Upaya Pemulung Terhadap Etos Kerja dan Pengamalan Agama dalam Meningkatkan Kualitas Hidup di Kelurahan Jurang Mangu Barat Pondok Aren, Tanggerang

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia di tandai dengan menurunnya nilai tukar rupiah, berkurangnya pendapatan dalam negeri, turunnya minat investasi, pengangguran yang besar akibat pekerja yang di PHK dan angkatan kerja baru yang tidak mampu terserap, lonjakan jumlah penduduk miskin mencapai 79, 14 juta jiwa dan secara makro pembangunan merosot dengan laju pertumbuhan 13. 68 % dan laju inflasi 77, 68 %[1]

Menurut Soerjono Sukanto, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang dengan pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan keseluruh dunia dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial.[2]

Sedangkan menurut Emil Salim, yang dikutip Harwantiyoko dan Neltje F. Katuuk, menyatakan: kemiskinan lazim dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi kehidupan hidup yang pokok. Dikatakan berada di bawah garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh dan lain sebaginya.[3]

Masalah-masalah sosial di atas semakin tidak memberikan ketenangan pada sebagian masyarakat menyebabkan terjadinya kesenjangan yang semakin lebar antara si kaya dengan si miskin atau orang yang berkuasa atas jabatan, harta benda, dan kekuasaan dengan bawahan yang harus patuh dengan tuannya karena tidak berdaya.

Soerjono Sukanto menyatakan kemiskinan terjadi karena tidak adanya pembagian kekayaan yang merata. Hal ini bisa dilihat di kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta, seseorang dianggap miskin karena tidak memiliki radio, televisi atau mobil. Kecenderungan yang semakin tidak merata tersebut dalam pendistribusian pendapatan, akan semakin luas pula terjadinya kemiskinan dan kesenjangan sosial, sehingga lama kelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya.[4]

Ketimpangan-ketimpangan di atas menjadi salah satu pemicu bagaimana ketidakmampuan suatu negara untuk mensejahterakan masyarakatnya, hanya saja kemiskinan yang ada saat ini bisa dikatakan kemiskinan yang alamiah dimana kemiskinan oleh karena etos kerja yang rendah atau bisa juga kemiskinan yang dikarenakan adanya tekanan dari penguasa menurut Saiful Arif, bahwa setidaknya ada perbedaan yang terkait dengan pengertian kemiskinan yaitu kemiskinan kultural, yaitu sebagai akibat dari adanya karakter budaya masyarakat dan etos kerja yang lemah dan kemiskinan struktural, yaitu karena adanya struktur dan kebijakan pemerintah yang timpang, sebagai akibat dari telah terjadinya ketidakadilan dalam kehidupan masyarakat .[5]

Indonesia memiliki keanekaragaman suku, agama, ras dan antar golongan (SARA). Bangsa yang besar ini seharusnya memiliki tingkat yang tinggi dalam membina dan meningkatkan kualitas manusia unggul, tetapi kenyataan lain dengan apa yang diharapkan. Kemiskinan ternyata lekat dengan bangsa ini, sedangkan Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei menyatakan kemiskinan yang ada di Indonesia adalah kebanyakan kemiskinan intelektual maupun material, yang dimana ketidaksiapan ini bisa diketahui tingkat daya saing yang dimiliki bangsa Indonesia di banding bangsa-bangsa lain di dunia, salah satu ketidaksiapan itu adalah menghadapi AFTA tahun 2003 yang lalu.[6]

Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa ketidaksiapan tadi disebabkan oleh kualitas sumber daya manusia (SDM) yang masih jauh dari kualitas untuk beradaptasi dengan tuntutan zaman globalisasi, dengan ciri utama persaingan dan pasar bebas. Ketidaksiapan itu akan berujung pada kegagalan dalam persaingan di atas yang akan menjatuhkan umat kepada kemiskinan intelektual atau tidak mau menyiasati kemajuan sainstifik dan perkembangan tehnologi, kemiskinan sosial yang semakin teralienasi, terpinggirkan dan tidak kritis, kemiskinan moral semakin hedonistic dan meninggalkan basis-basis tradisional terutama agama, kemiskinan metodologis selalu terlambat dalam belajar dan mengakses informasi di abad yang serba cepat dan akhirnya kemiskinan ekonomis serba tidak kebagian peluang.[7]

Pada sisi lain secara faktual, dalam konteks Indonesia, umat Islam sebagai mayoritas bangsa ini masih jauh dari keunggulan bila dibandingkan dengan sesama umat maupun sesama saudara kemanusiaan di negara-negara lain. Realitas ini menuntut bangsa ini untuk segera membenahi disegala bidang kehidupan, salah satunya adalah etos kerja yang tinggi, sistematis dan berkelanjutan sehingga mengurangi dampak kemiskinan pada saat ini.

Islam adalah agama yang menjunjung tinggi etos kerja sebagaimana ditegaskan Allah SWT dalam surat at-Taubah ayat 105 :

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ.

Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" [8]

Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance)[9].

Sebagaimana Firman Allah SWT :

وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ.

Artinya:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

(Q.S. Al-Qashash: 77)[10]

Etos kerja bangsa kita dikatakan masih jauh dari apa yang ada dibandingkan dengan etos kerja atau tingkat daya saing yang dimiliki bangsa-bangsa lain, hal ini diperkuat oleh peryataan Jalaluddin Rakhmat, yaitu : “dari tahun ke tahun daya saing bangsa Indonesia terus merosot. Tahun 1994, Indonesia menduduki rangking ke-31 dari 41 negara.[11] Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang bekerja dengan segala usaha, tengok saja keseharian para pedagang kaki lima ataupun para pemulung yang bekerja mulai pagi hari yaitu terbit matahari sampai terbenam matahari di ufuk timur hanya untuk sesuap nasi atau mengisi perut mereka pada hari itu, tetapi kadang kala mereka harus menerima kenyataan dimana kadang-kadang mereka harus berpuasa untuk menutupi kebutuhan mereka.

Sebagaimana temuan peneliti yang dikemukakan oleh T.O.Ihromi, S. Suryochondro dan Soetyani bukunya yang berjudul “Kisah Kehidupan Wanita Untuk Mempertahankan Kelestarian Ekonomi RT; Kajian Terhadap Wanita Golongan Rendah dan Menengah” tentang keseharian seorang pemulung yang mana salah seorang respondennya Ibu Jemina yang menjanda satu anak, ia adalah salah seorang pemungut barang bekas, yang setiap harinya harus bangun jam 04.00 subuh, pagi hari menjadi kebiasaan rutin dengan mencuci piring kemudian mengambil air wudhu untuk sholat subuh dan jam 05.00 keluar rumah sampai 09.00 pagi (mencari dan mengumpulkan barang-barang yang dapat di jual dan di daur ulang), kira-kira jam 09.00 itu sampai di rumah ia memasak untuk diri dan anaknya. Jam 10.00 sampai 13.00 siang ia keluar rumah untuk mencari barang yang kedua kalinya setelah sampai rumah kembali ia sholat zuhur dan istirahat selama kurang lebih dua jam. Jam 15.00 sampai 17.00 ia membongkar barang-barang bekas yang di dapat pada hari itu untuk diatur dan dikumpulkan dirumah. Begitulah kehidupannya setiap harinya.[12]

Dari pemaparan diatas menggambarkan semangat kerja yang tinggi dan pada sisi yang lain mereka tak lepas mengamalkan nilai-nilai ajaran agama yang mereka yakini kebenarannya dengan sedikit berbekal pengetahuan agama yang dimilikinya itu.

Kedua hal diatas tentu akan menimbulkan sebuah pertanyaan yang cukup menggelitik bagi sebagian kita, mengapa mereka yang berjuang penuh etos kerja dan mengamalkan ajaran agama? tetapi tidak sedikit orang atau masyarakat yang tidak miliki perubahan (dari yang tidak punya menjadi punya atau dari miskin menjadi kaya) atau dalam hal peningkatan kualitas hidup (mengangkat derajatnya atau taraf kehidupannya), khususnya pada sektor ekonomi. Sehingga tujuan yang paling mendasar adalah bagaimana solusi yang harus ditempuh agar mereka bisa mendapatkan perubahan kearah yang lebih baik lagi, sebagaimana yang dicita-citakan bangsa Indonesia seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 45 pada alinea ke empat. atau setidak-tidaknya saat ini dapat menurunkan tingkat atau jumlah kemiskinan.

Menurut Agus Effendi, setidaknya ada tiga kompleks pemberdayaan yang mendesak untuk diperjuangkan dalam konteks keumatan masa kini, yakni pemberdayaan dalam tataran ruhani, intelektual dan ekonomi.[13] Pertama pada matra ruhaniah, degradasi moral atau pergeseran nilai masyarakat Islam saat ini sangat mengguncang kesadaran Islam, lebih lanjut dikatakan bahwa gagalnya pendidikan agama di hampir semua lini pendidikan.[14] Untuk keluar dari belitan persoalan ini, masyarakat Islam harus berjuang keras untuk melahirkan desain besar kurikulum pendidikan untuk setiap wilayah pendidikan, yang berorientasi pada pemberdayaan total ruhaniyah Islam, yang bertentang dengan perjuangan kebenaran ilmiah dan kemodernan. Kedua pemberdayaan intelektual, tertinggalnya kemajuan dan penguasaan tehnologi untuk itu diperlukan berbagai upaya pemberdayaan intelektual sebagai sebuah perjuangan besar atau jihad. Ketiga sebagaimana dikemukakan pada bab awal kajian, masalah kemiskinan menjadi identik dengan masyarakat Islam di Indonesia, lebih lanjut Agus Effendi menyatakan situasi ekonomi masyarakat Islam Indonesia bukan untuk diratapi, melainkan untuk dicari pemecahannya.[15]

Berdasarkan pemikiran tersebut diatas peneliti merasa tertarik untuk meneliti bagaimana etos kerja dan pengamalan agama dalam kehidupan para pemulung, mengingat pentingnya melakukan penelitian dari lapangan yang pada kali ini mengambil tempat di kawasan kelurahan Jurang Mangu Barat Pondok Aren Tangerang. Melalui penelitian ini hendak melihat apakah ketaatan beragama mempunyai pengaruh terhadap etos kerja para pemulung. Berdasarkan pemikiran di tersebut, maka peneliti mengajukan judul skripsi “Upaya Pemulung Terhadap Etos Kerja dan Pengamalan Agama dalam Meningkatkan Kualitas Hidup di Kelurahan Jurang Mangu Barat Pondok Aren, Tanggerang.”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Peneliti dalam hal ini akan membatasi mengenai pengamalan agama pemulung yang mereka pahami dengan sangat sederhana tanpa belajar secara mendalam, yang bagi mereka bisa melaksanakan sholat yang wajib, mengerjakan puasa di bulan ramadhan dan membayar zakat merupakan suatu kewajiban yang di perintah oleh agama. Serta etos kerja pemulung yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang mereka rela untuk meninggalkan rumah mereka dengan membagi dua waktu, yaitu waktu pagi-pagi sekali atau jam tiga malam di kala masyarakat masih nyenyak tertidur sampai waktu terbit matahari dan waktu pagi kira-kira jam delapan sampai waktu asar.

