Oleh: Listianto
Banyak orang yang bertanya-tanya, apakah Indonesia akan mengalami krisis lagi. Ah, mudah-mudahan tidak terjadi krisis lagi di Indonesia. Mengapa? Karena, walaupun sumber (potensi) penyebab depresi ekonomi atau resesi ekonomi saat ini mulai muncul (nongol), tetapi belum beraksi. Pemicu depresi ekonomi masih berupa potential, belum terealisasi. Ada dua kategori pemicu potensial depresi ekonomi, yaitu, satu pemicu moneter. dan, dua, mandegnya permintaan yang mengakibatkan mandegnya produksi. Tetapi pada kesempatan ini saya hanya akan mengajak pembaca membahas pemicu moneter saja. Dari data-data makro ekonomi yang kita amati, kedua-dua pemicu tersebut sudah nongol tetapi belum berdampak, karena belum beraksi. Sekaligus saya mengemukakan apa yang saya maksud dengan krisis. Yang saya maksud dengan istilah krisis adalah resesi ekonomi dan depresi ekonomi. Resesi ekonomi adalah kemunduran ekonomi dalam tingkat ringan, dan depresi ekonomi adalah kemunduran ekonomi dalam tingkat lebih berat. Kemunduran ekonomi yang kita alami pada tahun 1997 adalah suatu depresi ekonomi, ditengarai oleh inflasi 80% dan PDB turun 16%.
Pemicu krisi moneter
Keadaan moneter apa yang berpotensi memicu depresi ekonomi kita saat ini? Keadaan moneter yang berpotensi memicu depresi ekonomi kita saat ini adalah tingginya arus modal portofolio dari luar negeri yang masuk ke perekonomian Indonesia. Menurut Bank Indonesia, arus modal masuk dari luar negeri dalam bentuk kepemilikan SUN mencapai US$6,1 miliar, dalam SBI mencapai US$ 2 miliar, dan dalam saham mencapai US$1,9 miliar (sampai akhir 2006). Kalau arus modal jangka pendek ini ditarik keluar secara mendadak, maka permintaan akan mata uang asing akan melonjak, dan nilai tukar rupiah terhadap US$ di Indonesia akan naik. Kenaikan nilai tukar rupiah terhadap US$ akan memicu inflasi di dalam negeri, karena kandungan impor dari barang industri dan jasa kita sangatlah besar. Industri yang tidak punya cukup dana untuk mengimpor barang modal, bahan baku, dan jasa, akan terpaksa tutup, dan merumahkan karyawannya. Karena perusahaan yang tutup mempunyai kewajiban memberikan pesangon kepada karyawan terkena pemutusan hubungan kerja yang sangat memberatkan, maka aset usahanya terpaksa harus dijual. Dan dalam kenyataannya sangat sulit menjual aset perusahaan yang sudah tidak beroperasi. Akhirnya para karyawan akan berdemonstrasi dan memicu keresahan sosial. Itulah skenario yang pesimistis. Namun kita perlu bertanya, apakah pemilik modal akan terdorong untuk menarik pulang modalnya pada kondisi perekonomian kita saat ini? Saya rasa belum! Mengapa? Karena tingkat bunga SBI dan bunga obligasi pemerintah Indonesia sekarang ini masih di atas tingkat bunga di negeri tetangga. Walaupun inflasi kita saat ini juga lebih tinggi daripada rata-rata inflasi di negeri tetangga, tetapi tingkat bunga kita juga masih lebih tinggi sehingga pemilik modal masih memperoleh hasil (yield) yang lebih menarik bila menanamkan modal di Indonesia dibanding dengan menanamkan modal portofolio di luar negeri. Hanya saja kita perlu terus waspada karena tingkat bunga di negeri kita cenderung terus turun. Sedangkan di pihak lain tingkat inflasi Indonesia masih sulit dipertahankan pada tingkat 6%, karena subsidi BBM bakal dikurangi, tarif listrik bakal naik, harga beras, minyak goreng terus merangkak naik, pemerintah ikut menaikkan harga dengan pajak tidak langsung (PPN, pajak barang mewah), daerah-daerah banyak yang membuat Perda yang membuat biaya usaha selalu meningkat, dll. Jadi inflasi diperkirakan