1. Mukadimah
Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity
Upaya untuk melakukan implementasi sistem keuangan Islami empat dekade
terakhir berjalan begitu gencar. Beberapa eksperimen awal untuk mendirikan perbankan
Islam diantaranya berlangsung di Melayu pada pertengahan tahun 1940-an, di Pakistan
pada akhir 1950-an, dan di Mesir melalui Mit Ghamr Savings Banks (1963-1967) serta
Nasser Sosial Bank (1971).1 Meski sebagian besar institusi ini akhirnya gulung tikar,
tetapi setidaknya telah memberikan pondasi dan pijakan konsep yang kuat untuk
pengembangan berikutnya.
Perbankan Syariah; Challenges dan Opportunity
Untuk Pengembangan di Indonesia*)
Oleh Aziz Budi Setiawan**)
Wilayah Asia-Pasifik juga tidak ketinggalan untuk turut serta memberikan andil
dan menjadi sumbangsih yang sangat berharga dalam uji coba perintisan perbankan bebas
bunga ini. Bank bebas bunga didirikan dengan nama Philippine Amanah Bank (PAB)
tahun 1973 melalui Keputusan Presiden sebagai institusi perbankan khusus meski tanpa
mereferensi karakter Islam didalam piagam banknya. Pendirian PAB adalah respon
Pemerintah Pilipina atas pemberontakan Muslim di wilayah selatan, perbankan ini
dirancang untuk melayani secara khusus kebutuhan masyarakat Muslim. Tugas utama
PAB membantu rehabilitasi dan rekonstruksi masyarakat di Mindanao, Sulu dan Palawan
di wilayah selatan.2
Diikuti kemudian dengan berdirinya Islamic Development Bank (IDB) tahun 1974
dengan dukungan dari pemerintah Arab Saudi dan Organisasi Konferensi Islam (OKI)
dengan suntikan dana dua milyar Dinar. Hal ini menjadikan IDB menjadi Bank Syariah
terbesar. IDB adalah bank antar pemerintahan (intergovernmental bank) yang bertujuan
untuk mendanai proyek-proyek pembangunan di negara-negara anggota, yang sebagian
besarnya adalah negara-negara berpenduduk muslim. Keberadaan IDB ini memberikan
momentum kepada gerakan perbankan syariah pada umumnya, yang ditandai dengan
berdirinya lembaga-lembaga swasta (misalnya, Dubai Islamic Bank (1976), Faisal
*) Paper ini pernah diterbitkan pada Jurnal Kordinat, Edisi: Vol.VIII No.1, April 2006.
**) Peneliti pada The Indonesia Economic Intelligence.
2
Islamic Bank of Egypt (1997), Bahrain Islamic Bank (1979)), dan lembaga-lembaga
pemerintah (misalnya, Kuwait Finance House (1997)).3
2. Visi Mulia Perbankan Islami
Pertumbuhan keuangan Islam pada awalnya juga bertepatan dengan surplus
neraca pembayaran yang sangat besar pada negara-negara muslim pengekspor minyak,
yang dikenal sebagai “oil booming” pada dekade 70-an. Selain itu, hal ini juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain, seperti keinginan perubahan terhadap sistem
sosio-politik dan ekonomi yang berlandaskan prinsip-prinsip Islam dan kepribadian Islam
yang lebih kuat. Sekaligus sebagai upaya reformasi makro ekonomi dan reformasi
struktural dalam sistem keuangan negara-negara muslim.4 Mereka menginginkan keluar
dari jeratan pengaruh yang mencengkeram dari sistem kapitalisme.
Serangkaian krisis bertubi-tubi yang dialami sistem keuangan internasional
sepanjang dua dekade terakhir –yang telah memunculkan kesadaran baru akan kebutuhan
reformasi arsitektur sistem keuangan- juga telah memberikan angin segar bagi
pengembangan sistem keuangan Islami. Sistem keuangan Islami diharapkan mampu
menyuntikan disiplin sekaligus mendorong untuk terpenuhinya regulasi dan supervisi
yang prudensial pada industri keuangan. Fenomena-fenomena ini setidaknya yang
kemudian juga mendorong Bank-bank Islami dalam jumlah yang banyak bermunculan di
seluruh penjuru dunia sepanjang 30 tahun terakhir.5
Kerja keras ini juga dilandasi oleh keyakinan bahwa bunga (interest) yang bersifat
pre-determined telah mengeksploitasi perekonomian, mengakibatkan terjadinya misalokasi
resources dan penumpukan kekayaan serta kekuasaan pada segelintir orang. Hal
ini pada gilirannya berakibat pada ketidakadilan, inefficiency, dan ketidakstabilan
perekonomian. Bunga-lah yang menyebabkan semakin jauh jarak antara pembangunan
dengan tujuan yang akan di capai. Bahkan bunga merusak tujuan-tujuan yang ingin di
dapat seperti; pertumbuhan ekonomi, produktivitas, pemerataan distribusi pendapatan dan
stabilitas ekonomi. Selain itu bunga bank memiliki andil pada krisis yang terjadi
sepanjang abad 20, dimana telah terjadi lebih dari 20 krisis (kesemuanya merupakan
krisis sektor keuangan). Bunga bank yang mengedepankan mekanisme kredit (hutang)
3
sebagai mekanisme pelaksanaannya telah membelenggu dunia terutama negara-negara
berkembang dengan hutang (debt trap). Menurut laporan World Bank pada World
Development Report 1999/2000, hutang negara berkembang lebih dari tiga trilyun Dolar
AS dan masih terus tumbuh. Hasilnya adalah setiap laki-laki, wanita, anak-anak di negara
berkembang (80% dari populasi dunia) memiliki hutang 600 Dolar AS, dimana
pendapatan rata-rata pada negara yang paling miskin kurang dari satu Dolar perhari.6
Sejumlah negara Muslim, dengan berbagai latar belakang sedang menjalankan
langkah-langkah reformasi atas sistem perbankan dan keuangan mereka agar sesuai
dengan ajaran Islam. Tantangan yang dihadapi oleh negara-negara Muslim saat ini adalah
bagaimana mendisain dan menjalankan secara berkelanjutan sistem perbankan dan
keuangan yang sejalan dengan hakekat ideologi Islam, penghapusan riba, dan membantu
mewujudkan tujuan sosial ekonomi Islam.
Disisi lain lembaga kredit yang merupakan sistem perbankan dan keuangan
kapitalis yang berdasarkan bunga, yang telah relatif kokoh diterapkan oleh negara-negara
Muslim selama dua abad terakhir dibawah pengaruh kolonialisme telah berimplikasi
buruk pada pembangunan. Hal inilah diantaranya yang mendorong upaya untuk kembali
membangun sistem keuangan dan perbankan yang sesuai dengan ajaran Islam. Selain itu
eksistensi perbankan dan keuangan syariah merupakan respon atas kerentanan sistem
perekonomian, keuangan dan perbankan dunia dewasa ini. Sistem ekonomi saat ini
membutuhkan arsitektur sistem perbankan dan keuangan yang kokoh dan tangguh.
Gerakan untuk mendirikan bank-bank dan lembaga keuangan syariah telah
berkembang secara pesat dalam beberapa dekade terakhir. Sebenarnya perbankan dan
keuangan syariah telah dipraktekkan di Dunia Islam sepanjang abad pertengahan.
Perbankan dan keuangan syariah saat itu berfumgsi sebagai lembaga pembiayaan untuk
mendukung aktivitas bisnis dan perdagangan. Di Spanyol, Mediterania dan negara-negara
Baltic, pedagang Muslim saat itu memiliki peran strategis dalam aktivitas perdagangan
antar wilyah, terutama antara Asia dan Eropa. Selain itu juga banyak konsep, teknik, dan
akad keuangan Islam yang diadopsi oleh para pemberi modal dan para pelaku bisnis
Eropa.7
4
Meski demikian harus diakui istilah “sistem perbankan dan keuangan Islam”
relatif baru. Mulai ramai didiskusikan sejak pertengahan 1980-an. Dalam konsepsi Islam
aktivitas komersial, jasa dan perdagangan harus disesuaikan dengan prinsip Islam
diantaranya “bebas bunga”. Hal inilah yang juga menjelaskan mengapa pada tahap awal
bank Islam atau bank syariah juga dikenal sebagai bank bebas bunga. Meski demikian
mengambarkan sistem perbankan Islam secara sederhana hanya “bebas bunga” tidak
menghasilkan suatu gambaran yang benar atas sistem ini secara keseluruhan. Memang
benar bahwa dalam perbankan Islam, melarang menerima dan membayar bunga menjadi
inti (nucleus) dari sistem. Tetapi perbankan Islam idealnya juga didukung oleh prinsipprinsip
Islam sepeti konsep; berbagi resiko, hak dan kewajiabn individu, hak milik, dan
kesucian8 akad (kontrak). Selain itu menginterpretasi sistem perbankan Islam hanya
sebagai “bebas bunga” saja cenderung untuk memunculkan kebingungan. Padahal
pondasi filosofis dari sistem keuangan Islam seharusnya secara utuh akan mempengaruhi
seluruh interaksi faktor-faktor produksi dan perilaku ekonomi. Sedangkan sistem
keuangan konvensional memusat terutama hanya pada aspek transaksi keuangan dan
ekonomi. Sistem perbankan Islam juga memberikan penekanan yang sama pada dimensi
etis, moral, sosial, dan religius dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan. Sistem ini juga dilandasi oleh ajaran Islam tetang
berbagai konsep etika kerja, distribusi kekayaan, keadilan sosial dan ekonomi, dan
peranan dari negara.
Sistem perbankan Islam, seperti halnya aspek-aspek lain dari pandangan hidup
Islam, merupakan sarana pendukung untuk mewujudkan tujuan dari sistem sosial dan
ekonomi Islam. Beberapa tujuan dan fungsi penting yang diharapkan dari sistem
perbankan Islam adalah:9
(i) Kemakmuran ekonomi yang meluas dengan tingkat kerja yang penuh dan
tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum (economic well-being with full
employment and optimum rate of economic growth);
(ii) Keadilan sosial-ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang
merata (socio-economic justice and equitable distribution of income and
wealth);
5
(iii) Stabilitas nilai uang untuk memungkinkan alat tukar tersebut menjadi suatu
unit perhitungan yang terpercaya, standar pembayaran yang adil dan nilai
simpan yang stabil (stability in the value of money);
(iv) Mobilisasi dan investasi tabungan bagi pembangunan ekonomi dengan caracara
tertentu yang menjamin bahwa pihak-pihak yang berkepentingan
mendapatkan bagian pengembalian yang adil (mobilisation of savings);
(v) Pelayanan efektif atas semua jasa-jasa yang biasanya diharapkan dari sistem
perbankan (effective other services).
Mungkin ada sebagian pihak yang mengatakan bahwa tujuan dan fungsi dari
sistem keuangan dan perbankan Islam seperti yang diungkapkan di atas adalah sama
dengan yang ada dalam kapitalisme. Walaupun nampak ada kesamaan, dalam
kenyataannya terdapat perbedaan yang penting dalam hal penekanan, yang muncul dari
perbedaan dua sistem tersebut dalam komitmennya terhadap nilai-nilai spiritual, keadilan
sosial-ekonomi serta dalam persaudaraan sesama manusia. Tujuan-tujuan dalam Islam
adalah suatu bagian tak terpisahkan dari ideologi dan kepercayaan Islam. Hal tersebut
merupakan suatu input penting sebagai bagian dari suatu output tertentu. Tujuan-tujuan
tersebut membawa kesucian dan, dalam hal yang didasarkan pada Al-Qur’an dan As-
Sunnah, tujuan-tujuan tersebut bukanlah semata-mata sebagai alat tawar politik dan
kebijaksanaan. Akan tetapi, strategi yang sangat penting bagi terwujudnya suatu tujuan
yang merupakan suatu keunikan yang dapat disumbangkan oleh Islam.10
Sistem perbankan Islam ditegakkan atas kemutlakan larangan dari pembayaran
atau penerimaan setiap yang ditentukan (predetermined) atas pinjaman atau kredit.