Dengan adanya pengetahuan agama dan etos kerja yang mereka lakukan saat ini memungkinkan mereka termotivasi sehingga pengembangan daya yang ada dalam diri mereka merupakan suatu kemandirian untuk dapat bekerja dan memiliki penghasilan yang mencukupi kebutuhan kehidupan keluarga. Peneliti ini dilakukan di Pondok Aren Tangerang, adapun rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut:

  1. Bagaimana pengamalan agama dalam kehidupannya sehari-hari ?
  2. Bagaimana cara kerja pemulung dalam kehidupannya kesehariannya ?

C. Tujuan Penelitian

  1. Untuk mengetahui pengamalan agama yang mereka pahami di dalam kehidupan sehari-hari.
  2. Untuk mengetahui cara kerja pemulung di dalam kehidupan kesehariannya.

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan keilmuan dan pengetahuan, baik bagi pembaca atau terutama bagi para praktisi pengembangan masyarakat, yang berkaitan dengan pelaksanaan program pengembangan masyarakat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat miskin.

2. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan bahan masukan bagi pemerintah, berbagai universitas yang membidangi ilmu sosial dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang tertarik serta berkompeten di bidang ini dalam memperbaiki nasib mereka ke depan serta untuk pengambilan keputusan dan merancang program-program atau kegiatan dengan tepat, efesien dan efektif hingga perbaikan kehidupan mereka dirasakan semakin membaik.

3. Dan sebagai bahan masukan masyarakat bahwa para pemulung adalah bagian dari mereka, sehingga masyarakat ikut aktif berperan dalam membantu dan memperbaiki perekonomian para pemulung tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Agar sistematis peneliti skripsi ini, penulis membaginya dalam beberapa sub-sub, diantaranya:

BAB I : Pendahuluan yang meliputi: Latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB II : Dalam bab ini dijelaskan tentang tinjauan teoritis mengenai makna dari Etos kerja yang meliputi: pengertian Etos Kerja Fungsi dan tujuan etos kerja, dan etos kerja yang berisi pengertian Etos kerja Islami.

BAB III : Dalam bab ini akan dijelaskan tentang metode penelitian, yang mencangkup ; lokasi penelitian, model dan desain penelitian, populasi dan sample, tehnik pengambilan data, focus penelitian, definisi operasional, indicator dan analisis data..

BAB IV : Dalam bab ini menjelaskan temuan dan hasil penelitian, dengan penguraiannya tentang: gambaran umum para pemulung di kawasan Pondok Aren Tangerang, kegiatan yang dilakukan para pemulung setiap harinya dan analisis terhadap hubungan tingkat ketaatan beribadah dengan etos kerja pemulung

Bab V : Penutup yang terdiri atas kesimpulan dan saran-saran terhadap pembahasan bab-bab sebelumnya.



[1] Bambang Irmawan, Pemberdayaan Masyarakat yang berkesinambungan. (Jakarta Diktat Pelatihan, Yayasan Bina Swadaya 2001) h. 1

[2] Soerjono sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-35, h.365

[3] Harwantiyoko dan Neltje F.Katuuk MKDU Ilmu Sosial Dasar, (Depok : Gunadarma, 1997)cet ke 2, h.202

[4] Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), cet ke-35, h.366

[5] Saiful Arif , Menolak Pembangunanisme, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), cet ke-1, h.289

[6] Nanih Machendrawaty dan Agus Ahmad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda, 2001), cet. 1, h. 27

[7] ibid, 28

[8] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat At-Taubah /9 : 105, h.298

[9] Toto Tasmara, Etos Kerja Muslim, (Jakarta: labmend, 1991), Cet. Ke-1 hl. 20

[10]Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain,, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Qashash / : 28, h.623

[11] Nanih Machendrawaty dan Agus Ahamad Safei, Pengembangan Masyarakat Islam dari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda, 2001), cet. 1, h. 27

[12] T.O.Ihromi, S.Suryochondro dan Soetyani, Kisah Kehidupan Wanita Untuk Mempertahankan Kelestarian Ekonomi RT; Kajian Terhadap Wanita Golongan Rendah dan Menengah, (Jakarta: LPFEUI, 1991, h.73-74)

[13] Nanih Machendrawaty dan Agus Ahamad Safei, Pengembangan Masyarakat Islamdari Ideologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda, 2001), cet. 1, h. 44

[14] Menurut Agus Effendi dikatakan untuk keluar dari belitan persoalan, ini masyarakat Islam harus berjuang keras untuk melahirkan desain besar kurikulum pendidikan untuk setiap wilayah pendidikan, yang benar-benar berorientasi pada pemberdayaan total ruhaniah islamiah, yang tidak bertentangan dengan perjuangan kebenaran ilmiah dan kemodernan. Ini memberikan gambaran atau menerangkan bahwa pendidikan disekolah-sekolah harus di fokuskan kepada extra kurikuler keagamaan tanpa mengesampingkan pelajaran umum lainnya. Paling tidak pengetahuan agama mereka ketahui dan pahami.

[15] Ibid.


BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Etos Kerja

1. Pengertian Etos Kerja

Etos berasal dari bahasa Yunani (etos) yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu. Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok bahkan masyarakat[1].

Dalam kamus besar bahasa Indonesia etos kerja adalah semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesesuatu kelompok.

Secara terminologis kata etos, yang mengalami perubahan makna yang meluas. Digunakan dalam tiga pengertian yang berbeda yaitu:

a. suatu aturan umum atau cara hidup

b. suatu tatanan aturan perilaku.

c. Penyelidikan tentang jalan hidup dan seperangkat aturan tingkah laku[2].

Dalam pengertian lain, etos dapat diartikan sebagai thumuhat yang berkehendak atau berkemauan yang disertai semangat yang tinggi dalam rangka mencapai cita-cita yang positif[3].

Etos dalam terminologi Prof. Dr. Ahmad Amin adalah membiasakan kehendak. Kesimpulannya, etos adalah sikap yang tetap dan mendasar yang melahirkan perbuatan-perbuatan dengan mudah dalam pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan diluar dirinya[4].

Dari keterangan diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa kata etos berarti watak seorang individu atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan yang disertai dengan semangat yang tinggi guna mewujudkan sesuatu keinginan atau cita-cita.

Etos kerja adalah refleksi dari sikap hidup yang mendasar maka etos kerja pada dasarnya juga merupakan cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang berdimensi transenden.

Menurut K.H. Toto Tasmara etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal (high Performance)[5].

Dengan demikian adanya etos kerja pada diri seseorang pedagang akan lahir semangat untuk menjalankan sebuah usaha dengan sungguh-sungguh, adanya keyakinan bahwa dengan berusaha secara maksimal hasil yang akan didapat tentunya maksimal pula. Dengan etos kerja tersebut jaminan keberlangsungan usaha berdagang akan terus berjalan mengikuti waktu.

2. Fungsi dan Tujuan Etos Kerja

Secara umum, etos kerja berfungsi sebagai alat penggerak tetap perbuatan dan kegiatan individu. Menurut A. Tabrani Rusyan, fungsi etos kerja adalah:

  1. Pendorong timbulnya perbuatan.
  2. Penggairah dalam aktivitas.
  3. Penggerak, seperti mesin bagi mobil besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya suatu perbuatan[6].

Kerja merupakan perbuatan melakukan pekerjaan atau menurut kamus W.J.S Purwadaminta, kerja berarti melakukan sesuatu, sesuatu yang dilakukan[7]. Kerja memiliki arti luas dan sempit dalam arti luas kerja mencakup semua bentuk usaha yang dilakukan manusia, baik dalam hal materi maupun non materi baik bersifat intelektual maupun fisik, mengenai keduniaan maupun akhirat. Sedangkan dalam arti sempit, kerja berkonotasi ekonomi yang persetujuan mendapatkan materi. Jadi pengertian etos adalah karakter seseorang atau kelompok manusia yang berupa kehendak atau kemauan dalam bekerja yang disertai semangat yang tinggi untuk mewujudkan cita-cita.

