Kenaikan Harga Minyak bagaikan Pisau

Saat ini harga minyak di pasar dunia mencapai tingkat 60 dolar AS perbarel. Harga ini cukup menggoncang, bahkan juga Indonesia yang tergabung sebagai negara pengekspor minyak. Mungkin, kita belum sampai pada tahap krisis minyak, tetapi kelangkaan energi yang terjadi belakangan ini sudah cukup memberi tekanan yang berat bagi perekonomian. Kurs Rupiah sudah menurun ke tingkat Rp 9.655 per dolar AS. Adakah kaitan kenaikan harga minyak tersebut dengan penurunan kurs Rupiah.


Bagi Indonesia jawabannya pasti; ya. Apalagi sebelum "krisis BBM" ini terjadi, Pertamina sudah melansir berita bahwa hal ini terjadi karena dana untuk impor belum cair. Artinya, seolah-olah Pertamina tidak ada duit.


Dan kalau ini terjadi, berarti akan ada krisis energi di dalam negeri. Inilah kiranya yang bisa memancing spekulasi lebih jauh berkaitan dengan distribusi BBM di dalam negeri, dan akhirnya kelangkaan energi.


Kenaikan harga minyak dunia memang bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia akan menyebabkan kenaikan kebutuhan devisa khususnya dolar AS, karena kebutuhan impor yang tidak bisa dihindarkan; apalagi dengan konsumsi BBM yang meningkat. Disisi lain, kebutuhan dolar yang semakin banyak akan mendorong apresiasi dolar AS semakin kencang.


Situasi demikian sudah terjadi saat ini. Dalam perekonomian Indonesia, perubahan kurs tersebut akan menjalar kearah perubahan indicator makro dan perekonomian yang lain; yang tentunya bisa berdampak kurang menguntungkan bagi perekonomian.


Pisau bermata dua tersebut akan bermuara pada tikaman inflasi dari dua sisi. Sisi pertama, inflasi bisa didorong oleh kenaikan kurs rupiah, sisi kedua kelangkaan BBM akan dapat memancing inflasi melalui sisi penawaran yang akan memicu kenaikan harga-harga. Sementara, kenaikan kurs, bisa mengakselerasi berbagai perubahan variabel di pasar uang.


Tingkat Bunga


Hasil analisis kausalitas dengan menggunakan model ekonometri, menunjukkan bahwa depresiasi atau apresiasi USD akan mendorong kenaikan suku bunga SBI. Dengan demikian, kenaikan suku bunga SBI hinga level 8,18 % pada 22 Juni yang lalu dapat dilihat sebagai antisipasi atas menurunnya nilai tukar Rupiah atau apresiasi USD, walaupun pengaruh apresiasi USD tersebut tidak cukup besar, yakni 6 % dan tidak signifikan. Dari sisi rupiah pengaruh penurunan Rupiah adalah sebesar perubahan nilai tukar itu sendiri. Yang tentunya penting untuk kita perhatikan adalah bahwa pengaruh tersebut mempunyai transmisi yang lebih panjang lagi, baik pengaruhnya di pasar uang maupun di pasar barang.


Di pasar uang, kenaikan suku bunga SBI tersebut akan dapat mendorong kenaikan suku bunga simpanan maupun pinjaman. Dengan analisis yang sama, perubahan suku bunga SBI tersebut secara timbale balik akan menyebabkan perubahan suku bunga pasar uang antar ban (PUB). Jadi ada pengaruh timbale balik antara suku bunga SBI dengan suku bunga pasar uang, yang besarnya rata-rata sebesar 93 % sampai 98 %. Jadi kenaikan suku bunga SBI sebesar 12 basis poin tersebut, atau sebesar 1,25 % dari tingkat bunga sebelumnya akan mendorong kenaikan suku bunga PUAB sebesar 1,21 % dari suku bunga PUAB saat ini, menjadi sekitar 6,58 dari tingkat bunga bulan April.


SBI juga akan mendorong naiknya suku bunga deposito satu bulan. Hasil uji ekonometrik memperkirakan kenaikan suku bunga deposito satu bulan tersebut akan hampir sama dengan kenaikan suku bunga SBI. Pengaruh kenaikan SBI ini sangat kuat terhadap kenaikan suku bunga deposito.


Sementara terhadap suku bunga pinjaman, kenaikan SBI ini juga akan mempengaruhi suku bunga investasi dan suku bunga modal kerja secara signifikan pula. Apabila posisi suku bunga investasi pada bulan April 13,74 persen, kenaikan suku bunga investasi akan mencapai level 13,78 % dan suku bunga modal kerja akan meningkat menjadi sekitar 13,37 % dari posisi bulan April 13,31 %.


Inflasi dan Sektor Riil


Dengan analisis kausalitas juga dapat ditunjukkan bahwa apresiasi dolar AS atau perubahan nilai tukar rupiah akan menyebabkan terjadinya inflasi di Indonesia. Sementara dengan menggunakan analisis Vector Auto Regressive (VAR) menunjukkan bahwa perubahan kurs rupiah terhadap dolar AS akan berkorelasi dengan perubahan inflasi dan pengaruhnya akan terjadi pada bulan berikutnya sesudah terjadi perubahan nilai tukar rupiah. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa penurunan nilai tukar rupiah ini akan mendorong terjadinya inflasi pada bulan Juli yang akan datang.


Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kenaikan suku bunga dan kelangkaan minyak ini akan berpengaruh terhadap sektor riil? Bahwa suku bunga diperkirakan akan meningkat kiranya sangat mungkin. Bagi dunia perbankan, kalau mereka memperkirakan inflasi akan naik, dipastikan industri perbankan akan menaikan juga suku bunga pinjaman mereka.


Hasil analisis kausalitas menunjukkan bahwa suku bunga cenderung mengantisipasi ek- pektasi inflasi dengan menaikkan suku bunga terlebih dulu. Untuk kredit investasi dan konsumsi tampaknya belumakan terpengaruh oleh kenaikan suku bunga tersebut, dengan catatan bahwa gejolak harga minyak dan pasar valas tidak berkelanjutan. Tetapi apabila gejolak valas dan harga minyak ini berkelanjutan bukan tidak mungkin keadaan ini akan berpengaruh signifikan.


Oleh karena itu, beberapa tindakan antisipatif memang diperlukan. Pada jalur kebijakan moneter, kenaikan suku bunga SBI saat ini merupakan alternative jangka pendek yang bisa dilakukan, sekaligus BI harus selalu memantau kecenderungan perubahan harga.


Tetapi karena kecenderungan perubahan harga ini bukan hanya bersumber dari sektor moneter, maka perlu perhatian disektor penawaran khususnya sisi distribusi barang. Khusus mengenai BBM ini, karena dapat menjadi pemicu inflasi yang berkepanjangan, pemerintah dengan kekuatan monopolinya, tentunya dapat melakukan campurtangan dengan tujuan melakukan "market clearing" pada komoditas BBM ini. (59)


- Penulis adalah Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi (LSKE) dan Staf Pengajar MIESP FE Undip


Related Posts by Categories



Comments (0)