Dengan demikian konsep bunga (interest) atas hutang secara tegas dilarang. Sistem
perbankan Islam lebih condong pada upaya untuk mendorong penerapan sharing resiko,
mempromosikan kewirausahaan (entrepreneurship), melemahkan perilaku spekulatif, dan
menekankan kesucian akad. Saluran permodalan yang mungkin bisa digunakan untuk
masyarakat Islam dalam membuka usaha adalah; perusahaan perorangan (sole
proprietorship), perusahaan patungan (partnership) (termasuk mudharabah dan syirkah)
dan perusahaan perseroaan (joint stock company). Koperasi juga dapat memainkan
6
peranan penting dalam perekonomian Islam selama tidak menjalankan transaksitransaksi
yang dilarang. 11
3. Prinsip Fundamental Sistem Perbankan Islami
Kerangka dasar sistem perbankan Islam adalah satu set aturan dan hukum, yang
secara bersama disebut sebagai Syariah. Syariah merupakan aturan yang diturunkan dari
al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad. Pengembangan lebih lanjut menyangkut aturan
hukum tersebut disajikan oleh ahli jurisprudensi Islam atau ulama’ fikih dalam kerangka
menjabarkan aturan al-Qur’an dan Sunnah. Adapun beberapa prinsip dasar sistem
perbankan Islam dapat diringkas sebagai berikut:12
1. Larangan riba dan bunga. Larangan ini dimulai dari adanya pelarangan yang
tegas terhadap riba. Tidak diragukan lagi bahwa apa yang diharamkan oleh al-
Qur’an maupun al-hadits adalah riba. Al-Qur'an mengharamkannya dalam empat
ayat yang berbeda. Pertama adalah ayat Qs. 30:39 di Mekkah, dan yang tiga
lainnya (Qs. 4:161, Qs. 3:130-132 dan Qs. 2:275-281) adalah di Madinah. Yang
terakhir dari semua ayat ini (Qs. 2:275-281) muncul menjelang wafatnya
Rasulullah SAW. Ayat ini melarang keras orang yang mengambil riba, dan
menyatakan mereka dalam keadaan perang dengan Allah dan Rasul-Nya. Ayat ini
juga menetapkan perbedaan yang jelas antara perdagangan dan riba, serta
memerintahkan kaum Muslim untuk meninggalkan semua riba yang masih ada,
memerintahkan mereka untuk hanya mengambil jumlah pokok pinjaman saja, dan
membebaskan jika peminjam mengalami kesulitan.
Rasulullah SAW juga melarang riba dengan kata-kata yang jelas, dan tidak hanya
mengutuk mereka yang mengambilnya, tetapi juga mereka yang memberikannya,
mereka yang mencatat transaksi, dan mereka yang bertindak sebagai saksi
terhadapnya (HR Muslim). Beliau bahkan menyamakan mengambil riba secara
sengaja sama dengan melakukan perzinahan 60 kali atau berdosa seperti
melakukan incest dengan ibu kandungnya sendiri (HR. Ahmad dan Darqutni).
Riba secara harfiah berarti peningkatan, pertambahan, perluasan atau
pertumbuhan. Tetapi, tidak semua peningkatan atau pertumbuhan terlarang dalam
7
Islam. Keuntungan juga menyebabkan peningkatan atas jumlah pokok, tetapi hal
ini tidaklah dilarang. Rasulullah SAW melarang mengambil hadiah, jasa atau
pertolongan sekecil apapun sebagai syarat atas suatu pinjaman.13 Hal ini
menunjukan kesamaan riba dengan apa yang lazim dipahami sebagai bunga. Jadi,
istilah riba yang dipahami sejak masa awal berarti ‘premium’ yang harus dibayarkan
oleh peminjam kepada pemberi pinjaman bersama jumlah pokok pinjaman
sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman atau perpanjangan waktu jatuh
temponya.
Ini juga merupakan keputusan bulat dari sejumlah konperensi internasional para
fuqaha yang diselenggarakan di zaman modern untuk membahas permasalahan
riba, termasuk Muktamar al Fiqh al-Islami yang diselenggarakan di Paris pada
tahun 1951 dan di Kairo pada tahun 1965, dan pertemuan Komite Fiqih OKI dan
Rabithah ‘Alam Islami yang diselenggarakan pada tahun 1985 dan 1986 masingmasing
di Kairo dan Mekah. Dengan konsensus mutlak tersebut tidak ada ruang
untuk berargumentasi bahwa bunga bank tidak diharamkan dalam Islam. Karena
itu beberapa pendapat minoritas yang menyatakan pandangan berbeda tidak
melemahkan sedikitpun konsensus tersebut.
2. Larangan tersebut didasarkan pada argumentasi keadilan sosial, persamaan,
dan hak milik. Islam membolehkan pendapatan dari laba tetapi melarang
pembebanan bunga. Laba menandakan kesuksesan wirusaha dan menciptakan
penambahan kekayaan. Sedangkan bunga, adalah suatu biaya yang dibebankan
pada peminjamnya tanpa mempedulikan bagaimana dengan hasil aktivitas bisnis
apakah untung atau rugi. Keadilan sosial dalam pandangan Islam menuntut
pemilik dana dan pengguna dana untuk berbagi atas keuntungan, demikian juga
bila terjadi kerugian. Islam memberikan panduan bahwa proses akumulasi
kekayaan dan distribusi ekonomi terbentuk secara fair dan benar.
Intermediasi keuangan yang berdasarkan sistem bunga cenderung untuk
mengalokasikan sumber daya keuangan terutama kepada pihak yang memiliki
jaminan (collateral) dan kelayakan arus kas untuk pelunasan hutang. Penggunaan
akhir dari sumber daya keuangan tersebut tidak lagi menjadi pertimbangan utama.
8
Memang benar, tersedianya jaminan dan kelayakan arus kas memang menjadi
persyaratan untuk menjamin adanya pelunasan atas hutang, namun memberikan
penekanan yang terbesar atasnya akan menyebabkan kita untuk tidak peduli lagi
pada tujuan dan pemanfaatan pinjaman tersebut. Karenanya, sumber daya
keuangan akan mengalir terutama kepada kaum kaya saja yang memiliki jaminan
maupun kelayakan arus kas, juga kepada pemerintah -- yang dalam hal ini
diasumsikan tidak akan pernah bangkrut. Pada akhirnya, kaum kaya melakukan
pinjaman tidak saja untuk transaksi investasi yang produktif tetapi juga untuk
kebutuhan konsumsi yang melewati batas dan transaksi spekulatif, demikian juga
pemerintah melakukan pinjaman tidak saja untuk kebutuhan pembangunan dan
kepentingan publik namun juga untuk kebutuhan militer yang otoriter dan
proyek-proyek mercusuar.
Hal inilah yang memunculkan tidak saja ketidakseimbangan makroekonomi dan
pembayaran luar negeri, bahkan juga membekukan sumberdaya keuangan yang
tersedia untuk pemenuhan kebutuhan pokok dan pembangunan. Uraian diatas
menjelaskan pula kepada kita mengapa negara-negara kaya di dunia ini -- AS
misalnya, gagal untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh rakyatnya meskipun
mereka sangat menginginkan hal itu dan sumber daya yang begitu besar telah
mereka keluarkan untuk tujuan tersebut.
3. Berbagi Resiko. Ketika bunga dilarang, Islam mendorong para pemilik dana
menjadi investor. Sehingga konsep investor ini merupakan penganti konsep
kreditur dalam kerangka perbankan konvensional. Penyedia modal dan usahawan
berbagi atas risiko bisnis, demikain pula mereka akan berbagi keuntungan ketika
mendapatkan laba.
Bentuk-bentuk pembiayaan Islami yang paling menguntungkan adalah cara bagi
hasil mudharabah dan musyarakah. Pada kedua bentuk ini, pemilik modal
menyediakan dana, bukan sebagai pemberi pinjaman, tetapi lebih sebagai
investor. Ia berbagi untung dan rugi dan tidak memperoleh jaminan dimuka atas
keuntungan yang positif, apapun hasil akhir dari usaha ini. Kerugian harus ikut
ditanggung olehnya sesuai dengan proporsinya dalam total pembiayaan
9
sedangkan keuntungan bisa dibagi berdasarkan rasio apapun yang disepakati.
Tetapi, kewajibannya tetap terbatas pada pendanaan yang ia sediakan dan tidak
lebih.
Pembiayaan berdasarkan ekuitas diyakini akan menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari strategi untuk mengaktualisasikan tujuan-tujuan kemanusiaan
seperti pemenuhan kebutuhan pokok, full employment, distribusi pendapatan dan
kekayaan yang berkeadilan, dan stabilitas ekonomi.
4. Uang sebagai modal “potensial”. Dalam pandangan Islam uang merupakan
modal “potensial”. Ia akan menjadi modal nyata ketika uang tersebut bekerjasama
dan bergabung dengan sumber daya lain untuk melakukan suatu aktivitas
produktif. Islam mengakui nilai kontribusi uang, ketika ia bertindak sebagai
modal yang digunakan untuk aktivitas usaha.
5. Larangan perilaku spekulatif. Sistem keuangan Islam tidak menghendaki
penimbunan (hoarding) dan melarang transaksi yang mengandung ketidakpastian,
perjudian, dan beresiko ekstrim.
6. Kesucian akad (kontrak). Islam menegakkan kewajiban sesuai dengan akad
(kontrak) dan keterbukaan informasi sebagai tugas suci. Hal ini dimaksudkan
untuk mengurangi resiko dari informasi asimetrik dan moral hazard.
7. Aktivitas yang disetujui Syariah. Hanya aktivitas bisnis yang tidak melanggar
ketentuan-ketentuan syariah yang memenuhi persyaratan untuk investasi. Sebagai
contoh, investasi bisnis yang berkaitan dengan minuman keras, perjudian, dan
barang haram dilarang oleh Islam.
Secara sederhana dapat disimpulkan Bank syariah ialah bank yang berasaskan
antara lain, pada asas kemitraan, keadilan, transparansi dan universal serta melaukan
kegiatan usaha perbankan berdasarkan prinsip syariah. Kegiatan bank syariah merupakan
implementasi dari prinsip ekonomi Islam dengan karakteristik, antara lain sebagai
berikut: (a) pelarangan riba dalam berbagai bentuk, (b) tidak mengenal konsep nilai
waktu dari uang (time value of money), (c) konsep uang sebagai alat tukar bukan sebagai
komoditas, (d) tidak diperkenankan melakukan kegiatan yang bersifat spekulatif, (e) tidak
10
diperkenankan menggunakan dua harga untuk satu barang; dan (f) tidak diperkenankan
dua transaksi untuk satu akad.
4. Kontribusi Produk dan Jasa
Konsep syariah telah menyediakan berbagai akad yang berbeda untuk mencukupi
kebeutuhan para pemilik dan pengguna dana dalam berbagai bentuknya. Akad-akad dasar
dalam konsep syariah meliputi; pembiayaan cost-plus (murabahah), profit-sharing
(mudarabah), persewaan (ijarah), persekutuan (musharakah), dan penjualan dengan
pesanan (bay' salam). Akad-akad tersebut merupakan blok bangunan dasar yang dapat
dikembangkan secara lebih kompleks dalam perbankan syariah. Akad-akad tersebut dapat
dijabarkan sebagai berikut:14
1. Akad yang populer di dalam perbankan Islam adalah jual-beli mark-up atau
penjualan cost-plus. Metode yang paling terkenal dalam cara pembiayaan ini
adalah murabahah, salam, dan istishna. Murabahah (juga disebut bay’ mu’ajjal)
merujuk pada penjualan dimana penjual membeli barang-barang yang diinginkan
pembeli dan menjualnya pada harga lebih tinggi yang sudah disepakati,
pembayaran ditetapkan pada waktu tertentu, baik dalam bentuk cicilan atau tunai.
Penjual menanggung risiko atas barang-barang sampai penyerahan pada pembeli.
Salam: merujuk pada kesepakatan penjualan dimana pembayaran dilakukan
dimuka atas kewajiban untuk menyerahkan barang yang ditentukan pada tanggal
tertentu yang disepakati di masa depan. Ini tidak sama dengan penjualan forward
yang spekulatif karena pembayaran harus penuh, bukan sebagian. Istishna
merujuk kepada kesepakatan dimana pembuat barang (kontraktor) sepakat untuk
memproduksi (membangun) dan menyerahkan barang (kontruksi) dengan harga
tertentu pada tanggal tertentu di masa depan. Ini, sebagaimana salam, merupakan
pengecualian dari aturan umum syari’ah yang tidak membolehkan seseorang
untuk menjual apa yang tidak dimiliki dan dikuasainya. Tetapi, tidak seperti
salam harga tidak mesti dibayar dimuka. Harga bisa dibayar dalam bentuk cicilan
sesuai dengan keinginan pihak yang bertransaksi, atau sebagian didepan dan
sisanya kemudian sebagaimana disepakati.
11
Akad ini secara luas sering digunakan untuk pembiayaan jangka pendek
sebagaimana transaksi tradisional untuk pembiayaan pembelian barang. Dalam
akad ini investor menyediakan atau membeli barang atau komoditas yang
spesifik, kemudian dilakukan kontrak yang disetujui bersama untuk terjadinya
penjualan kembali kepada klien (pembeli). Margin keuntungan ditentukan atas
kesepakatan bersama.
2. Akad Persewaan (ijarah). Ijarah dapat digunakan untuk pembiayaan sarana
transportasi, mesin, peralatan, dan pesawat terbang. Format ijarah dengan
perpindahan kepemilikan kepada penyewa dengan membayar jumlah tertentu dari
sisa angsurang juga diizinkan (sewa beli).
3. Akad Profit-Sharing (mudarabah). Mudharabah merujuk pada kesepakatan
antara dua atau lebih orang dimana satu atau lebih dari mereka menyediakan
pembiayaan, sedangkan yang lainnya menyediakan manajemen. Tujuannya adalah
untuk melakukan perdagangan, industri atau jasa dengan tujuan mencari
keuntungan. Keuntungan bisa dibagi antara penyandang dana dan manajemen
sesuai dengan proporsi yang disepakati. Tetapi, kerugian hanya ditanggung oleh
penyandang dana sesuai dengan bagian mereka dari keseluruhan modal. Kerugian
manajer adalah tidak mendapatkan keuntungan atas kerjanya. Akad ini merupakan
bentuk mekanisme investasi di mana bank mengelola kumpulan dana (pool of
funds). Modal oleh bank kemudian diinvestasikan dalam berbagai aktivitas usaha.