Nilai kerja dalam Islam dapat diketahui dari tujuan hidupnya, seperti halnya dengan sholat yang mana sebagai alat atau sarana untuk mendekatkan diri pada Allah yang pada akhirnya mendapatkan kebahagiaan di akherat nanti, kebahagiaan hidup di akhirat adalah kebahagiaan sejati, kekal untuk lebih dari kehidupan dunia, sementara kehidupan di dunia dinyatakan sebagai permainan, perhiasan ladang yang dapat membuat lalai terhadap kehidupan di akhirat. Manusia sebelum mencapai akhirat harus melewati dunia sebagai tempat hidup manusia untuk sebagai tempat untuk mancari kebahagiaan di akhirat. Ahli-ahli Tasawuf mengatakan:

Untuk mencapai kebahagiaan di akhirat, manusia harus mempunyai bekal di dunia dan di manapun manusia menginginkan kebahagiaan. Manusia berbeda-beda dalam mengukur kebahagiaan, ada yang mengukur banyaknya harta, kedudukan, jabatan, wanita, pengetahuan dan lain-lain. Yang kenyataannya keadaan-keadaan lahiriah tersebut tidak pernah memuaskan jiwa manusia, bahkan justru dapat menyengsarakannya. Jadi dianjurkan di dunia tapi tidak melupakan kehidupan akhirat.

وَابْتَغِ فِيمَا ءَاتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَنَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَوَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّالْمُفْسِدِينَ.

Artinya:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (keni`matan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.

(Q.S. Al-Qashash: 77)[8]

Pandangan Islam mengenai etos kerja, di mulai dari usaha mengungkap sedalam-dalamnya sebagaimana sabda nabi yang mengatakan bahwa nilai setiap bentuk kerja itu tergantung pada niat-niat yang dipunyai pelakunya, jika tujuannya tinggi (mencari keridhaan Allah) maka ia pun akan mendapatkan nilai kerja yang tinggi, dan jika tujuannya rendah (seperti misalnya hanya bertujuan memperoleh simpati sesama manusia belaka) maka setingkat pula nilai kerjanya[9].

3. Etos kerja Islami

Dalam kehidupan pada saat sekarang, setiap manusia dituntut untuk bekerja guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja seseorang akan menghasilkan uang, dengan uang tersebut seseorang dapat membelanjakan segala kebutuhan sehari-hari hingga akhirnya ia dapat bertahan hidup. Akan tetapi dengan bekerja saja tidak cukup, perlu adanya peningkatan, motivasi dan niat.

Setiap pekerja, terutama yang beragama islam, harus dapat menumbuhkan etos kerja secara Islami, karena pekerjaan yang ditekuni bernilai ibadah. Hasil yang diperoleh dari pekerjaannya juga dapat digunakan untuk kepentingan ibadah, termasuk di dalamnya menghidupi ekonomi keluarga. Oleh karena itu seleksi memililih pekerjaan menumbuhkan etos kerja yang islami menjadi suatu keharusan bagi semua pekerjaan. Adapun etos kerja yang islami tersebut adalah: niat ikhlas karena Allah semata, kerja keras dan memiliki cita-cita yang tinggi

Menurut Al-Ghazali dalam bukunya “Ihya-u “ulumuddin” yang di kutip Ali Sumanto Al-Khindi dalam bukunya Bekerja Sebagai Ibadah, menjelaskan pengertian etos (khuluk) adalah suatu sifat yang tetap pada jiwa, yang dari padanya timbul perbuatan-perbuatan dengan mudah dengan tidak membutuhkan pemikiran.

Dengan demikian etos kerja Islami adalah akhlak dalam bekerja sesuai dengan nilai-nilai islam sehingga dalam melaksanakannya tidak perlu lagi di pikir-pikir karena jiwanya sudah meyakini sebagai sesuatu yang baik dan benar.

Menurut Dr. Musa Asy’arie etos kerja islami adalah rajutan nilai-nilai khalifah dan abd yang membentuk kepribadian muslim dalam bekerja. Nilai-nilai khalifah adalah bermuatan kreatif, produktif, inovatif, berdasarkan pengetahuan konseptual, sedangkan nilai-nilai ‘abd bermatan moral, taat dan patuh pada hukum agama dan masyarakat[10]

Toto Tasmara mengatakan bahwa semangat kerja dalam Islam kaitannya dengan niat semata-mata bahwa bekerja merupakan kewajiban agama dalam rangka menggapai ridha Allah, sebab itulah dinamakan jihad fisabilillah[11].

Ciri-ciri orang yang memiliki semangat kerja, atau etos yang tinggi, dapat dilihat dari sikap dan tingkah lakunya, diantaranya:

  1. Orientasi kemasa depan.

Artinya semua kegiatan harus di rencanakan dan di perhitungkan untuk menciptakan masa depan yang maju, lebih sejahtera, dan lebih bahagia daripada keadaan sekarang, lebih-lebih keadaan di masa lalu. Untuk itu hendaklah manusia selalu menghitung dirinya untuk mempersiapkan hari esok.[12]

  1. Kerja keras dan teliti serta menghargai waktu.

Kerja santai, tanpa rencana, malas, pemborosan tenaga, dan waktu adalah bertentangan dengan nilai Islam, Islam mengajarkan agar setiap detik dari waktu harus di isi dengan 3 (tiga) hal yaitu, untuk meningkatkan keimanan, beramal sholeh (membangun) dan membina komunikasi sosial, firman Allah:

وَالْعَصْرِإِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍإِلَّا الَّذِينَءَامَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّوَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ.

Artinya:

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q.S. Al-Ashr: 1-3)[13]

  1. Bertanggung jawab.

Semua masalah diperbuat dan dipikirkan, harus dihadapi dengan tanggung jawab, baik kebahagiaan maupun kegagalan, tidak berwatak mencari perlindungan ke atas, dan melemparkan kesalahan di bawah. Allah berfirman:

إِنْ أَحْسَنْتُمْ أَحْسَنْتُمْ لِأَنْفُسِكُمْ وَإِنْ أَسَأْتُمْ فَلَهَا فَإِذَاجَاءَ وَعْدُ الْآخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُواالْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْاتَتْبِيرًا.

Artinya:

Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka kejahatan itu bagi dirimu sendiri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam mesjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.(Q.S. Al-Isra’: 7)[14]

4. Hemat dan sederhana.

Seseorang yang memiliki etos kerja yang tinggi, laksana seorang pelari marathon lintas alam yang harus berlari jauh maka akan tampak dari cara hidupnya yang sangat efesien dalam mengelola setiap hasil yang diperolehnya. Dia menjauhkan sikap boros, karena boros adalah sikapnya setan.

  1. Adanya iklim kompetisi atau bersaing secara jujur dan sehat.

Setiap orang atau kelompok pasti ingin maju dan berkembang namun kemajuan itu harus di capai secara wajar tanpa merugikan orang lain.

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ أَيْنَمَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا إِنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّشَيْءٍ قَدِيرٌ.

Artinya:

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya (sendiri) yang ia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S. Al-Baqarah: 148)[15]

Sebagai orang yang ingin menjadi winner dalam setiap pertandingan exercise atau latihan untuk menjaga seluruh kondisinya, menghitung asset atau kemampuan diri karena dia lebih baik mengetahui dan mengakui kelemahan sebagai persiapan untuk bangkit. Dari pada ia bertarung tanpa mengetahui potensi diri. Karena hal itu sama dengan orang yang bertindak nekat. Terukir sebuah motto dalam dirinya: “The best fortune that can come to a man, is that he corrects his defects and makes up his failings” (Keberuntungan yang baik akan datang kepada seseorang ketka dia dapat mengoreksi kekurangannya dan bangkit dari kegagalannya[16].

B. Pengetahuan Agama

1. Pengertian agama

Definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluatif (menilai). Ia “angkat tangan “ mengenai hakiki agama , baiknya atau buruknya agama atau agama-agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini ia hanya sanggup memberikan definisi yang deskriptif (menggambarkan apa adanya), yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.[17]

2. Pengertian Pengetahuan dan Pengamalan Keagamaan

Pengetahuan merupakan cipta karsa dan budaya, yang dapat dirasakan oleh semua orang yang berusaha ingin mengetahui dan mempelajarinya. Pengetahuan juga dapat dikatakan sebagai fenomena-fenomena yang mengungkapkan dan menjelaskan suatu hal tertentu, baik mengenai objek maupun lapangannya yang merupakan suatu kesatuan yang sistematis, dan memberikan penjelasan yang dapat di pertanggung jawabkan dengan menunjukkan sebab-sebab hal itu.

Sedangkan pengamalan keagamaan terdiri dari dua kata yaitu kata pengamalan dan keagamaan. Pengamalan kata dasarnya adalah “amal” yang berarti perbuatan-perbuatan yang baik. Kata amal mendapatkan awalan “peng” dan akhiran “an”, menjadi pengamalan yang berarti hal, cara hasil atau proses kerja mengamalkan.[18]

Adapun kata keagamaan berarti yang berhubungan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan dalam syariat Islam. Jadi pengamalan keagamaan menurut bahasa adalah proses kerja mengamalkan suatu perbuatan yang berhubungan dengan agama.[19]

Perlu dikemukakan kembali dalam pembahasan ini, bahwa dalam membicarakan masalah tentang keagamaan, karena pengetahuan dan pengamalan keagamaan merupakan perwujudan dari sikap keagamaan seseorang. yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama. Sikap keagamaan tersebut oleh adanya konsistensi antara kepercayaan terhadap agama sebagai unsure kognitif, perasaan terhadap agama sebagai unsure afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsure konatif, jadi sikap keagamaan merupakan integrasi secara komplek antara pengetahuan agama, perasaan agama serta tindakan keagamaan dalam diri seseorang[20].

C. Peningkatan Kualitas Hidup

1. Pengertian Kualitas Hidup

Kata ‘Kualitas’ itu berasal dari bahasa Inggris ‘Quality’ yang berarti kecakapan, jenis dan mutu. Atau dalam bahasa Belanda ‘Kualiteit’ yang berarti jenis dan dalam bahasa Arab dengan kata ‘Shifatun’ yang sepadan dengan pengertian di atas. Dilihat dari arti katanya, maka kata kualitas erat hubungannya dengan nilai. Kualitas (mutu) dan nilai itu adalah dua istilah yang nampaknya berbeda tetapi maknanya berkaitan erat. Tinggi rendahnya mutu sesuatu ditentukan oleh nilai sesuatu itu. Semua makhluk ciptaan Allah mempunyai nilai dan bermutu, tidak ada yang sia-sia Allah berfirman dalam surat Al-Imran ayat 191 berikut ini:

tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãuröNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$#ÇÚöF{$#ur $uZy7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ

Artinya:

(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka[21]

Sedangkan menurut pandangan idealisme, Hegelian (pengikut Hegel) bahwa nilai itu ialah sesuatu yang bersifat normatif dan obyektif, berlaku untuk umum. Bahkan nilai itu menjadi idealisme, cita-cita tiap pribadi yang mengerti dan menyadarinya[22].

