Semua suku Dayak punya ilmu pelet, yang dalam bahasa Bakati
disebut pangkanang atau pengasi. Saya menyaksikan seorang laki-laki
setengah tua yang mencintai istri dan anaknya. Pada waktu dia bercakap-
cakap dengan seorang gadis cantik, dia tidak berani untuk duduk di lantai
yang sama dengan gadis itu supaya tidak ada current atau “strom” antara
gadis dan laki-laki itu. Dia takut gadis akan mampu menggunakan ilmu-
gaibnya sehingga gadis bisa masuk dalam mimpi laki-laki itu. Menurut
kepercayaan Dayak benda-benda seperti; foto, pakaian, atau “cendera mata”
bisa digunakan sebagai sarana untuk menaklukkan si pria sehingga muncul
rasa rindu atau timbulnya perasaan cinta. Ilmu gaib perempuan sangat kuat
kalau pria tinggal dekat dengan perempuan tetapi kalau berjauhan ilmu
perempuan juga jadi lemah. Pada waktu saya di sana saya juga menyaksikan
perempuan yang membawa baju si suami ke barian untuk diberi jampi-jampi
yang diucapkan di atas baju itu supaya cinta suaminya menjadi lebih kuat
lagi. Menurut orang Dayak, manusia selalu tinggal dekat dengan setan yang
tinggal di tempat kotor atau dalam kata lain di dunia bawah atau yang disebut
Pujut. Setan selalu berniat mengganggu manusia. Sebaliknya malaikat
menjaga manusia dan melindungi masyarakat. Pada umumnya roh-roh
tinggal di gunung, pohon dan patung tertentu. Sajen ayam dan babi
dikorbankan untuk membuat Tuhan sayang. Sajen anjing dikorbankan untuk
memberi makanan pada setan dan iblis. Menurut seorang informan darah
anjing dicampur nasi dan dibuang ke tempat kotor di bawah (darat) untuk
memuaskan setan dan iblis. Menurut keyakinan Dayak daging anjing boleh
dimakan oleh manusia.
Pada waktu sebelum terjadi kerusuhan etnis antara Madura dan
Dayak menurut informan ada upacara supaya orang Dayak yang berminat
melindungi budaya dan daerah tradisional Dayak mendapat dukungan dari
roh-roh tertentu. Orang Bakati memberikan sesajen di tempat suci di daerah
Sedané, tempat itu bernama Ransa Nagung Amak dan meminta kekuatan dari
roh yang tinggal di patung Selanu Majauh, Temmalema Madasin, Selintie
Magareng, Senaga Manilo dan Sinco Masahi. Kebanyakan roh panglima
Dayak Kanayatan yang berbahasa Bakati dipanggil di tempat itu. Menurut
saksi mata orang Dayak, pada waktu jenazah orang-orang Madura ditinggal
di jalan, ada panglima dan prajurit Dayak yang mengambil darah dan sedikit
jantungnya dan kemudian dimasukkan ke mulutnya untuk memperkuat
semangat perjuangannya, supaya tidak merasa takut lagi atau diganggu oleh
setan. Menurut filosofi Dayak, seandainya prajurit Dayak tidak mengambil
atau memakan bagian badan lawannya maka prajurit Dayak akan selalu
merasa gelisah dan diganggu.
Ada beberapa peralatan adat yang bisa ditemukan di kebanyakan
rumah orang Dayak seperti, tempayan dan botol yang disimpan dekat pintu
rumah mereka. Untuk melestarikan budaya juga ada upacara yang dilakukan
pada tanggal 27 April setiap tahun yang diadakan di tiap-tiap kabupaten
seperti upacara Naik Dango untuk menutup pesta panen padi (padi baru).
Sekarang ada kecenderungan bahwa upacara Naik Dango kadang-kadang
agak komersial. Pesta itu diatur oleh panitia dan juga ada sumbangan dari
pemerintah. Pesta komersial lainnya adalah pada setiap tanggal 20 Mei yang
dikenal sebagai Gawai Dayak yang dirayakan sebagai pesta pameran yang
membawa kesenian adat atau seni budaya Dayak pada tempat-tempat
tertentu.
BAGIAN IV
EPILOG
Suku Kanayatan ada salah satu kelompok etnis Dayak yang tinggal di
pedalaman utara dari Pontianak dan bagian selatan dari perbatasan Malaysia.
Masyarakat Kanayatan berbahasa Nyadu, Ahé Mempawah, Ahé Seggah, Jaré
dan Bakati. Kelompok yang diamati adalah kelompok yang berada di dusun
Seles dan dusun Senapit yang berbahasa Bakati. Sering kata “Bakati”
digunakan sebagai nama kelompok Kanayatan tertentu. Menurut salah satu
hipotesis, Kalimantan Barat merupakan daerah asal bahasa Melayu. Tetapi
itu tidak berarti bahwa kelompok etnis yang berada di sana dewasa ini adalah
kelompok yang penuturnya murni bahasa Melayu.