Para nasabah deposan berbagi resiko dan laba sesuai proporsi investasi masingmasing.
4. Partisipasi modal (musyarakah). Musyarakah juga merupakan kesepakatan
antara dua atau lebih orang. Tetapi, tidak seperti mudharabah, semua pihak
memberikan kontribusi keuangan maupun kewirausahaan dan manajemen, mesti
tidak harus sama rata. Bagian keuntungan mereka bisa sesuai dengan kesepakatan
tetapi kerugian harus ditanggung sesuai dengan proporsi modal mereka. Akad ini
sama dengan mekanisme usaha patungan klasik. Kedua usahawan dan investor
berkontribusi modal (asset, keahlian teknis dan managerial, modal kerja, dll.)
12
sesuai dengan kesepakatan. Dan mereka menyepakati untuk berbagi return juga
resiko bisnis sesuai dengan proporsi yang telah disepakati tersebut.
Sebagaimana telah dikemukakan diawal, bank syariah tidak menggunakan bunga
sebagai alat untuk memperoleh pendapatan maupun membebankan bunga atas
penggunaan dana dan pinjaman karena bunga merupakan riba yang diharamkan. Berbeda
dengan bank non syariah, bank syariah tidak membedakan secara tegas antara sektor
moneter dan sektor riil sehingga dalam kegiatan usahanya dapat melakukan transaksitransaksi
sektor riil, seperti jual beli dan sewa menyewa. Bank syariah beroperasi atas
dasar konsep bagi hasil. Bank syariah juga dapat menjalankan kegiatan usaha untuk
memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Adapun fungsi dan peran bank syariah, antara lain sebagai :15
1. Manajer investasi yang mengelola investasi atas dana nasabah dengan
menggunakan akad mudharabah atau sebagai agen investasi
2. Investor yang menginvestasikan dana yang dimilikinya maupun dana nasabah
yang dipercayakan kepadanya dengan menggunakan alat investasi yang sesuai
dengan prinsip syariah dan membagi hasil yang diperoleh sesuai dengan nisbah
yang disepakati antara bank dan pemilik dana
3. Penyedia jasa keuangan dan lalu lintas pembayaran seperti bank non syariah
sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip syariah
4. Pengemban fungsi sosial berupa pengelola dana zakat, infaq, shadaqah serta
pinjaman kebajikan (qardhul hasan) sesuai ketentuan yang berlaku.
Sistem perbankan Islam diharapkan akan menjadi stabilisator perekonomian. Harapan ini
disebabakan oleh komitmen perbankan Islam atas penghapusan pembiayaan hutang
dengan mekanisme bunganya yang memberati perekonomian. Selain itu sistim ini
membuat struktur kewajiban dan aset secara simetris dihubungkan melalui kesepakatan
pembagian keuntungan dan tidak adanya biaya bunga yang ditetapkan. Alokasi efisiensi
terjadi disebabkan alternatif investasi dengan tegas dipilih berdasarkan pada produktivitas
dan tingkat ekspektasi return.16
13
5. Perkembangan Fantastis
Pada 1976 hingga 1985 terjadi perkembangan luar biasa pada institusi keuangan
Islami ini di seluruh dunia. Beberapa negara Islam di Timur Tengah, seperti Sudan,
Pakistan, dan Iran mulai mendirikan dan memberikan prioritas dalam penumbuhan
perbankan Islam. Bank Islam juga didirikan di negara-negara non muslim, misalnya, di
Denmark, Luxembourg, Swizerland dan Inggris. Dari konferensi Islamic Bank di
Singapura (Agustus 1998) lembaga keuangan Islam tercatat mencapai 200 buah,
diantaranya 160 berupa bank, sisanya berupa lembaga keuangan non-bank. Sedangkan
besaran dana yang dikelola senilai 170 miliar Dolar dengan pertumbuhan mencapai 15%
per tahun. Tahun 2001 menurut General Council of Islamic Financial Institution and
Banks jumlah lembaga keuangan Islam tidak kurang dari 267 buah, total aset 262 miliar
Dolar dengan tingkat pertumbuhan 23% per tahun.17
Memasuki tahun 1426 H (2005) setidaknya telah terdaftar sekitar 520 perbankan
Islam di seluruh dunia yang mengelola perputaran uang lebih dari 400 miliar Dolar
(sekitar Rp 3.600 triliun). Dana tersebut terdiri dari modal dan tabungan para nasabah
yang terus meningkat. Jumlah pengguna jasa sistem finansial dan investasi Islam dari
pengusaha kecil dan besar diperkirakan akan terus meningkat. Jumlah bank-bank Islam
baru terus bertambah, di antaranya, pendirian Bank Islam Emirates-Sudan yang mulai
beroperasi pada tahun 2005 dengan modal dasar 200 juta Dolar. Bank tersebut akan
mendirikan cabangnya di seluruh Sudan. Di Kuwait, diperkirakan dalam beberapa tahun
mendatang lebih dari 50 persen sistem finansial di bursa -salah satu negeri petro dolar
Teluk- ini akan menggunakan sistem Islam.18
Selama tahun 2004, Bank-bank Islam di kawasan Teluk telah membukukan rekor
keuntungan terbesar. Bank Islam Qatar (QIB) meraih keuntungan 302 miliar Riyal Qatar
atau sekitar 108 persen dari tahun sebelumnya yang hanya mencapai 145 juta Riyal.
Perusahaan Asuransi Islam Qatar (QIA) juga membukuan keuntungan terbesar sejak
didirikan dengan keuntungan lebih dari 100 persen. Bank Islam Dubai (DIB) meraih
keuntungan mencapai 79 persen dibanding tahun sebelumnya yang juga merupakan rekor
keuntungan terbesar. Jumlah deposito di bank Islam terbesar Uni Emirat Arab itu juga
meningkat sekitar 62 persen dari tahun sebelumnya. Negeri jiran kita, Malaysia juga
14
menjadi penyumbang utama bagi perkembangan perbankan dan keuangan Islam
antarbangsa. Aset sistem perbankan Islam-nya telah melebihi angka 100 juta Ringgit atau
sekitar 10 persen dari asset total perbankan.19
Hal ini sesungguhnya juga membuktikan bahwa secara konseptual, perbankan
syariah memang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman serta sudah menjadi
kewajiban sejarahnya untuk lahir dan tumbuh menjadi sistem perbankan alternatif-solutif.
Untuk merealisasikan hal ini bukanlah hal yang mudah, banyak aral dan rintangan yang
harus dilalui perbankan syariah kedepan nanti. Bank-bank syariah saat ini masih dalam
tahap awal evolusinya. Walaupun tingkat pertumbuhannya cukup cepat, sejauh ini baru
menempati ceruk kecil (small niche) di sektor finansial negeri-negeri muslim, apalagi di
sektor keuangan internasional.20 Meskipun terdapat sejumlah kesulitan, gerakan
Islamisasi perbankan berjalan dengan baik. Kemajuan yang dicapai selama seperempat
abad terakhir ini menunjukkan hasil yang menggembirakan.21
Perkembangan di Indonesia juga menggembirakan. Perbankan syariah memasuki
delapan tahun terakhir, pasca-perubahan UU Perbankan dengan UU No. 10/1998
mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang amat pesat. Perkembangan yang pesat
itu terutama tercatat sejak dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yang memberi izin
untuk pembukaan bank syariah yang baru maupun pendiriaan Unit Usaha Syariah (UUS).
Meskipun Indonesia terlambat dalam memulai praktek keuangan syariah
dibandingkan Malaysia, namun perlahan tapi pasti Indonesia menunjukkan kinerja yang
jauh lebih baik. Dalam industri perbankan syariah, secara kuantitatif maupun kualitatif,
Indonesia saat ini lebih baik. Jumlah bank umum yang menawarkan layanan syariah di
Indonesia melebihi Malaysia, apalagi bila dihitung jumlah BPR Syariah. Belum lagi bila
jumlah BMT ikut diperhitungkan. Dari sisi kualititatif, persentase pembiayaan
bermasalah perbankan syariah Indonesia jauh lebih baik dibandingkan Malaysia yang
baru-baru ini diterpa masalah serius dalam kualitas asetnya. Tingkat profitabilitas
maupun efisiensi operasi perbankan syariah Indonesia juga jauh lebih baik. Satu-satunya
variable yang masih lebih kecil dari Malaysia adalah total aset, baik nominalnya maupun
persentase terhadap total aset perbankan nasional.22
15
Dari sisi pertumbuhan asset, Bank syariah selama tahun 2004 tumbuh sekitar 84
persen dengan aset menembus angka Rp 14,1 triliun. Dari realitas ini, Bank Indonesia
kemudian merevisi prediksi total aset bank syariah menjadi sekitar tujuh persen pada
tahun 2011 dibanding perkiraan semula. Pertumbuhan fungsi intermediasi yang
dijalankan bank syariah juga sangat menggembirakan pada tahun 2004. Rasio
pembiayaan terhadap dana pihak ketiga (Financing to Deposit Ratio/FDR) bank syariah
104 persen, jauh lebih tinggi bila dibanding LDR bank konvensional yang masih dibawah
60 persen.23
Hingga akhir 2005, jumlah bank umum syariah ditambah perbankan yang
membuka UUS telah mencapai 22 bank dengan sekitar 458 cabang, termasuk kantor kas.
Ini belum ditambah dengan sekitar 92 BPRS yang tersebar di seluruh Indonesia. Hingga
Desember 2005, rata-rata pertumbuhan aset bank syariah mencapai 70 persen. Total
Asset perbankan syariah telah mencapai Rp 20,88 triliun. Aspek pertumbuhan lain yang
patut mendapatkan perhatian adalah financing to deposit ratio (FDR), yang mencapai
111,3 persen. Hal ini berarti bank syariah secara rata-rata mampu menyalurkan seluruh
dana masyarakat yang dihimpun ke dalam pembiayaan. Hal ini juga berarti bank syariah
berperan dalam menggerakkan sektor riil. Adapun market share perbankan syairah
terhadap total perbankan di Indonesia dari total Asset baru 1,46 persen, Dana Deposit
1,43 persen dan Pembiayaan 2,22 persen.
Tabel 1. Pangsa Perbankan Syariah Terhadap Total Bank
(posisi November 2005)
Sumber: Bank Indonesia, 2005.
16
Tabel 2. Aset Perbankan Syariah
(Juta Rupiah)
(Data tahun 2005 masukan ....???)
Sumber: Bank Indonesia, 2005.
Tentu saja, perkembangan ini masih belum dapat menjangkau sebagian besar
masyarakat Indonesia. Di samping kecilnya jaringan, distribusi penyebarannya juga amat
tidak merata, untuk pulau Jawa sekalipun. Memasuki tahun 2006, kecenderungan
pertumbuhan akan tetap memperoleh momentum positif dan tidak akan jauh berbeda dari
tahun-tahun sebelumnya. Ini ditandai banyaknya bank pembangunan daerah yang
menjadikan tahun 2006 sebagai tahun dibukanya unit usaha syariah (UUS), seperti BPD
Jatim, BPD Yogyakarta, BPD Kaltim, dan BPD Sulsel. Di samping itu, sudah ada
beberapa bank swasta nasional yang berkomitmen membuka UUS tahun ini.24
Dengan banyaknya bank syariah khususnya di Indonesia menuntut masingmasing
Bank untuk meningkatkan kinerjanya sekaligus membuat formulasi strategi yang
tepat untuk merespon berbagai tantangan (chalenges) eksternal dan intenal yang
melingkupinya. Serta memanfaatkan berbagai peluang (opportunity) yang ada, sekaligus
merespon berbagai permasalahan kritis (critical isues). Hal ini tentunya akan sangat
bermanfaat, sebagai langkah awal untuk berikutnya dapat memformulasi sebuah paket
strategi yang komprehensif baik untuk pengembangan perbankan syariah di Indonesia
secara umum maupun masing-masing bank syariah yang ada.
17
6. Challenges dan Opportunity di Indonesia
6.1. Analisis Lingkungan Usaha
Lingkungan usaha dalam hal ini untuk perbankan, tentunya juga perbankan
syariah, dipengaruhi oleh lima kekuatan besar.25 Lima komponen tersebut adalah: kondisi
ekonomi; kondisi sosial kultural demografi/psikografi; kondisi politik, pemerintahan, dan
hukum; kondisi teknologi; dan kondisi faktor-faktor kompetitif. Berikut ini akan
dianalisis tantangan dan peluang dari lingkungan usaha yang sedang berkembang yang
dihadapi perbankan syariah di Indonesia.