Terdapat beberapa asumsi yang dipergunakan dalam rangka mewujudkan pengembangan masyarakat ini akan dikemukakan sebagai berikut.

Pertama, pada intinya upaya-upaya pengembangan masyarakat dapat dilihat sebagai peletakkan sebuah tatanan sosial dimana manusia secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhannya (material dan spiritual) dapat terpenuhi. Oleh karenanya, tidak akan terwujud bila sekedar tawaran sebuah proyek usaha kepada masyarakat. Melainkan suatu program pembenahan struktur social yang mengedepankan keadilan.

Kedua, pengembangan masyarakat tidak dilihat sebagai suatu proses pemberian dari pihak yang memiliki sesuatu kepada pihak yang tidak memiliki sesuatu. Kerangka pemahaman ini sangat menjerumuskan karena akan tumbuh mental-mental ‘peminta’. Padahal dalam Islam, meminta adalah tingkatannya lebih rendah dari memberi.

Ketiga, pengembangan masyarakat sesungguhnya merupakan sebuah proses kolektif dimana kehidupan keluarga, bertetangga dan bernegara bukan sekedar menyiapkan penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan social yang mereka lalui, melainkan secara aktif mengarahkan perubahan tersebut kepada terpenuhinya kebutuhan bersama[23].

Keempat, pengembangan masyarakat tidak mungkin terlaksana tanpa keterlibatan secara penuh oleh masyarakat itu sendiri. Partisipasi bukan hanya diartikan sebagai kehadiran mereka untuk mengikuti suatu kegiatan. Melainkan dipahami sebagai kontribusi mereka dalam setiap tahapan dari pengembangan masyarakat terutama perumusan kebutuhan yang mesti mereka penuhi, karena hanya masyarakat sendirilah yang paling tahu kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi.

Kelima, tidak mungkin rasanya tuntutan akan keterlibatan masyarakat dalam sebuah program pembangunan tatkala mereka sendiri tidak memiliki daya dan bekal yang cukup. Oleh karenanya, perlu adanya suatu mekanisme dan system untuk memberdayakannya[24].

Dengan demikian pengembangan masyarakat pada dasarnya merencanakan dan menyiapkan suatu perubahan social yang berarti bagai peningkatan kualitas kehidupan manusia.

2. Karakteristik Kualitas Hidup

Kualitas manusia suatu ciri yang melekat pada manusia dan menunjukkan baik tidaknya keadaan manusia tersebut secara keseluruhan. Kualitas manusia dapat dibagai dalam dua unsur utama yaitu kualitas fisik dan kualitas non fisik atau kualitas spritual. Unsur-unsur kualitas fisik antara lain keadaan fisik yang ditunjukkan oleh status gizi (misalnya tinggi dan bobot badan), serta status kesehatan dan kesegaran jasmani. Sedangkan unsur-unsur kulaitas non-fisik adalah kualitas akal, kualiltas mental-emosional, serta kualitas budi pekerti dan spiritual. Tetapi berbeda dengan indikator kualitas fisik yang dapat diukur secara kuantitatif, indikator non-fisik umumnya bersifat abstrak dan sulit diukur.

Secara keseluruhan, unsur-unsur kualitas tersebut menentukan kualitas hubungan dan interaksi manusia tersebut dengan lingkungannya, termasuk lingkungan alam sekitar, lingkungan social dan lingkungan spiritual (hubungan manusia dengan Tuhan)[25].

Menurut Prof. Dr. Notonagoro S.H, bahwa kualitas manusia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia setelah mentransformasikan nilai-nilai yang ada mutlak, yaitu kebenaran, kebaikan, keindahan dan Tuhan. Sifat-sifat itu tercapai bila manusia mampu memiliki tingkat kualitas kebenaran, kebaikan, keindahan dan nilai Tuhan pada dirinya tercermin dalam perbuatan sehari-hari.

Dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, terutama yang penting diperhatikan adalah ciri-ciri individu yang berkualitas antara lain: (1) berstamina yang tinggi karena didukung oleh kebutuhan pokok yang terpenuhi, (2) tangguh, (3) cerdas, (4) terampil, (5) mandiri, (6) memiliki rasa tanggung jawab dan setia kawan, (7) produktif, (8) kreatif, (9) inovatif, (10) berorientasi pada masa depan, (11) berdisiplin dan (12) berbudi luhur[26].

Sedangkan ciri-ciri manusia berkualitas dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah: (1) beriman teguh, (2) tidak menyekutukan Allah, (3) menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup, (4) beriman kepada Rasul dan Sunnahnya, (5) berjihad di jalan Allah, (6) mengenal kelebihan dan kekurangan diri, (7) sadar akan tanggung jawabnya di dunia sebagai khalifah, (8) mempunyai tujuan hidup jangka panjang dan jangka pendek, (9) berani dan ikhlas, (11) normal akalnya, (12) sehat jasmani dan rohani, (13) mengenal hakikat dunia, hidup dan mati[27].

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung dapat dilakukan dengan pendekatan paradigma sehat. Maksudnya adalah meningkatkan mutu lingkungan yang sehat, perilaku yang sehat dan pengembangan masyarakat. Dimana bertambahnya porsentase keluarga yang memiliki rumah berstandar kesehatan seperti penggunaan air bersih, jamban bersih, ventilasi rumah yang mendukung dan tata ruang yang baik. Selain itu pola dan pengolahan bahan pangan yang higenis dalam pencapaian pemenuhan gizi menjadi hal yang tidak boleh diabaikan.[28]

3. Tahapan Kualitas Hidup Masyarakat

Irfan Hielmi mengutip dari Lippit (1985) mengemukakan bahwa agar perubahan ke tingkat lebih baik berhasil dilakukan, maka ada suatu proses yang harus dilalui dan terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

  1. Menumbuhkan kebutuhan berubah. Yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah perumusan kesulitan-kesulitan, ketegangan, ketidakpuasan dan kekecewaan yang harus di terjemahkan menjadi masalah yang harus dipecahkan. Masyarakat harus menyadari hal ini agar tumbuh keinginan untuk berubah dan keinginan untuk mencari bantuan dari luar sistem sosialnya.
  2. Membangun hubungan untuk perubahan. Hubungan ini harus terbina di antara sasaran dan agen pembaharu.
  3. Diagnosis dan penjelasan masalah yang dihadapi harus diketahui dan dirumuskan menjadi masalah bersama.
  4. Mencari alternative pemecahan masalah dan menetapkan tujuan serta menumbuhkan tekad untuk bertindak.
  5. Tekad tersebut diubah menjadi suatu usaha nyata kearah pencapaian tujuan. Dalam hal ini, mengorganisir dan menggerakkan masyarakat harus dilakukan melalui pembagian tugas.
  6. Perluasan dan pemantapan perubahan. Perluasan tersebut diikuti dengan penyempurnaan dan pelembagaan dari perubahan yang telah terjadi sehingga dapat dirasakan oleh masyarakat.
  7. Memutuskan hubungan antara sasaran dengan penyuluh, ketika masyarakat sudah dirasa dapat ‘mandiri’ sehingga menghindari ketergantungan masyarakat dengan penyuluh[29].

Tetapi secara umum dari beberapa tahapan pengembangan masyarakat yang ada, peneliti memakai tahapan yang lebih mendekati dilapangan adalah tahapan pengembangan masyarakat yang di kutip oleh Isbandi Rukminto yaitu: Pertama, tahap persiapan yaitu mempersiapkan petugas (community Worker) dan lapangan. Kedua, proses assessment yang dilakukan dengan mengidentifikasi masalah (kebutuhan yang dirasakan) dan juga sumber daya yang dimiliki klien.

Ketiga, tahap perencanaan alternative program atau kegiatan. Pada tahap ini petugas secara partisipatif mencoba melibatkan warga untuk berpikir tentang masalah yang mereka hadapi dan bagaimana mengatasinya. Alternative-alternatif program yang mereka kembangkan tentulah harus disesuaikan dengan tujuan jangka panjang dan jangka pendek. Keempat, tahap pemformulasian rencana aksi. Di sini petugas membantu para kelompok masyarakat untuk memformulasikan gagasan mereka ke dalam tulisan.

Kelima, tahap paling penting yaitu pelaksanaan program pengembangan dengan melibatkan warga masyarakat. Tahap yang keenam setelah pelaksanaan program adalah mengadakan evaluasi sebagai pengawasan terhadap program yang sedang berjalan. Terakhir, adalah tahap terminasi yaitu ‘pemutusan’ hubungan formal dengan komunitas sasaran[30].

D. Pemulung

1. Pengertian Pemulung

Pengertian Pemulung bekerja mengumpulkan barang-barang bekas dengan cara mengerumuni muatan truk sampah yang tengah di bongkar, sebagian Pemulung lainnya berputar-putar mengais barang bekas dari tumpukan-tumpukan sampah[31]

Ada juga yang mengatakan Pemulung adalah kelompok sosial yang kerjanya mengumpulkan atau memilah barang yang dianggap berguna dari sampah, baik yang ada di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) maupun diluar TPA[32].

