Liberalisasi dan Keterbatasan Negara

Sejarah pemerintahan modern sampai dengan dekade 1970an diwarnai dengan persaingan yang sangat ketat antara sosialisme dengan liberalisme. Sosialisme menempatkan institusi negara sebagai aktor dominan dalam pengelolaan kepentingan masyarakat dengan menekankan pada mekanisme otoritatif. Sementara itu liberalisme tidak mengharapkan negara yang dominan, walaupun tetap membutuhkan negara kuat, dan oleh karenanya mendorong peran pasar yang dominan. Peta pertarungan ini bukan saja mewarnai peta politik global di era perang dingin yang mempertentangkan Barat dan Timur, tetapi juga pertarungan ideologi kebijakan di internal masing‐masing negara.



Dekade 1980an dan 1990an menjadi saksi kemorosotan peran negara yang akut yang terjadi di hampir seluruh belahan bumi (Pierre dan Peters, 2000: 4). Di negara‐negara Eropa, terutama di Inggris, kemenangan kelompok kanan baru (new rights) yang sangat liberal membawa implikasi pada serangkaian besar perubahan struktur ekonomi politik domestik. Perubahan‐perubahan besar yang dilakukan merupakan respon terhadap beratnya beban fiskal yang ditanggung oleh pemerintah untuk membiayai kepentingan publik. Padahal, pada sisi yang lain upaya untuk meningkatkan pendapatan publik, terutama melalui pajak, hampir tidak mungkin lagi dilakukan. Sementara itu bisnis‐bisnis yang dikelola pemerintah semakin merosot efisiensi dan daya saingnya. Untuk pertama kalinya, di bawah Perdana Menteri “sang tangan besi” Margareth Thatcher, di Inggris dijalankan gelombang privatisasi dan pemotongan anggaran publik secara besarbesaran. Orientasinya adalah untuk menarik kembali dan mengurangi intervensi pemerintah di ranah publik dan untuk memajukan pasar bebas (Wibowo dan Wahono, 2003).

Apa yang dilakukan Thatcher di Inggris juga kemudian dikembangkan di Amerika Serikat di bawah pemerintahan Ronald Reagan. Periode panjang keterlibatan negara dalam urusan‐urusan domestik yang dimulai sejak zaman New Deal‐nya Roosevelt telah berakhir, dan segera digantikan dengan babak pemerintahan baru ”New Federalism”. Pada periode pemerintahan Reagan ini liberalisasi gencar sekali dilancarkan, terutama melalui deregulasi ekonomi, meskipun sebenarnya upaya ke arah ini sudah dirintis sejak tahun 1970an.

Deregulasi ekonomi ini menjadi alat utama dalam liberalisasi di Amerika Serikat, sementara privatisasi menjadi cara dominan dalam proyek liberalisasi di Inggris. Hal ini karena kepemilikan publik di Amerika tidak seluas di Inggris (Hertz, 2003). Pratikno (2007), ’Governance dan Krisis Teori Organisasi’ Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, November 2007, Vol. 12, No. 2, Yogyakarta: MAP UGM.

Namun demikian, ada benang merah yang menghubungkan antar keduanya. Baik Thatcher maupun Reagan percaya bahwa negara berperan sebatas regulator saja dan negara harus menjamin bahwa pasar terbuka bisa berjalan.

Keduanya juga percaya terhadap prinsip trickle down effect (efek merembes ke bawah), bahwa kemakmuran individu melalui pasar bebas bisa mendorong kemakmuran bangsanya. Dalam waktu yang relatif singkat, setelah keberhasilan dua negara itu “menyelamatkan” negara dari petaka kebangkrutan ekonomi, ideide kanan baru itu menjadi demikian meluas (Priyono, 2003).

Di negara‐negara Skandinavia yang sejak pasca Perang Dunia II mengadopsi sistem negara kesejahteraan (welfare‐state) dan full employment juga mengalami ketidakstabilan. Dalam sistem negara kesejahteraan ini, fungsi utama negara adalah untuk meredistribusi kekayaan dan sumberdaya, terutama melalui diversifikasi sistem pajak dan pemberian berbagai macam tunjangan publik.

Kapasitas pemerintah untuk menyediakan belanja publik yang terus membesar tidak diimbangi dengan kemampuan untuk memungut pajak yang lebih besar. Karena struktur demografi yang dipenuhi oleh golongan tua yang menyerap banyak anggaran untuk belanja tunjangan, krisis fiskal melanda negara‐negara ini. Sementara itu kapasitas pemerintah untuk menjamin full employment juga semakin kesulitan karena kondisi pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan melemahnya investasi. Kegelisahan publik atas instabilitas sistem ini bisa dilihat dari bertaburnya publikasi‐publikasi dengan tema “akhir” atau “masa depan” sistem negara kesejahteraan yang demikian semarak sejak awal tahun 1980an (Kickert, Klijn dan Koppenjan, 1999).

Monumen paling dramatis bagi keruntuhan dominasi negara dalam struktur ekonomi dan masalah‐masalah publik di dekade 1980an adalah ambruknya sistem komunisme Uni Soviet yang tidak diduga‐duga. Sejak Perang Dunia II, Uni Soviet berkembang menjadi negara yang paling maju setelah Amerika Serikat. Perkembangan politik internasional pada masa itu ditandai dengan pertentangan dua kutub kekuasaan yang banyak sekali menyedot perhatian para praktisi dan peneliti hubungan internasional. Kehancuran rejim komunis di Uni Soviet ini berimplikasi pada berakhirnya sistem sentralitas negara sebagai salah satu model pembangunan di dunia (Fukuyama, 1992; 2004).

Di kawasan yang lain, kekuatan negara yang sempat membawa pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara‐negara Asia pada tahun 1980an dan awal 1990an ternyata tidak bertahan lama. Gelombang krisis yang menyapu negara‐negara Asia pada pertengahan 1997 memporak‐porandakan struktur ekonomi politiknya. Negara model ini bukan hanya ambruk diterpa badai krisis finansial, tetapi juga mengalami krisis legitimasi yang berkepanjangan dan multidimensional seperti yang dengan jelas sekali ditunjukkan dalam kasus Indonesia. Di Indonesia, gejala penolakan terhadap negara bukan hanya muncul di ranah ekonomi yang selama ini tidak berkembang karena adanya monopoli dan kapitalisme kroni yang dibangun selama Orde Baru. Namun juga, gerakan penolakan terhadap negara ini juga seiring dengan kebangkitan gerakan sosial (civil society) yang selama Orde Baru dikebiri. Dalam konteks yang demikian, peran dan intervensi pemerintah bukan hanya telah mengalami keterbatasan, tetapi dalam beberapa kasus dinilai menjadi sumber persoalan (Hadiz, 2005). Dalam kasus Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya, krisis ekonomi yang terjadi dimaknai sebagai ketidakberdayaan dan kegagalan negara. Sementara itu krisis politik yang berkelanjutan merupakan bentuk perlawanan terhadap dominasi negara yang terjadi pada masa sebelumnya. Fenomena memuluskan proses liberalisasi ekonomi dan politik yang terjadi di Indonesia dan beberapa negara Asia lainnya. Pratikno (2007), ’Governance dan Krisis Teori Organisasi’ Jurnal Administrasi Kebijakan Publik, November 2007, Vol. 12, No. 2, Yogyakarta: MAP UGM.

Related Posts by Categories



Comments (0)