Masyarakat di Seles dan Senapit adalah petani ladang berpindah. Tiap
tahun dengan persetujuan petani lain dan tokoh masyarakat, tiap kepala
keluarga membuka ladang baru yang sebetulnya mungkin tujuh atau sepuluh
tahun yang lalu sudah pernah digarap tetapi sudah kembali menjadi hutan
lagi. Pohon-pohon dan tumbuh-tumbuhan ditebang, dipotong dan dijemur.
Setelah beberapa minggu kayu itu lalu dibakar dan itu menyebabkan
pencemaran asap di Kalimantan selama beberapa minggu. Pertanian
tradisional sebenarnya berkaitan dengan pengelolaan hutan sebaik mungkin
tanpa berdampak negatif pada keaneka-ragaman flora dan fauna hutan. Abu
dari kayu pembakaran berfungsi sebagai pupuk alami. Setelah ladang
disiapkan langsung bibit padi ditanam tanpa menggunakan tenaga hewan
atau alat canggih lainnya.
Keanekaragaman bibit padi menunjukkan bahwa kebudayaan Dayak
sudah lama berada di Kalimantan. Tiap desa mempunyai banyak jenis bibit
padi bahkan bisa sampai 30 jenis yang varietasnya sedikit berbeda. Tiap jenis
padi punya karakteristik unik antara lain dari segi rasa, keperluan kondisi
tanah dan resistensinya terhadap hama. Di samping padi ladang ada padi
sawah. Pertanian padi sebenarnya merupakan inti dari kebudayaan Dayak.
Kebanyakan aktivitas kepercayaan tradisional dari mulai memilih ladang,
menanam bibit, menggarap ladang dan panen sampai menempatkan padi
memerlukan banyak upacara dan mereka menghadapi berbagai tabu atau
pantangan pada waktu tertentu.
Pada umumnya upacara pernikahan dan sunatan dilakukan pada
waktu mereka tidak sibuk di ladang. Kepercayaan tradisional Dayak sangat
terkait dengan aktivitas pertanian dan bagi mereka kepercayaan juga sangat
berkaitan dengan persoalan mendapatkan nasib baik untuk diri sendiri,
keluarga, dusun dan daerahnya. Dalam kepercayaan mereka berbagai upacara
dilaksanakan supaya roh-roh jahat kalah dari roh-roh baik sehingga
kehidupan mereka di pemukiman lebih aman dan mereka memperoleh rejeki.
Sering mereka mengatakan bahwa ada keinginan punya keturunan, panen
yang cukup dengan kebutuhan mereka, dan hubungan baik dengan manusia
lain.
Aktivitas pengayauan di zaman dahulu tampaknya disesali. Pada
umumnya aktivitas pengayauan tersebut harus dilihat dalam konteks untuk
melestarikan kedaulatan orang Dayak yang menurut filosofi hidup beberapa
suku Dayak dibenarkan. Pengayauan sebenarnya seperti ekspresi tradisional
untuk melindungi budaya dan suku Dayak di tanah tradisionalnya.
Di samping ladang padi, sejak masa kolonial masyarakat menyadap
karet yang menjadi sumber penghasilan terpenting bagi orang Dayak.
Penghasilan penting kedua dari pertanian adalah lada. Baru-baru ini muncul
sumber penghasilan lain yaitu penambangan emas tanpa izin (PETI) di
sungai dan di daratan yang dampaknya belum jelas pada masa mendatang.
Sebenarnya pada jangka pendek penghasilan itu cukup menarik tetapi ada
beberapa aspek pada jangka panjang yang mungkin saja berdampak negatif.
Pada umumnya tokoh masyarakat membuat keputusan yang sangat bijaksana
walaupun mereka belum menghadapi masalah tersebut sebelumnya. Pada
masa depan tantangan masyarakat Dayak cukup berat. Masuknya listrik dan
televisi di desa menjadi jendela untuk mengetahui dunia di luar kebudayaan
mereka yang dampaknya memunculkan pandangan baru.
Menurut adat Dayak jika orang melakukan pelanggaran adat orang
tersebut tidak divonis atau didenda tetapi diberi sangsi. Kelihatannya sangsi
adat lebih ringan dibandingkan dengan sangsi kebudayaan di luar masyarakat
Dayak tetapi ada faktor yang tidak bersifat finansial yaitu rasa malu. Menurut
budaya Dayak, seandainya warga masyarakat dinyatakan bersalah oleh ketua
adat maka hal itu mempermalukan individu. Selain itu ada yang lebih berat
lagi bahwa semua keluarga dipermalukan juga.
Pantangan dan hukum adat diatur oleh tokoh adat dan kalau perlu
oleh Dewan Adat Daya yang terdiri dari tokoh masyarakat yang bijaksana
dan berwenang dalam pembuatan keputusan sesuai aturan. Proses hukum
tersebut di luar hukum yuridis pemerintah dan hanya berlaku seandainya
kedua-belah pihak menghormati keputusan dari Dewan Adat Daya.