Adapun jenis barang bekas yang diambil pemulung adalah sebagai berikut:

  1. Besi bekas
  2. Botol plastik
  3. karung plastik
  4. Kardus
  5. Kertas
  6. Botol kaca
  7. Kaleng
  8. Aluminium
  9. Karet
  10. Kayu

2. Karakteristik Pemulung.

Para Pemulung bekerja mengumpulkan barang-barang bekas dengan cara mengerumuni muatan truk sampah yang tenah di bongkar, sebagian Pemulung lainnya berputar-putar mengais barang bekas dari tumpukan-tumpukan sampah.

Barang bekas yang telah berkumpul kemudian dipisah-pisahkan menurut jenisnya, sebelum akhirnya dijual kepada pedagang barang bekas atau lapak.

Lapak atau penampung adalah orang yang mempunyai modal atau dukungan modal untuk membeli beberapa jenis, atau satu jenis barang bekas dari Pemulung. Jasa lapak selain sebagai pembeli tetap adalah ia menanggung sarana transportasi untuk mengambil barang bekas dari pemukiman liar, sehingga para Pemulung yang menjadi anak buahnya tidak perlu menanggung ongkos angkutan.

Para pedagang atau lapak selanjutnya menjual barang bekas ke industri atau pabrik yang menggunakan bahan baku produksinya dari barang bekas secara langsung maupun melalui pihak perantara (agen atau supplier)

Memilah barang sebanyak-banyaknya tentunya dengan alat bantu yang berupa:

  1. Gerobak/roda dua

Alat ini sangat berfungsi sekali untuk mencari dan mengais barang yang berguna, sehingga dengan memakai Gerobak/roda dua Pemulung dapat mencari barang sebanyak-banyaknya.

  1. Karung

Biasanya alat ini dipakai supaya lebih praktis, karena dengan memakai karung bias masuk ke gang-gang sempit. Dan kebanyakan yang memakai dengan alat karung mayoritas anak-anak kecil. Kekurangan dengan memakai alat ini (karung) hasil dari pilahannya sangat minim.



[1]Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. Ke-1, hl. 15

[2]Musa Asy’arie Islam. Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, (Yogyakarta: Lesfi, 1997), cet. Ke-1, hl.3

[3] Ibid

[4]Ahmad Amin, Etika (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), cet. Ke-3

[5] Toto Tasmara, loc. Cit., hl. 20

[6] A. Tabrani Rusyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, (Bandung: CV Remaja Rosdakarya, 1989), Cet. Ke-8, hl. 63

[7] W.J.S .Purwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:Balai Pustaka, 1976), cet. Ke-5, hl.42

[8] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Qashah/77:20 hal. 623

[9] Dr. Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992)

[10] Musa Asy’arie Islam. Etos Kerja dan Pemberdayaan Ekonomi Ummat, (Yogyakarta: Lesfi, 1997), cet. Ke-1, hl.14

[11] Toto Tasmara, Etos Kerja Muslim, (Jakarta: labmend, 1991), Cet. Ke-1, hl. 12

[12] Drs. H. Kafrawi Ridwan. MA. Metode Dakwah dalam Menghadapi Tantangan Masa Depan.(Jakarta: PT. Golden Terayon Press, 1987), Cet. Ke-1.hl. 29

[13] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Ashr/1-3/30 hal. 1099

[14] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Isra’/ 7: 15 hal. 425

[15] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Baqarah/148:2 hal. 38

[16] Toto Tasmara, op.cit., h. 17

[17] Drs. D. Hendropuspito, OC, Sosiologi Agama, (Yogyakarta: Kanisius 1983) cet-1 h. 29

[18] JS. Badudu. Et-al. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) cet. Ke- 1 hlm. 40

[19] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), cet ke-10 hlm. 1

[20] Jalaludin, Psikologi Agama,(Jakarta :PT, Raja Grafindo Persada Utama, 1996), cet.ke-1 hlm. 212

[21] Kerajaan Saudi Arabia; Khadim al Haramain asy Syarifain, Al-Qur’an dan Terjemah, Surat Al-Imran 3 : 191. hal.

[22] Drs. Abu Bakar Muhammad, Pembinaan Manusia Islam. (Surabaya: Al-Ikhlas, 1994). Cet. 1 h. 20

[23] Abdul Halim, Pengembangan Masyarakat Islam: Upaya Membangun Paradigma baru Model Dakwah, dalam jurnal Ilmu dakwah vol .4 no. 1 terbit April 2001, h. 25

[24] Ibid.

[25] Ensiklopedi, op.cit, h. 189

[26] Prof. Dr. Buchari Zainun, manajemen Sumber Daya manusia Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung , 2001), cet. Vi, h. 66

[27] Abu Bakar, op. cit, h.40

[28] 202.154.20.195/Propenas/matriks_sosbud.htm

[29] Elly Irawan, Pengembangan Masyarakat, (Jakarta: Karunika Universitas Terbuka, 2000) cet. 1, h. 3

[30] Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas. (Jakarta, Penerbit Fakultas Ekonomi UI, Press, 2003) cet. 1, h. 173

[31] Nawardi, Koperasi Serba Daur Ulang-Jati Dua (Bandung: Galang, 1983), h. 41-55

[32] Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan UI, Sistem Penelolaan TPA Bantar Gebang-Bekasi (Jakarta: PPSML-UI 2000), hl. 36


BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Rt.004 Rw. 04 Gang Damai Desa Jurang Mangu Barat, Pondok Aren Tanggerang, sebagai alasan pemilihan tempat lokasi penelitian didasari oleh pertimbangan sebagai berikut :

1. Lokasi penelitian mudah dijangkau oleh peneliti

2. Pemulung yang diteliti oleh peneliti masih terbatas jumlah orangnya sehingga dapat teramati oleh peneliti.

3. Pemukiman penduduk yang dekat dengan pembuangan sampah sehingga mempermudah para pemulung untuk mendapatkan hasil dari pekerjaannya.

B. Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah pemulung, sedangkan objeknya adalah Etos Kerja dan Pengamalan Agama Pemulung dalam Meningkatkan Kualitas Hidup. Adapun teknik penetapan subjek dengan menggunakan tehnik bola salju, yaitu mulai dari satu menjadi makin lama makin banyak.[1]

Dengan kata lain pengertian bola salju adalah dari pemulung pertama memberikan informasi yang dibutuhkan oleh peneliti kemudian dianalisis setelah itu peneliti mengembangkan informasi atas data yang diberikan oleh subjek pertama. Kemudian subjek pertama memberikan petunjuk atau saran siapa yang layak menjadi subjek selanjutnya berkenaan dengan data yang diinginkan peneliti.

Informasi dilanjutkan oleh peneliti dalam mengumpulkan data-data untuk di analisis kemudian dicari persamaan dan perbedaan dalam pemberian informasi oleh beberapa subjek tersebut diatas. Ketika dirasakan cukup dalam perolehan data-data atas informasi yang diperlukan barulah peneliti dapat menyimpulkan apa yang menjadi kajian peneliti.

Penetapan subjek pertama dimulai dari anak buah pemulung mengingat waktu dan keadaan saat itu baru pertama kali peneliti berinteraksi atau memulai percakapan. Dengan adanya informasi pemulung tersebut bertujuan menggali informasi sebanyak-banyaknya mengenai keberadaan pemulung ditempat yang akan diteliti oleh peneliti sehingga mendapatkan informasi yang mendalam.

Tehnik informan sendiri tertuju kepada orang yang dianggap paling mengetahui dan terlibat secara langsung dalam kegiatan aktivitas pemulung berdasarkan informasi dari responden sebelumnya. Selanjutnya penelitian ini menetapkan karakteristik sampel dengan tujuan karena peneliti dengan ini hanya mengambil sebagian pemulung dikarenakan peneliti memiliki keterbatasan dalam hal dana dan waktu, yang tidak mungkinmelakukan kegiatan di lokasi dalam waktu yang tidak menentu karena kesibukan para pemulung dalam mencari nafkah) dan menyita waktu yang cukup lama.

Adapun karakteristik sampel sendiri, yaitu :

a. Pemulung yang berusia yang diteliti oleh peneliti berkisaran antara 20-45 tahun.

b. Homogenitas yaitu berdasarkan asal tinggal mereka yang berasal dari Indramayu

c. Katagori pendidikan Pemulung adalah pernah bersekolah di SD

d. Jenis barang bekas yang diambil oleh pemulung, adalah jenis barang bekas yang mempunyai nilai jual seperti aqua gelas, aqua botol, kaleng, kardus, koran, buku, logam, plastik, besi, behel, kantong semen, karpet.

e. Para pemulung yang mempunyai masa kerja minimal 2 tahun menekuni profesi sebagai pemulung.

f. Subjek yang akan diambil adalah bos pemulung dan anak buahnya sebagai subyek yang dapat dijadikan sebagai data utama.

g. Waktu penelitian terhitung sejak akhir November 2006- April 2008

C. Model Penelitian

Model penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Adapun desain penelitian yang digunakan adalah eksploratif yaitu mencari hubungan di antara gejala-gejala sosial, untuk mengetahui bentukdari hubungan tersebut. Dalam rangka ini ia berusaha untuk memperluas dan mempertajam dasar empiris mengenai hubungan diantara gejal social yang sedang diteliti, sehingga kemudian ia benar-benar mampu untuk merumuskan hipotesa-hipotesa yang berarti bagi lanjutan dari penelitian yang explorative[2]. Dalam penelitian explorative memiliki beberapa cara yang dimana dalam skripsi ini hanya dengan melakukan study kasus.

Study kasus adalah suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari obyek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka ”study kasus” dipelajari sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Tujuannya adalah untuk memperkembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang bersangkutan, yang berarti bahwa study kasus harus disifatkan sebagai suatu penelitian yang explorative[3].

Dalam studi ini, peneliti berusaha untuk melihat dan menjadi pemeranserta sebagai pengamat[4] atas etos kerja dan pengamalan agama para pemulung dalam meningkatkan taraf hidup mereka. Peneliti juga menyaksikan bagaimana cara mengumpulkan barang bekas yang akan dijual kepada bos pemulung, dalam hal ini peneliti tidak ikut campur dalam memberikan masukan atau arahan, dengan maksud agar memberikan gambaran kehidupan mereka seobyektif mungkin. Kegiatan keseharian yang dilakukan para pemulung akan terlihat bagaimana sebenarnya tantangan yang dihadapi mereka baik mengenai faktor pendukung ataupun penghambatnya.