6.1.1. Analisis Ekonomi
6.1.1.1. Analisis Ekonomi Makro
Tahun 2006 oleh Citigroup disebut sebagai a year of transition. Kesimpulan
tersebut merupakan hasil analisis global market yang dikeluarkan oleh bank investasi
tersebut di penghujung tahun lalu, berkaitan dengan prospek pasar 2006. Ada beberapa
faktor ekonomi global yang dipandang akan berpengaruh pada ekonomi global dalam
laporan tersebut. Faktor yang akan berpengaruh terhadap perkembangan ekonomi global,
menurut laporan Citigroup tersebut diantaranya:26
Pertama, siklus kenaikan suku bunga The Fed sejak pertengahan 2004
agaknya akan berakhir awal tahun ini.
Kedua, Jepang tampaknya memulai proses panjang keluar dari kebijakan
moneter sangat akomodatif paruh kedua tahun ini.
Ketiga, dolar AS agaknya akan cenderung terdepresiasi ketimbang apresiasi.
Keempat, permintaan minyak kemungkinan melunak karena harga yang
tinggi, sehingga tren kenaikan harga sejak 2002 pada akhirnya akan berhenti.
Kelima, sejumlah negara, termasuk Brasil, Italia dan Meksiko, menghadapi
pemilu penting tahun ini.
Keenam, transisi kepemimpinan The Fed bakal mempengaruhi kebijakan
moneter AS dan global.
18
Tentu saja sejumlah faktor yang menyetir perekonomian dunia tersebut pada akhirnya
akan turut mengemudikan arah perekonomian Indonesia tahun ini.
Perekonomian Indonesia ke depan secara lebih khusus, menurut Miranda S.
Goeltom akan menghadapi beberapa tantangan utama. Tantangan tersebut antara lain:27
Pertama, tekanan terhadap ketidakstabilan makroekonomi diperkirakan masih
akan berlanjut. Dampak kenaikan harga BBM dan second round effect-nya yang
masih tersisa sampai akhir 2005, serta rencana kenaikan administered prices
(misalnya tarif dasar listrik) pada awal 2006 diperkirakan akan berkonstribusi
pada peningkatkan tekanan inflasi ke depan.
Kedua, perkembangan harga minyak dunia yang mempunyai potensi tetap tinggi,
serta tren kenaikan suku bunga The Fed telah mempengaruhi kondisi ekonomi
domestik, yang pada gilirannya juga berdampak negatif pada sektor perbankan.
Dalam kaitan ini, kenaikan BI Rate dan suku bunga penjaminan telah memaksa
bank untuk melakukan penyesuaian di kedua sisi neraca. Pada sisi aktiva kenaikan
suku bunga kredit berisiko meningkatkan non performance loan (NPL),
sementara pada sisi pasiva cost of fund menjadi lebih tinggi terkait dengan upaya
bank guna mempertahankan dana masyarakat yang telah dihimpun. Kondisi
tersebut (double blows) akan dapat mempengaruhi kinerja perbankan secara
signifikan. Hal ini, paling tidak, terlihat dari melambatnya pertumbuhan kredit
menjelang akhir 2005 dan beberapa bank merevisi (menurunkan) target
pendapatannya.
Ketiga, dari sisi eksternal, walaupun kondisi neraca pembayaran sampai dengan
akhir 2005 diperkirakan akan mencatat surplus, namun masih terdapat beberapa
risiko yang dapat mempengaruhi kondisi neraca pembayaran, seperti rendahnya
realisasi penarikan utang luar negeri (ULN) pemerintah dan pembalikan arus
modal portofolio. Di samping itu, realisasi pembalikan arus modal asing
portofolio pada akhir tahun dan berlanjutnya siklus pengetatan ekonomi AS juga
dapat mempengaruhi Lalulintas Modal (LLM) swasta. Namun, di lain pihak,
masih terdapat harapan, mengingat potensi kenaikan ekspor nonmigas yang lebih
tinggi dari perkiraan semula. Dalam jangka pendek, beberapa risiko tersebut
19
berpotensi menimbulkan ketidakstabilan moneter, terutama tekanan inflasi yang
akan cenderung besar.
Kenaikan harga bahan bakar minyak dua kali dalam setahun, ditambah suku
bunga perbankan yang bergerak naik, merupakan dua faktor utama yang mendongkrak
biaya produksi. Hal itu juga memaksa dunia usaha melakukan efisiensi habis-habisan.
Dampak kebijakan pemerintah mengenai harga minyak, yang semula bertujuan
menyelamatkan APBN dengan cara mengurangi subsidi BBM, ternyata telah memukul
sejumlah sektor padat karya, seperti tekstil dan produk tekstil (TPT), elektronika, dan
sektor manufaktur yang lain. Akibatnya, seperti kita ketahui, sebagian pelaku usaha
terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan.
Menurut data resmi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah
PHK pada kuartal IV 2005 bahkan naik 150% dibandingkan kuartal ketiga tahun yang
sama. Pada kuartal Oktober-Desember 2005 itu, setelah pemerintah menaikkan harga
BBM, jumlah pekerja yang di-PHK mencapai 55.697 orang. Padahal pada kuartal ketiga
(Juni-September), jumlah PHK baru mencapai 22.355 orang. Jumlah perusahaan yang
melakukan PHK juga bertambah. Jika pada 2004 jumlah kasus PHK melibatkan 3.509
perusahaan, tahun lalu meningkat menjadi 3.707 perusahaan, dengan puncaknya pada
Oktober 2005. Data resmi pemerintah itu setidaknya memberikan gambaran bahwa
pelaku bisnis mengalami tekanan yang berat sepanjang 2005. Pemerintah memang telah
menjanjikan sejumlah insentif, termasuk keringanan pajak, bersamaan dengan
pengumuman kenaikan harga BBM per 1 Oktober tahun lalu. 28
Pertumbuhan ekonomi nasional tetap akan terus berlanjut, meski realisasinya
kemungkinan besar dibawah prediksi sebelumnya dimana diharapakan ekonomi akan
tumbuh sebesar 6 %, dengan sumber pertumbuhan dari konsumsi dan investasi. Secara
keseluruhan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2006 masih akan bertumpu pada
konsumsi, sementara pertumbuhan investasi semakin membaik sehingga diperkirakan
dapat meningkatkan kapasitas perekonomian secara keseluruhan. Sementara itu, ekspor
barang dan jasa diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi, walaupun sedikit lebih lambat
dibandingkan tahun sebelumnya.
20
Di sisi investasi, kenaikan konsumsi domestik dan masih positifnya kinerja ekspor
dan diiringi oleh prediksi akan membaiknya iklim investasi diperkirakan akan mendorong
kegiatan investasi ke tingkat yang lebih baik. Sementara itu, pertumbuhan kegiatan
ekspor barang dan jasa secara riil diperkirakan masih tumbuh cukup tinggi. Konsumsi
swasta pada tahun 2006 diprediksikan akan meningkat. Pertumbuhan konsumsi swasta ini
dipengaruhi oleh perkiraan semakin membaiknya sumber-sumber pembiayaan baik dari
bank maupun lembaga keuangan lainnya. Bagi Bank Syariah, tentu saja sektor konsumsi
masih akan menjadi pilihan yang menarik sebagaimana ditunjukan tren ekonomi yang
ada.
6.1.1.2. Analisis Arah Kebijakan Ekonomi Kedepan
Setelah hampir enam tahun proses pemulihan ekonomi, masih terlihat gejala yang
kurang menggembirakan. Pemulihan ekonomi tampaknya belum diikuti dengan
penciptaan kesempatan kerja yang memadai. Gejala jobless recovery tampaknya terjadi
selama masa pemulihan ekonomi ini terutama terjadi dalam sektor formal.
Akibatnya tingkat pengangguran meningkat secara signifikan dibandingkan
sebelum krisis ekonomi. Pada akhir tahun 2003 masih ada sekitar 9 juta penganggur
terbuka dan belasan juta setengah penganggur terpaksa dimana jumlah ini jauh lebih
tinggi dibandingkan sebelum krisis. Akibatnya pengurangan kemiskinan berada jauh di
bawah tren seharusnya. Apalagi hampir separuh dari penduduk Indonesia masih rentan
terhadap pelbagai goncangan baik yang berasal dari eksternal maupun internal.
Pemerintahan SBY-MJK setidaknya telah menunjukan keinginan politik yang
kuat dan sedang berupaya untuk mengatasi kendala-kendala ekonomi politik tersebut.
Dalam lima tahun mendatang pemerintah telah menetapkan beberapa sasaran ekonomi
antara lain:29
1. Tingkat Pengangguran menurun dari 9,5% tahun 2003 menjadi 6.7 % tahun 2009.
2. Tingkat Kemiskinan menurun dari 16,6 % tahun 2004 menjadi 8.2 % tahun 2009.
3. Untuk mencapai sasaran penurunan tingkat pengangguran dan tingkat
kemiskinan, laju pertumbuhan ekonomi harus mengalami akselerasi dari 4,5%
21
pada tahun 2003 menjadi 7,2% pada tahun 2009 sehingga dalam lima tahun
mendatang laju pertumbuhan ekonomi dapat mencapai rata-rata 6,5% per tahun.
4. Sasaran laju pertumbuhan di atas hanya akan tercapai jika rasio investasi terhadap
PDB dapat ditingkatkan dari 20,5% tahun 2004 menjadi 28.4% pada tahun 2009.
Untuk mewujudkan sasaran tersebut, agenda yang akan dilakukan pemerintah
adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui program perbaikan iklim investasi,
menjaga dan memelihara stabilitas ekonomi makro, dan peningkatan dan perbaikan
kemampuan UKM, serta upaya pemberantasan kemiskinan.
Pada sektor moneter, inflasi 2005 lebih banyak dipengaruhi oleh masih tingginya
ekspektasi inflasi dan menguatnya permintaan agregat. Disamping itu, tekanan inflasi
saat ini juga berasal dari dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
khususnya BBM. Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan inflasi bulan oktober
sebesar 8,79 %, sehingga inflasi tahunan mencapai 17,89%, dan inflasi Januari-Oktober
2005 sebesar 15,65%. Nilai tukar rupiah untuk tahun 2006 diperkirakan akan terus
membaik setelah akhir tahun 2005 mengalami kecenderungan melemah melewati angka
Rp 11.000/USD. Nilai tukar 2006 akan berada pada kisaran Rp 9.000/USD - Rp
10.000/USD.
Bank Indonesia masih akan mewaspadai adanya faktor eksternal atas berlanjutnya
kebijakan pengetatan jumlah uang beredar (tightening cycle) dari Federal Reserve
Amerika Serikat. Faktor ini diperkirakan masih akan mewarnai pergerakan mata uang
dunia termasuk rupiah. Sampai dengan Desember tahun 2005, suku bunga Federal Fund
mencapai 3,5 % atau meningkat dari level awal tahun 2004 sebesar 1%. Arah kebijakan
moneter Federal Reserve tersebut kemungkinan masih akan berlanjut di tahun-tahun
berikutnya. Dalam jangka pendek, kecenderungan penguatan dolar AS secara global
masih akan terjadi. Namun demikian, dalam jangka panjang perekonomian AS masih
dibayang-bayangi oleh defisit transaksi berjalan yang besar sehingga memungkinkan
terjadinya pelemahan dolar AS.
Dengan memperhatikan prospek ekonomi dan sasaran inflasi yang ditetapkan
dalam tahun 2005, kebijakan moneter yang ditempuh oleh Bank Indonesia nampaknya
tetap diarahkan pada upaya mempertahankan stabilitas ekonomi makro yang telah dicapai
22
dan mendukung proses pemulihan ekonomi serta selaras dengan upaya memantapkan
konsolidasi fiskal dan penyehatan APBN. Dalam kerangka tersebut upaya penyerapan
kelebihan likuiditas rupiah secara optimal akan dilanjutkan dengan tetap memberikan
fleksibilitas bagi perubahan suku bunga. Atas dasar pengamatan perkembangan suku
bunga tahun-tahun sebelumnya dan mempertimbangkan perkiraan indikator ekonomi
lainnya memasuki akhir tahun, maka suku bunga SBI 3 bulan diperkirakan berada dalam
rentang 8 – 13 persen. Perkiraan ini bersifat indikatif karena tingkat suku bunga SBI
ditentukan berdasarkan mekanisme pasar. Kalangan perbankan syariah nasional tentu saja
mau tidak mau harus memperhatikan tren tersebut.
6.1.1.3. Analisis Perbankan dan Pasar Modal
Fenomena yang cukup menarik dari data Bank Indonesia menunjukkan laju
pertumbuhan penyaluran kredit perbankan hingga periode Mei 2005 masih didominasi
kredit konsumsi sebesar 38,42%, diikuti kredit modal kerja sebesar 29,84%. Sementara
kredit investasi hanya sebesar 17,46%. Proyeksi penyaluran kredit dari sisi
penggunaannya untuk triwulan ke III tahun 2005 juga diperkirakan kredit investasi
menduduki posisi paling rendah hanya sebesar 2,5% disusul konsumsi 12,5%, dan kredit
modal kerja 85%.30 Indikasi untuk menyalurkan kredit ke segmen korporasi masih akan
tetap sulit dilakukan oleh perbankan karena adanya faktor kehati-hatian (prudent) dan
selektif mengingat tingginya resiko kredit sektor industri dibandingkan konsumsi.