Kepercayaan dan pengobatan masyarakat secara tradisional sering
terkait, walaupun dewasa ini aspek ekonomi juga terkait dengan pilihan
pengobatan. Mendapatkan obat-obatan di kota sebenarnya tidak selalu sesuai
dengan kemampuan masyarakat dari sudut ekonomi dan psikologi. Ada juga
orang yang menderita penyakit dan sudah mencoba obat-obatan dari kota
tetapi mereka tidak puas dengan hasilnya, mereka putus asa lalu meminta
nasihat dari balian (penyembuh tradisional).
Waktu saya melakukan studi lapangan sangat terbatas dan saya
menyadari bahwa kebudayaan masyarakat Dayak akan cepat berubah.
Mudah-mudahan beberapa aspek bisa bertahan atau diselamatkan supaya
masyarakat Dayak dapat melanjutkan “keunikan” kehidupan mereka dan
bangga akan warisan nenek moyangnya.

DAFTAR PUSTAKA
Adelaar, A.K. 2004, Where does Malay come from? Twenty years of
discussion about homeland, migration and classifications in journal
Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 160-1 p1, KITLV,
Leiden
Andasputra, N., Julipin V. 1997, Orang Kanaynkah atau Orang Bukit in
booklet, Mencermati Dayak Kanayatn, Institute of Dayakology
Research and Development, Pontianak
Andaya, L. Y. 2001, The Search for the 'Origins' of Melayu in Journal of
Southeast Asian Studies, Oct p315 Singapore University Press,
Singapore
Alasuutari, P. 1996, Researching Culture, qualitative method and cultural
studies, Sage, London
Avé, J. B. 1996, Meet the Dayak, inhabitans of Borneo, dalam Borneo The
Dayaks in the Franςois Coppens collection, Musée Départemental de
Préhistoire de Solutré, Paris
Avé, J. B., King, V. T 1986, Borneo, oerwoud in ondergang, culturen op
drift, Rijksmuseum voor Volkenkude, Leiden
Cassirer, C. 1987, Manusia dan Kebudayaan: Sebuah esei tentang manusia,
PT Gramedia, Jakarta
Dunselman P. D. 1949, Bijdrage tot de kennis van de taal en adat der
Kendayan Dayaks van West-Borneo (overdruk uit de bijdrage tot taal-,
land- en volkenkunde deel 105, afl 1,2 en 3) The Netherlands Institute
For International Cultural Relations, Martinus Nijhoff, ‘s Gravenhage
Perelaer J. H. 1887, Borneo, Zuid naar Noord deel 2, Elzevier, Rotterdam
Gennep van, A. 1960, The Rites of Passage, The University of Chicago Press,
Chicago
Hose C. 1990, (teks asli 1926), Natural Man , A Record from Borneo, Oxford
University Press, Oxford
King V. 1978, Essays on Borneo Societies, Oxford University Press, Oxford
Kühr E. 1995, Schetsen uit Borneo’s Westerafdeeling, KITLV, Leiden
Koentjaraningrat.1990, Sejarah Teori Antropologi I, Universitas Indonesia,
Jakarta
______________.1990, Sejarah Teori Antropologi II, Universitas Indonesia,
Jakarta
Lontaan J. U 1975, Sejarah – Hukum Adat dan Adat Istiadat Kalimantan
Barat, Pemda Tigkat I Kalbar, Jakarta
Mallinckrodt, J. 1928, Het adat recht van Borneo, disertatasi, Buddeldeman,
Leiden
.
Petebang, E. 2000, Kedaulatan Masyarakat Adat yang Teraniaya, Penerbit
Lembaga Belabanua Talino, Pontianak
Radcliff-Brown, A.R. 1980 , Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif,
Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur
Rousseau, J. 1990, Central Borneo, Clarendon Press, Oxford
Sellato, B. 2002, Innermost Borneo, studies in Dayak culture, Singapore
University Press, Singapore
Schoor, H. J., De mens is oneindig kneedbaar, article in De Volkskrant, 27
September 2003, reflex page 14, Amsterdam
Schwarz, A. 2004, A Nation in Waiting, Talisman, Singapore
Thambun Anyang, Y. C. 1996, Daya Taman Kalimantan, Een etnografische
studie van sociale organisatie en verwantschap vanuit een
rechtsantropologisch perspectief, Nijmegen University Press,
Nijmegen
Weintré, J. J. 2001, Krisis Ekonomi Masyarakat Indonesia pada Lapisan
Bawah, Studi Lapangan Universitas Muhammadiyah dan ACICS,
Malang
___________. 2003, Organisasi Sosial dan Kebudayaan Kelompok Minoritas
Indonesia:, Studi Kasus Masyarakat Orang Rimba di Sumatra, Pusat
Studi Kebudayaan UGM
http://www.ethnologue.com/show_family. Language Family,26 October 2004

Related Posts by Categories



Comments (0)