Adapun teknik penulisan menggunakan buku “Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta”, Cet 2 tahun 2002

D. Tehnik Pengambilan Data

Tehnik pengambilan data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah meliputi:

  1. Observasi.

Observasi adalah berusaha untuk memperoleh dan mengumpulkan data dengan melakukan pengamatan terhadap sesuatu kegiatan secara akurat, serta mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut. Obsevasi dilakukan dengan cara mendatangi lokasi penelitian.[5]

  1. Wawancara Terfokus.

Wawancara mendalam adalah percakapan yang dilakukan secara mendalam yang diarahkan pada masalah tertentu, dengan tujuan tertentu dan dengan bertanya secara langsung kepada sejumlah responden[6].

  1. Dokumentasi

Peneliti mengumpulkan, membaca dan mempelajari berbagai macam data seperti yang tertulis, pengambilan photo, data statistik dan data-data di perspustakaan atau instansi terkait lainnya yang dapat dijadikan analisa untuk hasil dalam penelitian ini.[7]

  1. Catatan Lapangan

Catatan yang berisi tentang hal-hal yang diamati, yang oleh peneliti dianggap penting. Catatan lapangan harus dibuat secara lengkap dan deskriptif dengan keterangan tanggal dan waktu, dan menyertakan informasi-informasi dasar seperti dimana observasi dilakukan, siapa saja yang hadir, bagaimanafisik lingkungan, interaksi social, aktifitas apa sajayang berlangsung dan lain sebagainya.

E. Sumber Data

Dalam penelitian ini, yang dijadikan sumber data adalah sebagai berikut:

a. Data Primer

Data yang diperoleh melalui observasi atau pengamatan langsung, berperan serta sebagai pengamat dan wawancara langsung lagi mendalam kepada responden, yaitu dari bos pemulung dan para pemulung Desa Jurang Mangu Pondok aren Tangerang.

b. Data Sekunder:

Data yang diperoleh dari catatan-catatan atau dokumen yang berkaitan dengan penelitian baik dari instansi pemerintah-swasta atau berbagai referensi buku, majalah, surat kabar yang bersangkutan dalam penelitian ini.

F. Fokus Penelitian

1. Pengamalan Agama

a. Aqidah

b. Fikih Ibadah

2. Etos kerja

a. Orientasi kemasa depan

b. Menghargai waktu

c. Tanggung jawab

d. Hemat dan sederhana

e. Persaingan sehat

3. Peningkatan Kualitas Hidup

a. Fisik

b. Spritual

G. Konsep Operasional

1. Pengamalan agama adalah mengetahui dan mempelajari serta meyakini akan adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannnya, sebagai suatu kewajiban yang dilakukan oleh setiap manusia. Dengan adanya pengetahuan agama ini maka setiap manusia wajib beriman atau memiliki akidah yang kuat dengan tiada penyembahan selain-Nya. Manusia juga diwajibkan mengerjakan perintah Allah, yaitu sholat, puasa, zakat, mengaji, berbuat baik sesama manusia baik berupa perdagangan, perkawinan, hukum dan amalan-amalan sunah lainnya yang telah diatur menurut hukum agama yang dikenal dengan sebutan fiqih ibadah.

2 Etos kerja adalah totalitas kepribadian dirinya serta caranya mengekspresikan, memandang, meyakini dan memberikan makna ada sesuatu, yang mendorong dirinya untuk bertindak dan meraih amal yang optimal sehingga pola hubungan antara manusia dengan dirinya dan antara manusia dengan makhluk lainnya dapat terjalin dengan baik. Etos kerja berhubungan dengan beberapa hal penting seperti :

a. Orientasi kemasa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik waktu, kondisi untuk kedepan agar lebih baik dari kemarin.

b. Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat penting guna efesien dan efektivitas bekerja.

c. Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.

d. Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.

e. Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

3. Peningkatan kualitas hidup adalah bahwa kualitas manusia adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia guna memperbaiki kehidupannya kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Peningkatan kualitas hidup ini secara garis besar terbagi menjadi dua bagian, yaitu fisik dengan adanya perbaikan yang ditunjukkan oleh kadar gizi yang baik (misalnya makan dengan empat sehat lima sempurna), kesehatan yang terjaga dengan baik dengan tidak mudah terserang penyakit dan spiritual dengan sebuah peningkatan baik pada pengetahuan maupun pemahaman agama tentang ibadah ubudiyah atau ibadah kepada Tuhan dan hubungan kepada sesama manusia secara baik.

H. Asumsi Peneliti

Peneliti ini mengasumsikan bahwa Pengamalan agama bagi pemulung adalah mereka meyakini bahwa Tuhan itu ada dan memberikan rizki kepada setiap manusia. Hal tersebut didasarkan pada pengamatan awal peneliti datang ketempat lokasi bersama dengan seorang teman yang kebetulan waktu itu bertepatan dengan sholat dhuhur hanya satu atau dua para pemulung datang ke masjid khususnya kaum pria. Setelah menunaikan sholat dhuhur peneliti mengamati sekitar lokasi penelitian bahwa aktivitas pemulung pada waktu itu mereka ada yang menonton TV bersama, kemudian ada yang mengobrol bersama-sama dan terlintas seorang anak kecil mengenakan jilbab dan membawa buku berpamitan kepada orang tuanya untuk berangkat mengaji. Akan tetapi realita dalam ibadah mereka kurang sebagaimana saat pengamatan awal penelitian lokasi, seperti sholat mereka melakukan sholat jika ada waktu, kemudian masalah pakaian mereka yang sangat kotor, ini yang menjadi kendala mereka yang dikhawatirkan tidak dapat beribadah karena pakaian mereka sangat kotor.

Kondisi pemulung yang secara ekonominya bisa dikatakan sangat lemah sehingga untuk masalah puasa mereka berpuasa jika tidak memiliki uang, sebagaimana yang dikatakan oleh salah satu pemulung setelah diwawancarai peneliti pada saat itu. Puasa bisa dilakukan kapan saja karena itu berhubungan langsung kepada sang Pencipta[8]. Sehingga sangat sulit untuk beribadah menurut ketentuan yang telah ditentukan dalam konteks agama secara benar.

Peneliti menduga bahwa para pemulung memiliki pengamalan agama dalam pengertian atau pemahaman tentang aqidah dan fikih ibadah terlihat dalam pelaksanaan kehidupan sehari-harinya.. Mereka memahami agama sebatas apa yang dianggap penting apakah itu wajib atau tidak, sehingga mereka melakukan ibadah-ibadah wajibnya saja seperti sholat, puasa, zakat.

Berdasarkan amatan peneliti bahwa lokasi tempat tinggal mereka sepi di siang harinya anak-anak dan kaum ibu yang mendiami rumahnya. Peneliti menduga bahwa para pemulung khususnya kaum pria sibuk dalam mencari hasil yang diperolehnya yaitu mencari barang-barang bekas, di satu sisi kaum ibu terlihat sibuk dengan kegiatannya yaitu membersihkan barang-barang bekas seperti aqua gelas. Dari semua yang peneliti lihat bahwa etos kerja para pemulung adalah pekerja keras.[9]

Selanjutnya peneliti melakukan wawancara dengan pemulung lain bernama ibu Mina yang saat ditemui sedang membersihkan botol-botol bekas, ia mengatakan bahwa mereka hanya pasrah saja maksudnya “ jangankan mau beli yang lain kalau memang hari ini saya makan ya makan tapi kalau tidak saya harus bertahan, yang penting anak saya bisa makan”[10]. satu sisi ada untuk ke jenjang yang lebih baik sangatlah sulit karena para pemulung hanya pasrah tidak mempunyai percaya diri untuk terus hidup yang lebih baik, takut mengambil resiko, tidak memiliki kebijakan ataupun keputusan untuk bertindak dan mereka juga tidak terfikirkan menjadi orang yang kaya karena hal itu sangat tidak mungkin.

I. Tehnik Analisa Data

Menggunakan analisis secara induktif, dengan model metode perbandingan tetap. Metode ini dimulai dengan mereduksi data, pengkatagorisasian, sintesisasi dan menyusun hipotesis kerja.[11] Langkah-langkah tersebut dijelaskan dengan disesuaikan pada subyek penelitian yang diteliti di lapangan nantinya.

Reduksi data di mulai dari mengidentifikasi masalah pemulung yang ada di lokasi Rt.004 Rw 04 Gang Damai Desa Jurang Mangu Barat, Pondok Aren Tanggerang yang kemudian diteruskan menjadi data-data yang bermakna bila dikaitkan kepada fokus dan masalah penelitian. Sesudah satuan diperoleh langkah berikutnya adalah membuat pengkodean agar data tersebut dapat ditelusuri dan dapat diketahui sumber asalnya berada.[12]

Setelah reduksi data selesai maka peneliti membuat pengkatagorisasian dengan cara seperti menyusun kategori yang didapat dari hasil temuan lapangan yaitu upaya memilah-milah setiap kategori masalah ke dalam bagian-bagian yang memiliki kesamaan data. Setiap katagori diberi nama yang disebut label, dalam penelitian ini label pertama mengenai pengetahuan agama, label kedua mengenai etos kerja dan label ketiga mengenai kualitas hidup.[13]

Kemudian setelah dikategorisasikan maka peneliti melakukan sintesisasi yaitu mencari kaitan antara satu kategori dengan kategori yang lainnya. Kaitan dengan kategori satu dengan kategori lainnya diberi nama atau label lagi,[14] seperti pengetahuan agama sub-kategorinya adalah akidah dan fikih; etos kerja sub-kategorinya orientasi ke depan, menghargai waktu, tanggung jawab, hemat dan sederhana, dan persaingan sehat; kualitas hidup sub-kategorinya adalah fisik dan spiritual.