Kondisi ini ditambah lagi dengan keluarnya PBI No.7/2/2005 mengenai kualitas aktiva
produktif. Terlihat jelas arah penyaluran dana perbankan kedepan masih tetap berfokus
pada kredit konsumsi.
Memasuki penghujung Agustus, rupiah mengalami tekanan yang dahysat. Rupiah
menembus batas psikologis, yaitu Rp 10.000/US$. Nilai rupiah anjlok dengan kecepatan
luar biasa dan volatilitasnya menjadi gila-gilaan, dalam sehari bisa turun naik dalam
rentang ratusan rupiah. Melihat rupiah tiap hari semakin terpuruk, semua semakin panik,
sehingga terjadi panic buying. Hal ini kemudian menyebabkan nilai tukar rupiah anjlok
hingga Rp 11.800 (30/8) yang merupakan titik terlemah sejak 30 April 2001. Hal ini
kemudian mendorong BI untuk mengeluarkan semua kebijakan pentingnya untuk
23
menahan dan meredam anjloknya nilai tukar rupiah. Setelah BI mengeluarkan paket
kebijakannya, Presiden juga berpidato menyampaikan paket kebijakan fiskal yang akan
dikeluarkan. Setelah paket kebijakan tersebut dikeluarkan, rupiah menjadi jinak, langsung
menguat berada di level Rp10.400/US$.
Dari beberapa poin dalam paket kebijakan BI, memang terdapat hal-hal yang
positif, tetapi ada beberapa yang akan berdampak pada bank syariah. Terutama kenaikan
BI Rate sebesar 75 basis poin menjadi 9,5% (30/8) dan menaikannya kembali sebesar 50
basis poin sehingga menjadi 10,0% (6/9). Bahkan untuk mersepon tingginya inflasi yang
telah diumumkan BPS pasca kenaikan BBM, BI menaikan kembali BI rate mejadi 12,25
% dari posisi sebelumnya 11 %.
Selain itu BI juga menaikkan giro wajib minimum (GWM) rupiah berlaku sejak 6
September 2005. Untuk loan to deposit ratio (LDR) di atas 90% dikenakan tambahan
0%. Selanjutnya, LDR 75%-90% dikenakan tambahan 1%. LDR 60%-75% dikenakan
tambahan 2% dan LDR 50%-60% dikenakan tambahan 3%. BI menetapkan LDR 40%-
50% dikenakan tambahan 4% sedangkan LDR kurang dari 40% dikenakan tambahan 5%.
BI juga menaikkan imbalan jasa giro yang semula 3% menjadi sebesar 5,5%, untuk
seluruh tambahan GWM rupiah di atas 5%. Kenaikan GWM ini tidak terlampau
berpengaruh dengan bank syariah, karena rata-rata bank syariah memiliki financing to
deposit rasio (FDR) diatas 90%. Sehingga tidak akan dikenakan tambahan. Data bank
sentral per Mei tahun ini memperlihatkan rasio pembiayaan itu mencapai 109,11%.
Kebijakan BI menaikan suku bunga tentu akan mendorong semakin naiknya suku
bunga simpanan di bank umum yang dalam dua bulan terakhir saja sudah menunjukkan
tren kenaikan. Kebijakan manajemen bank tersebut tentunya untuk menjaga kepercayaan
masyarakat seiring naiknya BI Rate sebagi patokan resmi. Menghadapi hal ini, kalangan
perbankan syariah nasional menghadapi pilihan untuk mengantisipasi kenaikan suku
bunga dengan menaikkan nisbah bagi hasil pembiayaan kepada pihak bank yang
diharapkan berujung pada meningkatnya equivalent rate kepada deposan.31 Langkah
antisipasi bank syariah, dilakukan dengan meningkatkan pelemparan pembiayaan ke
masyarakat serta meningkatkan rasio keuntungan (nisbah) yang diterima pihak bank.
Tentu saja harapannya dengan naiknya rasio pembiayaan akan meningkatkan
24
profitabilitas bank syariah sehingga mampu memberikan tingkat pengembalian
(equivalent rate) yang lebih baik kepada nasabah deposan. Suku bunga tinggi merupakan
tantangan tersendiri bagi bank syariah. Teori dan pengalaman menunjukkan perbankan
syariah lebih sulit berkembang dalam keadaan bunga tinggi yang tidak realistis.
6.1.2. Analisis Sosio-kultural, Demografi/Psikografi
Perubahan-perubahan yang terjadi pada wilayah Sosio-kultural, Demografi/
Psikografi ini, terutama sekali dipicu oleh perkembangan teknologi informasi yang sangat
pesat. Dalam kenyataannya, teknologi informasi tersebut tidak hanya menjamin
kelancaran perpindahan informasi saja, tetapi lebih dari itu teknologi tersebut juga
menjembatani perpindahan nilai-nilai, perilaku, gaya hidup masyarakat.
Peneliti dari Markplus Strategy Consulting menulis dalam jurnal Markplus
Quaterly millennium edition, setidaknya ada empat hal yang menggerakkan perubahan di
Indonesia saat ini, yaitu:32
1. Global Paradox. Timbulnya suatu gejala keseragaman dalam informasi, sikap dan
tingkah laku. Akibatnya terbentuklah serangkaian nilai/norma dan sikap yang
disetujui bersama, terutama sekali dalam isu-isu hak asasi manusia dan demokrasi.
Isu-isu tersebut memotivasi masyarakat untuk menghormati keberagaman
budaya, agama, ras dan etnik. Secara bersamaan makin pula upaya tiap-tiap
kelompok masyarakat tersebut untuk mempertahankan identitas dan eksistensi
kelompoknya.
2. Pencarian terhadap kemudahan. Dengan adanya arus informasi yang bebas,
pelanggan menjadi semakin cerdas dan makin menuntut value semakin tinggi dari
produk-produk yang mereka pakai. Dalam kegiatan perbankan misalnya, pelanggan
menuntut akses yang mudah dan aman dalam bertransaksi, mencairkan uang
mereka dan lain-lain. Akibatnya muncullah produk-produk seperti kartu kredit,
ATM, kartu debit dan seterusnya.
3. Euphoria demokrasi. Berkembangnya nilai-nilai demokrasi ini makin memperkuat
posisi tawar menawar setiap komponen masyarakat. Masyarakat menjadi
semakin kritis dalam mensikapi segala sesuatunya.
25
4. Paradigma baru kewirausahaan. Munculnya pengusaha-pengusaha yang mulai
meninggalkan pola usaha lama seperti ketergantungan dengan captive market,
figur-figur yang dekat dengan poros kekuasaan dan lain-lain. Dalam dunia
perbankan misalnya, muncul kesadaran untuk mewujudkan operasi perbankan
yang prudent.
6.1.3. Analisis Kekuatan Politik, Pemerintahan dan Hukum
Hasil jajak pendapat harian Kompas sembilan bulan masa pemerintahan Presiden
SBY memperlihatkan kenaikan yang signifikan, hampir sejajar dengan hasil masa bulan
madu tiga bulan.33 Kenaikan kepuasan responden tersebut meliputi semua bidang, yaitu
perekonomian, kesejahteraan sosial, politik dan keamanan, serta hukum.
Jika dibandingkan dengan hasil jajak pendapat sembilan bulan pemerintahan
sebelumnya, keyakinan responden terhadap kemampuan Presiden SBY mengatasi
berbagai masalah perekonomian, kesejahteraan sosial, politik, keamanan, dan hukum
jauh melampaui penilaian terhadap pemerintahan Megawati maupun Abdurrahman
Wahid. Rapor 9 bulan Presiden SBY untuk keempat bidang itu adalah 77,5 persen, 78,6
persen, 81,9 persen, dan 82,3 Persen. Untuk Presiden Megawati 58,0 persen, 63,1 persen,
60,2 persen, dan 55,7 persen. Sementara Presiden Abdurrahman Wahid 52,0 persen, 54,2
persen, 52,6 persen, dan 54,7 persen.
Tampak dalam jajak pendapat tersebut, apresiasi responden, terutama pada bidang
hukum, mungkin sekali terkait komitmen pemerintah untuk memberantas korupsi dan
aneka bentuk penyalahgunaan hukum dan kekuasaan. Hal ini setidaknya meruapakan
representasi tentang perbaikan arah perkembangan politik, pemerintahan dan hukum
kedepan. Tetapi hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) pasca kenaikan harga
BBM 1 Oktober ketikdapuasan masyarakat semakin tinggi terhadap pemerintah.34
Demokrasi lokal yang didorong melalui proses Pemilihan Kepala Daerah
(Pilkada) secara langsung memberikan optimisme transparansi pembangunan daerah.
Otonomi daerah juga telah memberikan arah konsentrasi pembangunan yang mulai
tersebar lebih merata.
26
Kondisi politik 2006 diperkirakan lebih stabil dibandingkan dengan tahun
sebelumnya. Ini karena selama 2005 terjadi rekonfigurasi peta kekuatan politik partaipartai
yang mempermantap dukungan Dewan Perwakilan Rakyat terhadap pemerintah.
Rekonfigurasi peta kekuatan politik itu terjadi dengan masuknya Partai Golkar, yang
menguasai 23,09% dari total 550 kursi di DPR, sebagai pendukung pemerintah.
Perubahan posisi Partai Golkar itu dinyatakan dalam Rapimnas pada akhir November
2005. Padahal, sebelumnya partai ini memposisikan diri sebagai penyeimbang
pemerintah. Dukungan terhadap pemerintah juga datang dari Partai Keadilan Sejahtera
dan Partai Amanat Nasional. Kedua parpol ini menyatakan diri sebagai 'mitra kritis'
pemerintah. Belakangan Partai Kebangkitan Bangsa (pimpinan Muhaimin Iskandar) pun
ikut merapat ke pemerintah. Kondisi ini terjadi dengan diangkatnya Erman Suparno
sebagai Mennakertrans saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merombak (reshuffle)
Kabinet Indonesia Bersatu secara terbatas. Peta politik nasional, dengan demikian,
menunjukkan dukungan terhadap pemerintahan Presiden Yudhoyono-Wapres Jusuf Kalla
paling besar, sekitar 73,27% dari total kursi di Dewan. Kekuatan mayoritas ini sudah
termasuk dukungan Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, Partai Persatuan
Pembangunan, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia.35
6.1.4. Analisis Teknologi
Perkembangan teknologi informasi saat ini menjadi sebuah keniscayaan untuk
dapat meningkatkan kinerja dan memungkinkan berbagai kegiatan dapat dilaksanakan
dengan cepat, tepat dan akurat, sehingga akhirnya akan meningkatkan produktivitas.
Perkembangan teknologi informasi dewasa ini memperlihatkan bermunculannya berbagai
jenis kegiatan yang berbasis pada teknologi ini, seperti e-government, e- commerce, eeducation,
e-medicine, e-laboratory, dan lainnya, yang kesemuanya itu berbasiskan
elektronika.
Dalam konteks perbankan, saat ini telah banyak nasabah, khususnya di kota-kota
besar yang tidak lagi menggunakan uang tunai dalam transaksi pembayarannya, tetapi
telah memanfaatkan layanan perbankan modern. Untuk menunjang keberhasilan
operasional bank, sudah pasti diperlukan sistem informasi yang handal yang dapat
27
diakses dengan mudah oleh nasabahnya, yang pada akhirnya akan bergantung pada
teknologi informasi online. Institusi perbankan dan keuangan telah dipengaruhi dengan
kuat oleh pengembangan produk dalam teknologi informasi, bahkan mereka tidak dapat
beroperasi lagi tanpa adanya teknologi informasi tersebut. Sektor ini memerlukan
pengembangan produk dalam teknologi informasi untuk memberikan jasa-jasa mereka
kepada pelanggan mereka.36 Nasabah kini menginginkan agar dapat dengan mudah
membayar berbagai pembayaran tagihan rutin maupun melakukan berbagai transaksi dari
belahan dunia manapun, 24 jam sehari, 7 hari seminggu
Sebagai contoh dahulu, untuk kliring atau tukar-menukar warkat di perbankan
masih sangat manual. Mulai tahun 1990, otomatisasi menggunakan warkat sudah
dilakukan dengan mesin. Kemudian masuk tahun 1996-1997, berubah menjadi kliring
elektronik hingga kemudian Bank Indonesia (BI) berubah menerapkan RTGS (Real Time
Gross Settlement). Selain itu, internet juga telah menjelma menjadi sebuah delivery
channel yang berpotensi hampir tanpa batas untuk perbankan. Meski di Indonesia
mengalami hambatan dengan rendahnya penetrasi komputer PC di rumah tangga dan
jumlah nasabah yang mengakses Internet. Tetapi, Internet Banking, seperti juga
electronic delivery channel lainnya, misalnya ATM, pada awalnya tidak sepenuhnya
berdasarkan kebutuhan nasabah. Melainkan karena didorong perkembangan teknologi
yang menawarkan banyak kemudahan, sampai akhirnya mereka menyadari bahwa
Internet dapat digunakan untuk melakukan transaksi perbankan.37
Di sisi lain, M-commerce dan layanan jasa keuangan diperkirakan akan menjadi
primadona dalam aplikasi nirkabel. Termasuk layanan perbankan, jual beli saham dan
asuransi. Komunikasi nirkabel yang bersifat mobile (bergerak) ini akan menjadi delivery
channel yang sangat penting dalam layanan perbankan di masa depan, karena banyak
memberi kemudahan. Nasabah bisa menggunakan waktu tidak produktifnya, misalnya,
pada saat menunggu pesawat terbang atau kereta api, untuk melakukan transaksi
perbankan atau membayar berbagai tagihan. Fasilitas yang perlu disediakan; seperti call
center, phone banking, SMS banking dan Internet banking. Dengan beragamnya fasilitas
yang ada, ini akan memudahkan nasabah menikmati jasa-jasa layanan bank sesuai selera
masing-masing.38
28
Untuk memberikan layanan yang lengkap dan utuh, perbankan kedepan mungkin
akan mengadopsi konsep multiple delivery channel, di mana bank memberikan layanan
melalui saluran yang dirasakan paling nyaman bagi nasabah. Nasabah yang ingin full
service bisa dilayani di cabang, yang ingin melakukan transaksinya sendiri bisa melalui
ATM, Phone banking atau Internet. Untuk pembayaran gaji dapat dilakukan secara
otomatis. Di sisi lain, bank akan menurunkan biaya per transaksi dengan mengalihkan
transaksi ke channel swalayan berbasis teknologi. Misalnya; balance inquiry yang
biasanya dilayani Customer Service sekarang bisa dilayani Interactive Response System,
penarikan tunai dapat dilakukan melalui ATM dan transfer atau pembayaran tagihan
telepon dapat dilakukan melalui Internet Banking.39
Selain itu bank membutuhkan infrastruktur disaster recovery (disaster recovery
center) dan prosedur atau rencana penerapan disaster recovery (disaster recovery plan).