tetap pada tingkat yang lebih tinggi dibanding negara tetangga. Bila tingkat bunga SBI turun hingga mendekati tingkat inflasi, maka pemilik modal dari luar negeri untuk portofolio akan merasa kurang beruntung untuk menanamkan modalnya di pasar modal di Indonesia. Pada saat itu mereka akan mulai menarik modalnya pulang kembali kenegaranya. Menurut seorang pengamat, nilai keuntungan atas obligasi negara kita sudah turun ke angka 8,7% di tahun 2007 ini, lebih rendah daripada tahun-tahun terdahulu. Disamping itu, menurut pengamatan Bank Indonesia, permintaan dan penawaran mata uang asing di Indonesia baru mengalami kelebihan penawaran akhir 2005 ke akhir 2006. Biasanya, selalu terjadi kelebihan permintaan (Laporan BI grafik 4.13, 2006). Lantas, kapan terjadi depresi ekonomi yang dipicu oleh keadaan moneter? Krisis akan terjadi pada saat pemilik modal dari luar negeri menarik modal jangka pendeknya pulang kembali. Kapan mereka menarik kembali? Pada saat tingkat bunga sudah sama dengan tingkat inflasi, yaitu 6%. Kapan tingkat bunga menjadi 6%? Kalau, andaikata, setiap tahun BI menurunkan 0,5%, maka 7 tahun lagi tingkat bunga akan mencapai 6%, dari sekarang 9,5%. Kapan inflasi naik? Inflasi naik saat subsidi minyak tanah, subsidi PLN dikurangi drastis, serta NJOP untuk PBB, dan retribusi daerah terus naik. Kapan subsidi minyak tanah dikurangi? Subsidi minyak tanah dikurangi saat kompor gas selesai dibagi-bagi tahun 2007 ini juga. Kapan subsidi Listrik dan BBM lain dikurangi? Saya ramalkan subsidi BBM dan listrik akan dikurangi setelah Pilpres 2009. Atas dasar data dan kondisi ekonomi dan politik yang bakal terjadi, maka, prakiraan saya, Tingkat Disconto SBI 90 hari cenderung turun, inflasi cenderung naik. Pada satu saat kurva inflasi akan berpotongan dengan kurva Tingkat Disconto SBI 90 hari. Nah, kalau tidak ada kebijakan yang mengarah, maka pada saat itulah krisis akan terjadi. Jadi, prakiraan saya, kalau BI tidak sengaja menaikkan Tingkat Disconto SBI pada saat subsidi minyak tanah dihapus, dan subsidi BBM dikurangi, dan subsidi PLN juga dihapus, maka kurva inflasi akan berpotongan dengan kurva Tingkat Disconto SBI, seperti tampak pada grafik dibawah.
Pada grafik tersebut saya prakiraankan bahwa tingkat inflasi akan terus turun sampai tahun 2008. Tetapi mulai tahun 2009, pada saat kondisi perpolitikan Indonesia dilanda demam Pemilihan Umum, inflasi akan sedikit naik. Pada tahun 2010, setelah presiden baru dilantik, inflasi akan melonjak naik, karena subsidi BBM, listrik, dan minyak tanah mulai dihapus. Di pihak lain, BI bisa saja terus berusaha menurunkan Tingkat Disconto SBI 90 hari sampai ketingkat 7,50%. Mengapa BI bertindak demikian? Karena BI ingin agar Tingkat Disconto SBI 90 hari mendekati tingkat bunga Libor Euro, yang berada pada tingkat 4.30%, seperti digambarkan pada grafik di atas. Tentu saja ini hanya prakiraan berdasarkan trend grafik di atas. Bila BI menyadari bahwa penurunan Tingkat Disconto SBI-90 hari memicu depresi ekonomi, maka mungkin BI akan mempertahankan pada tingkat yang tinggi, paling tidak sama dengan tingkat inflasi. Kalau keadaan lain tetap, maka krisis dapat terjadi pada saat garis inflasi memotong garis Tingkat Disconto SBI 90 hari. Saya tidak berharap krisis itu terjadi. Krisis dapat tidak terjadi bilamana (1) faktor non-moneter dapat mencegah timbulnya krisis, (2) pengambil kebijakan moneter mengambil kebijakan mencegah krisis sebelum krisis terjadi, dan (3) keadaan sosial-politik dan budaya tidak memicu krisis. Wallahualam.
Comments (0)
Post a Comment