Dan setelah sintesisasi diakhiri dengan menyusun hipotesis kerja, hal ini dilakukan dengan jalan merumuskan suatu pernyataan yang proposional[15] yaitu menjalankan aturan-atuaran sesuai dengan prosedur diatas sehingga hipotesis kerja tidak menyimpang dari data yang peneliti ambil di lapangan.

J. Tehnik Pemeriksaan Data

Tehnik pemeriksaan data memiliki sejumlah kriteria tertentu, yaitu:

1. Derajat kepercayaan, yaitu melaksanakan penelitian sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaannya dapat dicapai. Atau dengan kata lain mempertunjukkan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Artinya peneliti melakukan penelitian sedemikian rupa dengan melakukan observasi, wawancara, catatan lapangan terhadap pemulung berkaitan dengan penelitian yang telah dilakukan pada kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan.

2. Keteralihan yaitu seorang peneliti hendaknya mencari dan mengumpulkan kejadian empiris data dan kesamaan konteks. Artinya sample yang peneliti teliti diharapkan mempu men jeneralisir, sehingga penemuan penelitian yang diperoleh oleh sampel yang secara representative mewakili populasi pemulung dengan mencari dan mengumpulkan kejadian-kejadian yang diamati untuk mencari kesamaan konteks.

3. Kebergantungan yaitu peneliti bergantung kepada kemampuan peneliti sendiriuntuk melakukan penelitian terhadap pemulung secara berulang-ulang sehingga mencapai suatu kondisi yang sama dan hasil secara esensi sama pula.

4. Kepastian peneliti dengan responden berharap memiliki kesepakatan apa yang diinginkan peneliti terhadap apa yang ditelitinya terhadap responden dengan tidak menyampingkan data yang diperoleh dari hasil observasi, wawancara, catatan lapangan maupun dokumentasi sehingga mampu dipertanggung jawabkan dan dapat dipastikan kebenarannya serta factual.



[1] Prof. DR. Lexi J. Moleong, M.A, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Edisi Revisi h. 224

[2] J. Vredenbregt, Metode Dan Teknik Penelitian Msyarakat, PT Gramedia Jakarta 1984, Cet- VI, h. 33

[3] Ibid, h. 38

[4] Peranan peneliti sebagai pengamat dalam hal ini tidak sepenuhnya tidak dalam pemeranserta tetapi melakukan fungsi pengamatan. Ia sebagai anggota pura-pura jadi tidak melebur dalam arti sesungguhnya peranan demikian masih membatasi para subjek menyerahkan dan memberikan informasi terutama yang bersifat rahasia. Lihat Prof. DR. Lexi J. Moleong, M.A, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Edisi Revisi h. 177

[5] Prof. DR. Lexi J. Moleong, M.A, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Edisi Revisi h. 37

[6] Ibid, h. 38

[7] Ibid, h. 39

[8] Hasil wawancara dengan pemulung bernama pak Atin di tempat lokasi di Gg damai Pondok Aren Tangerang tanggal 29-11-2006 jam 12.30 .

[9] Hasil pengamatan peneliti saat mengunjungi lokasi di Gg damai Pondok Aren Tangerang, Tanggal 15-12-2006, Jam 10,00.

[10] Hasil wawancara dengan ibu Mina ditempat lokasi kejadian di Gg Damai Pondik Aren Tangerang tanggal 04-12-2006 jam 13.30

[11] Prof. DR. Lexi J. Moleong, M.A, Metode Penelitian Kualitatif, ( Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. Edisi Revisi h. 288-302

[12] Ibid. h.288

[13] Ibid. h.288

[14] Ibid. h.289

[15] Ibid. h.289


BAB IV

TEMUAN DAN ANALISIS DATA PENELITIAN


A. Temuan Data Lapangan

1. Keadaan Umum Wilayah Jurang Mangu Barat, Pondok Aren Tangerang.

Kelurahan Jurang Mangu Barat terletak di sebelah timur Kabupaten Tangerang dengan luas wilayah kurang lebih 260,090 Ha. Letak ketinggian dari permulaan laut sekitar 11 M, dengan curah hujan rata-rata perbulan kurang lebih 17 mm. jarak dari ibukota Kabupaten sekitar 60 km yang dihubungkan oleh jalan Kabupaten.

Untuk batas wilayah dan sarana dan prasarana kelurahan Jurang Mangu Barat terdapat 4 (empat) bagian yaitu :

Utara berbatasan dengan : Kelurahan Peninggilan

Timur berbatasan dengan : Kelurahan Jurang Mangu

Selatan berbatasan dengan : Kelurahan Pondok Ranji

Barat berbatasan dengan : Kelurahan Pondok Aren dan Kelurahan

Pondok Jaya.

· Sarana Pendidikan Agama

1. Aliyah PG, 6 Tahun : 1 buah

2. Tsanawiyah PGA 4 tahun : 2 buah

3. Madrasah Ibtidaiyah : 4 buah

4 Madrasah Diniyah : 4 buah

5. Pondok Pesantren : 3 buah

· Sarana Pendidikan Umum

1. SLTA :2 buah

2. SLTP :4 buah

3. SD :6 buah

4. TK :10 buah

· Penduduk Berdasarkan Pendidikan

1. Sarjana Lengkap : 105 orang

2. Sarjana Muda : 150 orang

3. SLTA : 2110 orang

4. SLTP : 2319 orang

5. SD : 2912 orang

6. Drop Out : 207 orang

7. Buta huruf : 316 orang

· Berdasarkan Peruntukan

1. Pertanian Sawah : 460 Ha

2. Pertanian palawija : 7 Ha

3. Perkebunan : 7 Ha

4. Empang : 4,6 Ha

· Lapangan Kerja

1. Buruh tani : 14.556 orang

2. Pedagang : 2.845 orang

3. Pertukangan : 2.400 orang

4. PNS : 2.470 orang :

5. Pegawai Swasta : 2.941 orang

6. ABRI : 299 orang

7. Pensiunan : 803 orang

8. Purnawirawan : 883 orang[1]

2. Keseharian Pemulung dalam aktivitasnya.

Keseharian para pemulung dalam memulai aktivitasnya yakni dengan mencari barang bekas, mulai pukul 03.00 dini hari kemudian mereka akan pulang kembali, setelah barang bekas yang mereka cari sudah terkumpul banyak.

Pekerjaan pemulung tidak dilindungi oleh instansi ataupun organisasi resmi, seperti Depnaker ataupun LSM. Mereka berdiri sendiri, dikarenakan insiatif dari seorang Bos yang ingin menjalin suatu hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain yakni antara Bos dengan pemulung. Para pemulung menyadari dari hubungan yang terjalin, mereka akan mendapatkan pendapatan yang menjanjikan, maksudnya dengan mencari barang bekas mereka pasti akan mendapatkan uang yang tentunya disesuaikan dari sedikit banyaknya barang bekas yang diperoleh. Pekerjaan ini tentu dapat diterima dengan baik oleh para pemulung kemudian merekapun ikut bergabung dengan Bos. Pemulung bersedia bergabung dikarenakan pekerjaan tersebut dapat membantu keberlangsungan hidup mereka sehari-hari bila dibandingkan dengan kehidupan mereka di kampung halamannya, yang mana mereka tidak mempunyai pekerjaan tetap, artinya mereka tidak mempunyai pendapatan yang pasti untuk kelangsungan hidup mereka.

Pekerjaan dan kehidupan mereka diketuai dan diorganisir oleh seorang Bos. Bos adalah seorang ketua yang berperan besar dalam menjamin kelangsungan hidup mereka

Pada tanggal 4 juli 2007 peneliti bersama seorang teman datang mengunjungi tempat dimana pemulung berada, yakni di Rt.004 Rw. 04 Gang Damai Desa Jurang Mangu Barat, Pondok Aren Tanggerang. Saat itu waktu menunjukkan pukul 11,30, peneliti mengamati daerah sekitar pemulung dengan seksama. Dilokasi tersebut, para pemulung terlihat sibuk mengeluarkan barang-barang dari gerobak dan karung. Kemudian peneliti berputar-putar mengelilingi daerah tersebut tanpa disadari oleh pemulung. Tak lama waktu dzuhur pun tiba, peneliti bersama seorang teman menunaikan sholat berjamaah di masjid, kebetulan di lokasi tersebut terdapat sebuah masjid. Setelah sholat dzuhur peneliti mendatangi tempat lokasi untuk memperkenalkan diri, kebetulan didepan salah satu rumah pemulung, terdapat seseorang yang sedang duduk santai. Peneliti datang menghampiri seorang pemulung yang sedang duduk didepan rumahnya yang terbuat dari triplek. Peneliti memperkenalkan diri sembari mengobrol ringan.Pemulung tersebut bernama Pak Atin[2].

Kesan pertama pertemuan, Pak Atin agak bingung dan sedikit tertutup. Hal tersebut dapat peneliti pahami mengingat pertemuan tersebut adalah kali pertama peneliti mewawancarai Pak Atin.

Menurut Sajogyo, Pujiwati Sajogyo suatu pembaharu mengenai suatu perubahan berdasarkan keberhasilan dan kegagalan, dan pembagian terakhir adalah mencatat faktor-faktor yang dianggap paling penting dalam mempengaruhi hasil.

Sesudah mengumpulkan, mengatur dan menghubungkan faktor-faktor yang menentukan penerimaan dan penolakan, suatu pola pembawa unsur baru. Kita menyebut rencana (plan), dan dalam pengertian proses hal ini disebut tindakan atau aksi.

Kemudian dalam seluruh proses itu, sampai dengan saat ditolak atau diterimanya pembaharuan itu kedalam masyarakat setempat, terdapat sejumlah teknik yang digunakan oleh pembaharu[3].