Infrastruktur disaster recovery mencakup fasilitas data center, wide area network (WAN)
atau telekomunikasi, local area network (LAN), hardware, dan aplikasi. Selama ini
kegagalan IT yang terjadi setelah implementasi, karena kurang terdukung sistem
pengamanan (security system) yang memadai dan belum tersedianya sistem pemulihan
(disaster recovery system) karena masih dianggap sebagai cost sehingga ditinggalkan
atau belum menjadi perhatian penting oleh manajemen. Padahal obyektif sistem
pengamanan informasi sangat penting untuk memastikan ketersediaan (availability),
integritas (integrity), kerahasiaan (confidentiality), akuntabilitas (accountability) dan
jaminan (assurance) sistem informasi dalam menunjang kegiatan perusahaan.
Penerapan TI oleh perbankan tentu saja ditujukan untuk meningkatkan efisiensi
operasi dan meminimalisasi risiko operasi, meningkatkan produktivitas, ketepatan dan
keamanan operasi perbankan. Selain itu TI digunakan sebagai piranti analisis dan
instrumen pemasaran. Selain itu penerapan TI diharapkan mampu memberikan manfaat
sebesar-besarnya bagi nasabah dengan menyediakan service delivery channel yang
terintegrasi melalui kapabilitas TI yang akan meningkatkan daya saing, dan
meningkatkan return on investment (ROI) yang optimal.
29
Dan benar bahwa teknologi yang diterapkan dengan baik memberikan competitive
advantage kepada sebuah bank. Setiap bank mempunyai akses yang sama atas teknologi
yang ada, namun yang mampu memanfaatkannya dengan benar adalah mereka yang
berhasil meraciknya ke dalam sebuah konfigurasi yang fungsional dan efisien, yang
diimplementasikan dengan seksama, yang mendukung produk dan layanan yang menarik
serta dioperasikan dengan tepat-guna.40
Diprediksikan, seluruh bank di Indonesia akan membelanjakan dana sekitar US$
250 juta untuk piranti teknologi perbankan di masa mendatang. Sebenarnya, belanja
untuk teknologi dilakukan perbankan nasional sebelumnya pernah dilakukan pada 1998-
1999. Tetapi semenjak krisis relatif terhenti. Konsolidasi yang dilakukan perbankan
Indonesia setelah krisis, tentunya akan ditindaklanjuti dengan pembenahan sistem
perbankan yang terus menerus. Teknologi perbankan, akan berperan dalam mendukung
operasionalisasi perbankan menjadi lebih baik, termasuk untuk menjadi bank kelas dunia.
Diharapkan, teknologi perbankan juga dapat diperuntukkan untuk mengatasi masalah
infrastruktur di perbankan berupa sistem pembayaran, yakni real time gross settlement
(RTGS), biro kredit, dan sistem anti pencucian uang.41
Kedepan, kalangan perbankan secara umum masih membutuhkan panduan
implementasi teknologi seiring dengan rencana bank sentral menerapkan aturan API.
Sistem TI di bank berskala besar diperkirakan akan semakin kompleks. Sementara
kebutuhan TI di bank berskala kecil juga mendesak. Padahal, sebagian besar bank
berskala kecil memiliki kemampuan terbatas untuk membangun infrastruktur teknologi
sendiri. Bank yang modalnya sangat kecil secara otomatis akan kesulitan melakukan
investasi TI sendirian. Di sisi lain, bank tersebut tetap diwajibkan menggunakan sistem
TI. Dengan kondisi itu, maka pilihannya adalah menggunakan infrastruktur TI bersama
bank-bank lainnya atau mengembangkan sendiri dengan biaya yang besar.
6.1.5. Analisis Faktor-faktor Kompetitif
Secara institusional, sampai dengan akhir tahun 2005 jumlah bank yang
melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah meningkat menjadi 3 Bank
Umum Syariah (BUS), 19 Unit Usaha Syariah (UUS) dari Bank Umum Konvensional
30
dan 92 BPRS.42 Bank-bank inilah yang akan saling menjadi kompetitor inti. Menurut
peraturan Bank Indonesia No 2/27/PBI/2000 tentang bank umum pasal 4, modal disetor
tunai untuk bank umum baru harus sebesar Rp 3 trilyun diluar setoran dalam bentuk lain.
Ketentuan ini tentu memperkecil potensi pemain lokal baru yang akan masuk. Namun
ancaman masuknya bank asing besar mungkin masih tetap harus diwaspadai oleh para
pemain lokal.
Terbukanya peluang pembukaan UUS juga memudahkan peluang masuknya
pesaing-pesaing baru dari bank konvensional. Dalam ketentuannya Bank Indonesia
memberikan waktu bagi bank konvensional yang hendak mengubah usahanya menjadi
syariah untuk menyelesaikan hak dan kewajibannya sebagai debitor maupun kreditor
paling lama 360 hari. Hak tersebut diatur dalam surat edaran BI No.8/8/DPBs yang
berlaku sejak 1 Maret 2006. Bank baru bisa melakukan kegiatan syariah setelah
mendapatkan persetujuan dari bank sentral.
UUS juga banyak yang berkeinginan membuka office chanelling, hal ini didorong
oleh PBI No. 8/3/PBI/2006 mengenai Pembukaan Kantor Bank yang Melaksanakan
Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip syariah oleh Bank Konvensional. Sejumlah bank
yang memiliki UUS, berencana mengoperasikan outlet di cabang konvensional di
berbagai wilayah Indonesia, menyusul keluarnya ketentuan office chanelling dari Bank
Indonesia tersebut. Aturan tersebut tentunya akan mendorong semakin tingginya tingkat
persaingan dalam perebutan dana pihak ketiga di bank syariah.
Selain itu, samapai saat ini sebagian besar kaum muslimin masih memiliki
keragaman padangan tentang bunga bank dan cenderung menggunakan perspektif
fungsionalitas dalam memilih bank. Hal ini membuat bank-bank syariah tidak hanya
bersaing dengan sesama bank syariah, tetapi juga bersaing dengan bank konvensional.
Saat ini lembaga-lembaga multifinance juga berpeluang menjadi pesaing atau sebaliknya
dapat menjadi mitra.
31
6.2. Analisis Industrial
6.2.1. Pasar Keuangan dan Lembaga Keuangan Syariah Terkait
6.2.1.1. Pasar Modal Syariah
Perkembangan pasar modal syariah saat ini ditandai dengan maraknya perusahaan
yang listing di Jakarta Islamic Index (JII), penawaran umum Obligasi Syariah dan juga
Reksadana Syariah. Kinerja saham syariah yang terdaftar dalam JII mengalami
perkembangan yang cukup mengembirakan. Kapitalisasi pasar saham syariah yang
terdaftar dalam JII telah mencapai Rp.259,66 triliun pada akhir Desember 2004. Dengan
keluarnya fatwa Obligasi Ijarah tahun 2004 juga telah mendorong sebanyak 7 (tujuh)
emiten mendapat pernyataan efektif dari Bapepam untuk dapat menawarkan Obligasi
Syariah Ijarah dengan total nilai emisi sebesar Rp.642 Miliar. Sehingga sampai dengan
akhir 2004 ini, secara kumulatif terdapat 13 obligasi syariah dengan total nilai emisi
sebesar Rp.1,38 triliun. Reksadana syariah juga tumbuh mengesankan, secara kumulatif
menjadi 10 reksa dana syariah sampai dengan akhir 2004.43
Tahun 2005 merupakan tahun internalisasi bagi Bapepam dalam pengembangan
pasar modal syariah. Internalisasi ini dilakukan guna membangun kerangka
pengembangan yang komprehensif. Untuk itu, pada semester pertama tahun 2005
Bapepam telah menyusun sasaran dan strategi pengembangan pasar modal syariah dalam
lima tahun ke depan. Selanjutnya sasaran dan strategi tersebut dituangkan menjadi bagian
dari Master Plan Pasar Modal Indonesia 2005-2009.44 Arah kebijakan tersebut dimuat
sebagai salah satu sasaran dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia tahun 2005-2009.
Dua strategi utama telah ditetapkan dalam rangka mencapai sasaran tersebut. Pertama,
mengembangkan kerangka hukum yang dapat memfasilitasi pengembangan pasar modal
syariah. Kedua, mendorong pengembangan produk pasar modal berbasis syariah.
Pengembangan pasar modal syariah ini diharapkan menjadi bagian dari pengembangan
suatu sistem keuangan syariah yang menyeluruh hingga dapat mendukung terciptanya
konsep Dual Financial System.
Sejalan dengan Sasaran dan Strategi tersebut, Bapepam telah melakukan
penyusunan Peraturan Bapepam tentang Penerapan Prinsip Syariah di Pasar Modal. Pada
32
tahun 2005 penyusunan draft Peraturan Bapepam tersebut telah mencapai tahap final.
Selanjutnya pada tahun 2006 peraturan ini diharapkan dapat diterbitkan sesuai dengan
apa yang telah ditargetkan dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia. Bapepam juga
memiliki target bahwa pada tahun 2007 telah tersusun standar akuntansi untuk kegiatan
pasar modal syariah.
Dari sisi pertumbuhan produk pasar modal syariah, pada tahun 2005 tercatat
sebanyak 3 (tiga) emiten yang mendapatkan pernyataan efektif dari Bapepam untuk
menawarkan obligasi syariah ijarah dengan nilai emisi sebesar Rp. 585 miliar. Secara
kumulatif sampai dengan tahun 2005 total emiten telah mendapat efektif dari Bapepam
untuk dapat menerbitkan obligasi syariah mencapai 16 emiten (10% dari total Emiten)
dengan total nilai emisi. Rp. 2 triliun. (2% dari total nilai emisi obligasi). Reksa Dana
syariah pada tahun 2005 tetap mengalami pertumbuhan yaitu dengan diluncurkannya 6
Reksa Dana syariah baru, termasuk 2 diantaranya Reksa Dana yang menggunakan skema
proteksi. Hal ini berarti secara kumulatif hingga akhir tahun ini terdapat 16 Reksa Dana
syariah. Reksa Dana syariah pada tahun 2005 ini juga diwarnai oleh turunnya Nilai aktiva
Bersih (NAB) akibat dari kondisi pasar obligasi yang mengalami trend penurunan. NAB
reksadana syariah yang sempat mencapai puncaknya pada bulan Agustus 2005 yang
mencapai Rp. 1,19 triliun menjadi Rp. 567,7 miliar per 21 Des 2005. Saham-saham yang
termasuk dalam Jakarta Islamic Index (JII) juga mencatat kinerja yang cukup
menggembirakan. Indeks JII pada akhir tahun mencapai 200,93 (per 21 Des 2005)
dengan kapitalisasi pasar tercatat sebesar Rp. 397,97 trliun (per 21 Des 2005).45
Secara kualitas, ternyata kinerja reksadana syariah Indonesia juga melampaui
Malaysia. Data Bloomberg yang diolah oleh KBC menunjukkan reksadana Danareksa
Syariah dan PNM Syariah masuk dalam 15 besar reksadana syariah dunia berdasarkan
returnnya selama 3 tahun terakhir. Danareksa Syariah memberi return 10,9 persen dalam
tahun 2005, sedangkan PNM Syariah memberi return 13,3 persen. Return dalam 3 tahun
terakhir (per 3 Februari 2006) dari Danareksa Syariah mencapai 24,9 persen, dan PNM
Syariah mencapai 17,4 persen. Begitu pula kinerja reksadana syariah yang portofolionya
obligasi syariah, reksadana Batasa Syariah menduduki peringkat pertama dan kedua dari
15 besar reksadana syariah dunia berdasarkan returnnya selama 1 tahun terakhir. Di
33
peringkat pertama Dompet Dhuafa Batasa Syariah memberi return 12,4 persen dalam
tahun 2005, dan di peringkat kedua Batasa Syariah memberi return 13,1 persen.46
Meski demikian pasar modal syariah Indonesia masih tertinggal jauh dari sisi
volume, baik reksadana syariah maupun obligasi syariah. Malaysia saat menguasai 62
persen dari seluruh obligasi syariah yang diterbitkan di dunia, sedangkan Indonesia baru
1 persen. Hal ini sangat wajar mengingat obligasi syariah yang diterbitkan di Indonesia
masih dalam rupiah sehingga investornya adalah investor lokal. Berlainan dengan
Malaysia yang telah berhasil menarik investor asing. Atas kepentingan menarik investor
asing inilah, timbul dorongan yang kuat agar pemerintah segera menerbitkan SUN yang
tidak bertentangan dengan syariah.
Perkembangan pasar modal ini, tentu saja akan memberikan dampak positif bagi
bank syariah. Karena pengembangan perbankan syariah juga membutuhkan kelengkapan
dan kokohnya industri keuangan syariah untuk dapat beraliansi secara strategis.
Perkembangan obligasi syariah misalnya, secara khusus akan dapat menjadi
kanal penyaluran kelebihan dana dan kesulitan investasi dari bank syariah. Obligasi
Syariah menjadi alternatif investasi jangka panjang untuk menyalurkan kelebihan
likuiditas yang aman dan return-nya cukup baik. Selain itu bank syariah juga dapat
mengeluarkan obligasi syariah untuk mengurangi kesulitan manajemen dananya yang
banyak dalam bentuk deposit jangka pendek.
Sedangkan dalam konteks reksadana syariah sebagaimana diatur dalam UU No.
10/1998 tentang Perbankan pasal 6 huruf m, bank syariah dapat menyediakan
pembiayaan atau melakukan kegiatan lain berdasarkan prinsip syariah yang dalam kaitan
dengan reksadana bank syariah dapat bertindak sebagai: (i) Investor/pembeli produk
reksadana, (ii) penyertaan (sponsorship) bank pada perusahaan reksadana, (iii) Bank
kustodian, (iv) manajer investasi, dan (v) agen penjual.47
6.2.1.2. Asuransi Syariah
Dalam konteks muammalah, konsep asuransi tidak dikenal, namun konsep yang
dapat dikatakan sepadan adalah konsep Takaful yang berasal dari kata kafala yang berarti
menjamin, menjaga atau memelihara. Dalam perkembangannya asuransi syariah
34
mengelola dana para peserta asuransi dalam bentuk premi yang dibayarkan menggunakan
prinsip mudharabah (bagi hasil), prinsip tabarru’ (donasi) ataupun prinsip al musahamah
(kontribusi), dengan menginvestasikannya di sektor riil yang dibenarkan secara syariah.
Jika dari investasi tersebut pengelola asuransi syariah mendapatkan profit, maka peserta
asuransi dapat memperoleh sharing atas keuntungan itu. Jika premi dibayarkan dengan
prinsip mudharabah, maka keuntungan yang diperoleh peserta asuransi didasarkan pada
nisbah bagi hasil, sedangkan premi yang berasal dari tabarru’ besarnya manfaat yang
diberikan tergantung pada kebijakan pengelola.
Sementara itu dalam prakteknya terdapat dua jenis asuransi syariah, yakni
asuransi keluarga (family insurance) dan asuransi kerugian secara umum (general
insurance). Asuransi keluarga merupakan adaptasi dari konsep aqilah dan umumnya
menggunakan akad mudharabah dan tabarru’. Sedangkan asuransi umum dilakukan
menggunakan asas tolong menolong yang menggunakan prinsip al musahamah.
Secara industri, dengan semakin diminatinya produk-produk keuangan syariah,
terjadi perkembangan yang cukup berarti dalam hal jumlah perusahaan asuransi yang
menawarkan produk asuransi syariah dengan dibukanya kantor cabang syariah di
perusahaan asuransi konvensional dan perusahaan reasuransi syariah. Hingga akhir tahun
2005, industri asuransi syariah nasional diisi 27 pemain yang terdiri dari dua perusahaan
asuransi jiwa dan satu perusahaan asuransi kerugian. Selain itu, terdapat sembilan divisi
syariah asuransi jiwa dan 15 divisi syariah asuransi kerugian dan reasuransi. Keberadaan
perusahaan asuransi juga melibatkan perusahan pialang (broker) yang berpraktik syariah
a.l. PT Fresnel Indonesia dan PT Amanah Jamin Indonesia (pialang asuransi) dan PT
Asia Re (pialang reasuransi). Pialang syariah dibutuhkan karena sosialisasi calon
pemegang polis yang belum memahami kontrak asuransi syariah memerlukan jasa
broker.48
Data dari Depkeu menunjukkan jumlah total aset yang dibukukan industri
asuransi syariah per akhir 2004 sebesar Rp518,82 atau baru 1,6% dari total industri
asuransi nasional Rp119,90 triliun. Kecilnya kontribusi penguasaan pasar juga dibukukan
industri asuransi syariah dalam pendapatan premi. Asuransi jiwa syariah hanya mampu
35
Performa perusahaan asuransi syariah 2004 (Rp miliar)
Asuransi Jiwa Asuransi Kerugian
Tertanggung 2,27 juta polis -
Aset 401,7 117,1
Premi 148,7 66,31
Investasi 340,2 77,67
Klaim 71,9 19,04
Rasio klaim 48% 23%
meraup premi sebesar Rp148,7 miliar atau 0,8% dari total industri sedangkan asuransi
kerugian syariah Rp66,31 miliar atau pangsa pasarnya 0,4% dari industri.
Sumber : Departemen Keuangan
Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) memproyeksi anggotanya akan
berjumlah 40 perusahaan hingga akhir tahun 2006 ini. Lima perusahaan asuransi
diketahui telah mempresentasikan rencana pembukaan unit syariah kepada Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Namun, kelima perusahaan
tersebut masih menunggu keluarnya izin operasi dari Departemen Keuangan. Beberapa
nama calon pemain baru asuransi syariah a.l. PT Asuransi Ramayana, WanaArtha Life,
PT Asuransi Bosowo Periskop dan PT Asuransi Parolamas.
Karim Business Consulting, menyampaiakn peran divisi syariah dari asuransi
asing akan semakin mendominasi peta persaingan perebutan premi di industri asuransi
syariah. Keberadaan asuransi Allianz, Great Eastern, Takaful dan AIA akan diikuti
langkah penetrasi yang kuat. Allianz, misalnya, dalam setahun pertama berani mematok
target premi Rp10 miliar dari 3.000 polis.
Depkeu sendiri diketahui tengah menyiapkan cetak biru perasuransian syariah
berisi sejumlah ketentuan yang telah diharmonisasikan dengan praktik standar
internasional. Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan Depkeu juga berkomitmen dalam
upaya melindungi kepentingan nasabah serta memberi ruang gerak dan iklim kompetisi
yang sehat industri asuransi syariah. Sejumlah regulasi pendukung yang disiapkan
Depkeu a.l. permodalan, produk, pengukuran tingkat kesehatan, dan pengembangan
sumber daya manusia.
Dalam pengembangan industri asuransi syariah, Indonesia ternyata mengungguli
Malaysia. Jumlah perusahaan asuransi yang menawarkan layanan syariah di Indonesia
36
hampir mencapai 30, diantaranya 27 telah beroperasi. Indonesia merupakan satu-satunya
negara yang memiliki 3 perusahaan reasuransi syariah, mungkin tahun ini akan menjadi
4.
Bank syariah berpeluang untuk memanfaatkan pertumbuhan asuransi syariah ini
dengan menjalin aliansi strategis. Diantaranya dengan melahirkan produk
bancassurance. Bancassurance diperkirakan bakal menjadi sumber dana yang potensial
bagi perusahaan asuransi (asuransi jiwa) dan perbankan pada masa mendatang. Kansnya
cukup besar. Saat ini penetrasi pasar asuransi di Indonesia baru 2% atau sama dengan
4,2 juta orang dari jumlah penduduk Indonesia yang 212 juta orang. Dari total penduduk
Indonesia tersebut, yang memiliki rekening di bank hanya 18%. Jadi, baru terdapat 38
juta rekening di Indonesia. Sementara, rata-rata pertumbuhan nilai premi baru 23%,
sedangkan pertumbuhan pemegang polis baru 5%. Di sisi lain, nilai deposito yang
mengendap di perbankan mencapai Rp 250 triliun. Dari indikator tersebut, Investment
and Banking Research Agency (INBRA) memprediksi, potensi dana yang bisa
dikumpulkan dari bancassurance bisa mencapai Rp13,6 triliun.
Bancassurance berbeda dengan instrumen investasi lain, seperti deposito.
Produk bancassurance menggabungkan unsur investasi dan proteksi, sehingga nasabah
mendapatkan keuntungan ganda. Karena itu, besar kemungkinan, pada masa mendatang,
pemilik uang akan mencari alternatif investasi, yakni instrumen investasi yang tidak
hanya mampu mengembangkan uang, tapi juga melindungi jiwa mereka. Dan,
bancassurance berpeluang menjadi pilihan kebanyakan nasabah.
Adanya sinergi antara dua industri keuangan--asuransi yang mengeluarkan
produk bancassurance dan bank yang memasarkan produk--tentu akan menguntungkan
kedua belah pihak. Asuransi bisa lebih gencar memasarkan produknya, sehingga
berpeluang meningkatkan pendapatan premi. Sedangkan, perbankan berpeluang
memperbesar fee based income.
6.2.2. Analisis Industri Perbankan Syariah
Merujuk pada analisis Porter, sifat persaingan dalam suatu industri dapat dilihat
sebagai gabungan dari lima kekuatan. Dari deskripsi Porter, untuk perbankan syariah sifat
37
persaingan meliputi:49 (1) Peseteruan di antara perusahaan yang bersaing; (2) Peluang
potensial masuknya pesaing baru; (3) Pengembangan potensial dari produk subtitusi; (4)
Kekuatan tawar dari nasabah deposan; dan (5) Kekuatan tawar dari nasabah pembiayaan.
Utuk analisis ini akan dijelasakan secara lebih rici.
Pertama, kondisi persaingan diantara bank syariah sangat tinggi. Lahirnya
Undang-Undang No. 10 Th 1998, tentang perbankan pada bulan November 1998, telah
memberi peluang yang sangat baik bagi tumbuhnya bank-bank syariah di Indonesia.
Undang-undang tersebut memungkinkan bank beroperasi sepenuhnya secara syariah atau
dengan “dual banking system” yaitu dengan membuka cabang khusus syariah. Selain itu,
DPR juga telah menyetujui penggunaan hak inisiatifnya untuk menyusun RUU
Perbankan Syariah di tengah derasnya desakan berbagai pihak dari kalangan masyarakat
keuangan syariah. Melalui Sidang Paripurna DPR (27/9), dewan menyetujui hal itu untuk
memberikan angin segar bagi perkembangan sektor perbankan syariah. DPR
mengharapkan penyusunan RUU itu dapat berjalan lebih cepat sehingga bisa segera
mungkin pula untuk dijadikan sebagai UU. Setidaknya saat ini sudah ada beberapa versi
draf RUU Perbankan Syariah yang masuk ke dewan atas dasar permintaan dewan sendiri
maupun inisiatif dari kelompok masyarakat. Di antara draft RUU itu adalah konsep Bank
Indonesia, Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Asbisindo yang sudah
berada cukup lama di DPR (Bisnis Indonesia, 28/9/05). Dengan adanya UU tersebut
kalangan perbankan syariah diharapkan bisa bergerak lebih cepat dan membesar untuk
merebut pasar yang lebih besar terhadap sistem perbankan nasional.
Perkembangan industri perbankan syariah dalam tahun 2005 masih ditandai
dengan tingkat ekspansi yang tinggi yang menunjukkan adanya demand terhadap jasa
perbankan syariah yang tinggi yang telah diperkirakan dalam berbagai kajian yang
dilakukan. Perkembangan tersebut didukung pula oleh kondisi moneter dan kebijakan
perbankan yang kondusif. Hal ini tercermin dari pertumbuhan yang signifikan pada
sejumlah indikator seperti jumlah bank dan jaringan kantor, dana pihak ketiga dan
pembiayaan yang diberikan. Secara institusional, 3 BUS, 19 UUS dan 92 BPRS inilah
yang menjadi kompetitor inti dari masing-masing bank syariah.
38
Kedua, Peluang potensial masuknya pesaing baru juga sangat besar. Menurut
peraturan Bank Indonesia No 2/27/PBI/2000 tentang bank umum pasal 4, modal disetor
tunai untuk bank umum baru harus sebesar Rp 3 triliun diluar setoran dalam bentuk lain,
tetapi untuk bank syariah di beri kemudahan menjadi Rp 1 triliun. Ketentuan ini tentunya
memperbesar potensi pemain baru yang akan masuk. Terutama ancaman masuknya bank
asing besar yang masih tetap harus diwaspadai oleh para pemain lokal. Terbukanya
peluang pembukaan UUS juga memudahkan peluang masuknya pesaing-pesaing baru
dari bank konvensional.
Ketiga, berkaitan dengan pengembangan potensial dari produk subtitusi untuk
perbankan juga sangat besar. Apalagi sebagian besar kaum muslimin memiliki
keragaman padangan tentang bunga bank dan cenderung menggunakan perspektif
fungsionalitas dalam memilih bank. Hal ini membuat bank-bank syariah tidak hanya
bersaing dengan sesama bank syariah, tetapi juga bersaing dengan bank konvensional.
Saat ini lembaga-lembaga multifinance juga berpeluang menjadi pesaing, meski juga
sebaliknya dapat menjadi mitra. Selain itu produk reksadana dan reksadana terproteksi
syariah yang dikembangkan Manajer Investasi, serta unit link syariah yang dilahirakn
Asuransi Syariah juga merupakan produk subtitusi yang potensial mengerogoti DPK
dalam bentuk investasi.
Keempat dan kelima, berkaitan dengan kekuatan tawar dari nasabah deposan dan
kekuatan tawar dari nasabah pembiayaan untuk perbankan sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan perbankan merupakan lembaga bisnis yang memiliki karakter hampir sama
semua dengan regulasi yang sangat tinggi. Nasabah deposan dan nasabah pembiayaan
memiliki peluang untuk berpindah secara bebas ditengah banyaknya jumlah bank syariah
serta produk-produk substitusi.
7. Kesimpulan
Dari uraian pada bagian-bagian sebelumnya dapat disimpulkan beberapa
tantangan (challenges) dan peluang (opportunity) bagi pengembangan perbankan Islami
di Indonesia, terutama untuk tahun-tahun terakhir sebagai berikut:
39
1. Kebijakan bunga tinggi yang diambil oleh Bank Indonesia tahun ini diprediksikan
masih akan berlanjut. Hal ini tentu akan mendorong tetap tingginya suku bunga
simpanan di bank umum. Menghadapi hal ini, kalangan perbankan syariah
nasional dihadapkan pada pilihan untuk mengantisipasi kenaikan suku bunga
dengan menaikkan nisbah bagi hasil pembiayaan kepada pihak bank yang
diharapkan akan meningkatnya equivalent rate kepada deposan. Kenaikan suku
bunga merupakan tantangan tersendiri bagi bank syariah. Teori dan pengalaman
menunjukkan perbankan syariah lebih sulit berkembang dalam keadaan bunga
tinggi yang tidak realistis. Untuk merespon hal ini tentunya bank-bank syariah
harus mengantisipasinya dengan strategi yang komprehensif.
2. Dari sisi perkembangan budaya dan teknologi informasi, M-commerce dan
layanan teknologi jasa keuangan diperkirakan akan menjadi primadona dalam
aplikasi nirkabel. Komunikasi nirkabel yang bersifat mobile (bergerak) ini akan
menjadi delivery channel yang sangat penting dalam layanan perbankan di masa
depan, karena banyak memberi kemudahan. Nasabah bisa menggunakan waktu
tidak produktifnya, untuk melakukan transaksi perbankan atau membayar
berbagai tagihan. Nasabah membutuhkan beragam fasilitas untuk memudahkan
nasabah menikmati jasa-jasa layanan bank sesuai selera masing-masing. Bankbank
syariah tentunya harus merespon tantangan perkembangan teknologi ini
dalam starteginya.
3. Perkembangan pada industri yang berkaitan dengan bank syariah cukup pesat, hal
ini ditandai dengan perkembangan pasar modal syariah dan asuransi syariah yang
cukup baik. Bapepam telah berkomitmen dalam lima tahun ke depan akan lebih
intensif mengembangkan pasar modal syariah karena sistem syariah diyakini
memiliki keunggulan dibandingkan pasar modal konvensional. Bapepam telah
menyusun suatu arah kebijakan pengembangan pasar modal syariah dalam lima
tahun ke depan dimana arah kebijakan tersebut dimuat sebagai salah satu sasaran
dalam Master Plan Pasar Modal Indonesia tahun 2005-2009. Perkembangan pasar
modal ini, tentu saja akan memberikan dampak positif bagi bank syariah. Karena
pengembangan perbankan syariah juga membutuhkan kelengkapan dan kokohnya
industri keuangan syariah untuk dapat beraliansi secara strategis. Bank syariah
40
juga berpeluang untuk memanfaatkan pertumbuhan asuransi syariah dengan
menjalin aliansi strategis. Adanya sinergi antara dua industri keuangan -asuransi
yang mengeluarkan produk bancassurance dan bank yang memasarkan produktentu
akan menguntungkan kedua belah pihak. Asuransi bisa lebih gencar
memasarkan produknya, sehingga berpeluang meningkatkan pendapatan premi.
Sedangkan, perbankan berpeluang memperbesar fee based income.
4. Merujuk pada model analisis Porter, sifat persaingan dalam suatu industri dapat
dilihat sebagai gabungan dari lima kekuatan. Dari deskripsi Porter, untuk
perbankan syariah sifat persaingan meliputi: Pertama, kondisi persaingan diantara
bank syariah sangat tinggi. Secara institusional, 3 BUS, 19 UUS dan 92 BPRS
inilah yang menjadi kompetitor inti dari setiap bank syariah. Kedua, Peluang
potensial masuknya pesaing baru juga sangat besar. Menurut peraturan Bank
Indonesia, modal disetor tunai untuk bank umum baru harus sebesar Rp 3 trilyun
diluar setoran dalam bentuk lain, tetapi untuk bank syariah di beri kemudahan
menjadi Rp 1 trilyun. Ketentuan ini tentunya memperbesar potensi pemain baru
yang akan masuk. Terutama ancaman masuknya bank asing besar yang masih
tetap harus diwaspadai oleh para pemain lokal. Terbukanya peluang pembukaan
UUS juga memudahkan peluang masuknya pesaing-pesaing baru dari bank
konvensional, selain adanya peluang menarik dari office chaneling. Ketiga,
berkaitan dengan pengembangan potensial dari produk subtitusi untuk perbankan
juga sangat besar. Saat ini lembaga-lembaga multifinance juga berpeluang
menjadi pesaing, meski juga sebaliknya dapat menjadi mitra. Selain itu produk
reksadana dan reksadana terproteksi syariah yang dikembangkan Manajer
Investasi, serta unit link syariah yang dilahirakn Asuransi Syariah juga merupakan
produk subtitusi yang potensial mengerogoti DPK dalam bentuk investasi.
Keempat dan kelima, berkaitan dengan kekuatan tawar dari nasabah deposan dan
kekuatan tawar dari nasabah pembiayaan untuk perbankan sangat tinggi. Hal ini
dikarenakan perbankan merupakan lembaga bisnis yang memiliki karakter hampir
sama semua dengan regulasi yang sangat tinggi. Nasabah deposan dan nasabah
pembiayaan memiliki peluang untuk berpindah secara bebas ditengah banyaknya
jumlah bank syariah serta produk-produk substitusi.
41
Endnotes
1 Mervin K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, “Perbankan Syariah; Prinsip, Praktik dan Prospek”,
(Edisi terjemah, Jakarta: Serambi, 2003), hal. 15.
2 Muhammad Arif, “Islamic Banking”, dalam Asian-Pacific Economic Literature Vol. 2, No. 2
(September 1988), hal. 48-64.
3 Mervin K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Op., Cit., hal. 24-25.
4 Zamir Iqbal dalam artikelnya yang berjudul “Islamic Financial Institution”, hal. 1. Sumber
publikasi awalnya tidak terlacak oleh penulis.
5 M. Umer Capra & Habib Ahmed, “Corporate Governance in Islamic Financial Institution”,
(Jedah: Ocasional Paper IDB, 2002), hal. 1.
6 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 65.
7 Zamir Iqbal, Op., Cit., hal.1.
8 Ibid., hal. 3.
9 M. Umer Capra, “Sistem Moneter Islam”, (Edisi terjemah, Jakarta: Gema Insani Press & Tazkia
Cendekia, 2000), hal. 2.
10 Ibid., hal. 3.
11 Ibid., hal. 5
12 Lihat Zamir Iqbal, Op., Cit., hal.5. dan M. Umer Chapra, “Pengharaman Bunga Bank;
Rasionalkah?, (Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2002), hal. 1-18.
13 Rasulullah SAW bersabda: “Jika seseorang memberikan pinjaman kepada seseorang lainnya
dia tidak boleh menerima hadiah” (Bukhari di dalam kitabnya Tarikh dan Ibnu Taymiyah di
dalam al-Muntaqa). Di dalam hadits lain Rasulullah SAW bersabda: “Ketika seseorang
memberikan pinjaman kepada orang lain dan peminjam memberikannya makanan atau
tumpangan hewan, dia tidak boleh menerimanya kecuali keduanya terbiasa saling memberikan
pertolongan”. (Sunan al Bayhaqi, Kitab al-Buyu; Bab Kullu qardin jarra manfaataan fa huwa riban).
dalam Chapra, Ibid.
14 Zamir Iqbal, Op., Cit., hal. 9. dan M. Umer Chapra (2002), Ibid.
15 Suharto, dkk., Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syariah, (Jakarta:
Djambatan, 2001), hal. 24.
16 Lihat Zamir Iqbal, Op., Cit., hal. 7.
17 Data-data ini dihimpun dari berbagai sumber dan pernah dipaparkan dalam artikel Abdul
Aziz Setiawan, “Prospek Perbankan Syariah 1426 H”, (Majalah Hidayatullah Edisi
12/XVII/April 2005), hal. 30-31.
18 Ibid.
19 Ibid.
20 M. Umer Capra & Habib Ahmed (2002), Op., Cit., hal. 2.
21 M. Umer Capra, “Pengharaman Bunga Bank; Rasionalkah ?; Analisis Syar’i dan Ekonomi
dibalik Pengharaman Bunga Bank”, (Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2002), hal. 22.
22 Adiwarman Karim, “Pemimpin dari Timur”, Republika, 20/2/2006
42
23 lihat laporan Bank Indonesia, “Laporan Perkembangan Perbankan Syariah”, (Jakarta:
Direktorat Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2004).
24 Lihat juga analisis Ikhwan A. Basri, “Perbankan dan Asuransi Syariah Tahun 2006”, Republika,
19/1/2006
25 Fred R David, “Manajemen Strategis: Konsep”, Edisi Indonesia, Jakara: PT Prenhallindo, 2002..,
hal. 104.
26 Arief Budisusilo, “Mengarungi Tahun Transisi ?”, Bisnis Indonesia, 9 Januari 2006.
27 Miranda S. Goeltom, makalah yang disampaikan pada Seminar Prospek Ekonomi 2006 yang
diselenggarakan Bisnis Indonesia dan Perbanas di Jakarta, 24 November 2005.
28 Sukamdani S. Gitosardjono, ”Menanti Iklim Berusaha yang Nyaman”, Bisnis Indonesia, 9
Januari 2006
29 Lihat Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), 2004.
30 Bisnis Indonesia, 25/7/2005
31 Bisnis Indonesia, 8/9/2005
32 Lihat Adril Hakim, Op., Cit., hal. 53-54. Merujuk tulisan Taufik & Yuswohady, Welcome to the
New Exciting Indonesia, MarkPlus Quarterly Millenium Edition, 2000.
33 Kompas, 25/7/2005
34 Koran Tempo, 7/9/2005
35 Cyrillus I. Kerong, “2006, Politik Lebih Stabil”, Bisnis Indonesia, 9 Januari 2006.
36 Lihat artikel Wawan Wardiana, “Perkembangan Teknologi Informasi di Indoneisa”,
Disampaikan pada Seminar dan Pameran Teknologi Informasi 2002, Fakultas Teknik Universitas
Komputer Indonesia (UNIKOM) Jurusan Teknik Informatika, tanggal 9 Juli 2002. Dipublikaiskan
pada http://www.informatika.lipi. go.id/jurnal /perkembangan-teknologi-informasi-diindonesia.
37 Ibid.
38 Ibid.
39 Ibid.
40 Lihat E-Bizz Asia, “Perkembangan Teknologi Perbankan”, Volume I Nomor 10 - Agustus-
September 2003, http://www.ebizzasia.com/0110-2003/focus,0110,5.htm.
41 TEMPO Interaktif, Kamis, 03 Pebruari 2005.
42 Laporan Bank Indonesia tahun 2005.
43 Badan Pengawas Pasar Modal, “Annual Report 2004”, Jakarata: Bapepam, 2004.
44 Bisnis Indonesia, 3/9/05
45 Lihat Siaran Pers Akhir Tahun BAPEPAM, 29 Desember 2005.
46 Adiwarman Karim, Op., Cit.
47 Lihat UU No. 10/1998 tentang Perbankan pasal 6 huruf m
48 Lihat Bisnis Indonesia, 10/3/2006
49 Lihat Fred R David, Op., Cit., hal. 128-131.
Related Posts by Categories
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Comments (0)
Post a Comment