Pada tanggal 6 juli 2007 peneliti mendatangi kembali tempat lokasi para pemulung pada pukul 10.00 WIB, kebetulan Pak Atin ada dirumah dan baru saja pulang dari pencarian barang-barang bekas.Peneliti merasa tidak tepat datang pada waktu itu, karena Pak Atin terlihat lelah, akan tetapi tidak demikian dengan pak Atin yang bersikap biasa saja dan memanggil kembali peneliti untuk sekedar mengobrol ringan. Kemudian peneliti menyodorkan rokok untuk memulai perbincangan dengan Pak Atin. Tidak lama Pak Atin terasa semakin akrab dan santai dengan perbincangan kami. Dalam perbincangan tersebut peneliti ingin lebih mengetahui tentang berapa jumlah pemulung keseluruhan yang berada di pemukiman tersebut dan berapa pemulung yang sudah berkeluarga dan berapa pemulung yang masih bujangan serta barang apa saja yang berguna dari hasil memulung?

Kemudian Pak Atin menjelaskan:

“ Jumlah keseluruhannya adalah 20 orang, jumlah bangunan rumahnya 12 rumah, yang masih bujangan ada 8 orang tapi yang delapan orang ini tidak tetap, soalnya kalau mereka pulang kampung belum tentu mereka datang kembali ke Tangerang, malahan mereka nyuruh temannya untuk datang ke Tangerang untuk menjadi profesi pemulung dengan bergantian. Tapi kalau yang berkeluarga mereka tetap disini, mungkin kalau pulang kampung kalau lagi panen padi. Setelah pekerjaannya selesai mereka baru pulang kembali ke Tangerang. Kalau barang-brang yang saya cari dan berguna sebenarnya banyak seperti Aqua gelas/botol, behel, besi, buku, kaleng besi, plastic, kardus karpet, Koran, logam, kantong semen”.[4]

Pukul 03,00 WIB para pemulung bangun dari tidurnya. Kemudian mereka berangkat dengan membawa gerobak dan karung untuk membawa hasil pungutan barang bekasnya, biasanya para pemulung berkeliling menyebar di beberapa daerah seperti Kreo Ciledug, Cipulir, Bintaro. Semakin ia jauh melangkah, semakin banyak pula hasil pungutannya. Mereka kembali kerumah sekitar pukul 11,00 WIB, sesampainya dirumah para pemulung membongkar barang-barang bekas hasil pungutan dari gerobak dengan dibantu istrinya. Barang-barang itu kemudian dibersihkan, dan dipilah-pilah agar terlihat rapi. Setelah selesai para pemulung mencari barang bekas, para pemulung istirahat sejenak untuk memulihkan tenaga, setelah itu mereka melakukan aktivitas lain, seperti menonton tv dengan keluarga, menonton dengan teman-temannya, ada juga yang membuat pupuk, merokok, dan duduk-duduk. Pukul 12,00 WIB, kebanyakan dari mereka beristirahat dengan tidur siang, sedangkan pemulung lain berincang-bincang dengan teman-temannya sambil menonton tv.

Pukul 16,00 WIB mereka merapihkan barang hasil memulung kemudian mereka menimbang barang hasil pungutannya ke Bos. Semakin berat atau banyak barang yang mereka dapatkan, semakin banyak pula mereka mendapatkan pendapatannya. Selesai menimbang, pukul 17,00 WIB, kebanyakan dari pemulung membuat pupuk tanaman di belakang kontrakannya sebagai usaha sambilan. Kemudian pukul 18,00 WIB, mereka kembali beristirahat dengan menonton TV, berbincang-bincang, bercanda dan bercengkrama dengan keluarga, kemudian mereka tidur sampai waktunya untuk beraktivitas lagi. [5]

Sudah menjadi kebiasan, para pemulung untuk pergi mencari barang bekas di pagi hari dan pulang di siang hari atau berpergian di siang hari dan pulang sore harinya. Ketika hasil barang temuannya banyak, maka para pemulung sangat senang apalagi jika barang yang mereka dapatkan lebih dari yang mereka targetkan, sedangkan jika barang yang mereka dapatkan ternyata hanya sedikit, mereka harus menghemat pengeluaran dan kebutuhan rumah rumah tangganya.

Berikut adalah harga barang-barang bekas yang dapat dijual di pabrik[6]

NO

NAMA BARANG

UKURAN/BERAT

HARGA

1

Aqua gelas/botol

1 kg

Rp. 3.500

2

Behel

1 kg

Rp. 1.000

3

Besi

1 kg

Rp. 700

4

Buku

1 kg

Rp. 500

5

Kaleng besi

1 kg

Rp. 500

6

Kantong semen

1 kg

Rp. 1.500

7

Kardus

1 kg

Rp. 550

8

Karpet

1 kg

Rp. 300

9

Koran

1 kg

Rp. 500

10

Logam

1 kg

Rp. 500

11

Plastik

1 kg

Rp. 600

3. Hubungan Bos dengan Pemulung

Hubungan yang terjalin antara Bos dengan pemulung merupakan hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Dikatakan menguntungkan karena pemulung dapat menukarkan barang yang mereka dapat dengan uang, begitu juga dengan Bos. Semakin banyak barang bekas yang ia dapatkan dari pemulung maka semakin banyak juga keuntungan yang ia peroleh dari penjualan kembali barang-barang tersebut ke pabrik. Hubungan atara Bos dengan pemulung tidak selalu mengenai pekerjaan. Bos juga bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan para pemulung, seperti Bos bertanggung jawab dalam menangani kelayakan tempat tinggal mereka, listrik dan kesehatan. Bos juga menawarkan pinjaman kepada pemulung yang membutuhkan, baik itu untuk keperluan rumah tangga ataupun kesehatan. Adapun cara mengembalikan pinjaman kepada Bos yakni dengan cara memotong sebagian dari hasil pendapatan pemulung. Sebagai contoh, pendapatan pemulung ketika memungut barang bekas ditimbang. Hasilnya mencapai Rp 30,000, - (Pendapatan kotor) kemudian dipotong dengan membayar hutang kepada Bos menjadi Rp 20,000, -(Pendapatan bersih). Hubungan Bos dengan para pemulung adalah saling menguntungkan. Semakin banyak pemulung di daerah tersebut maka semakin banyak pula pendapatan Bos dari hasil pencarian para pemulung. Begitu juga dengan pemulung, selama mereka mau bekerja mengais sampah maka mereka akan mendapatkan uang serta fasilitas lainnya seperti tempat tinggal dan listrik yang ditanggung oleh Bos.[7]

Bos menjual barang-barang bekas melalui pabrik di daerah Ciledug. Ketika barang bekas itu sudah banyak terkumpul semua. Bos pergi untuk menjual barang di pabrik daur ulang. Harga barang bekas bisa berubah-rubah karena tergantung barang apa yang dibutuhkan oleh pabrik, maksudnya ketika pihak pabrik membutuhkan logam disaat logam sulit didapat, karena dipasaran logam sangat dibutuhkan, maka harga jual barang bisa naik tinggi. Sebaliknya, harga atau nilai suatu barang itu akan turun, ketika dipasaran barang tersebut mudah didapat dan pihak pabrik sendiri tidak terlalu membutuhkan. Lalu bagaimana para pemulung bisa mengetahui harga barang itu bisa mahal atau tidak? Para pemulung boleh mengawasi dan ikut ke pabrik bersama Bos seperti halnya Pak Dirta yang selalu ikut dengan Bos sebagai orang yang dipercayai oleh semua pemulung. [8]

4. Pengamalan Agama Pemulung

Pengamalan agama pemulung dalam kesehariannya terlihat ketika waktu sholat tiba mereka melakukan dengan berjamaah di masjid, karena antara masjid dengan kediaman para pemulung sangat berdekatan sehingga dapat mudah untuk pergi ke masjid. Setiap kali peneliti datang ke lapangan selalu melihat para pemulung khususnya kaum laki-laki aktivitas ibadah atau menunaikan sholat dimasjid, dan ketika sore harinya para pemulung yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak terlihat anaknya sudah mengenakan baju muslim untuk berangkat mengaji di masjid, walaupun mereka terkadang sulit mengerjakan ibadah mereka seperti sholat. Dilihat dari sudut pandang pemulung mempunyai perhatian terhadap ibadah mereka dalam kehidupan sehari-hari seperti sholat berjamaah di masjid dan anaknya mengikuti kursus mengaji.

B. Hasil Wawancara Terfokus

    1. Wawancara subjek I

Nama : Dirta

Pendidikan : SD

Jabatan : Pemulung

Tempat Wawancara : Lokasi Pemukiman Pemulung

Dalam wawancaranya beliau menuturkan bahwa bekerja keras dapat menghasilkan apa yang diinginkan. Sehingga akan terpenuhi segala kebutuhan hidup sandang, pangan dan papan.

Pendidikan Pak Dirta hanya sampai pada tingkat sekolah dasar sehingga dia tidak banyak berharap dengan masa depan diri dan keluarganya. Rendahnya pendidikan dan sulitnya mencapai kehidupan yang lebih baik, membuat Pak Dirta berpikir, bahwa dengan cara bekerja keras sebagai pemulung merupakan salah satu jalan keluar bagi dirinya untuk mengatasi masalah hidup.

“Yang penting buat makan, syukur-syukur ada lebihnya buat keperluan anak. Apalagi anak saya kan sudah sekolah di SD jadi harus puter otak lagi gimana anak saya biar tercukupi biayanya, yang saya takutkan kalau ada biaya sekolah yang mendadak, seperti beli buku sekolah, makanya saya itu pengen banget liburan di Ancol kalau gak di Dufan buat nyenengin keluarga. “[9].Lebih lanjut lagi Pak Dirta Mengatakan bahwa “dengan bekerja keras itu akan mendapatkan hasil yang memuaskan”[10]

Pernyataan Pak Dirta diatas sesuai dengan yang diajarkan oleh agama Islam yang mengajarkan seseorang agar hidup selalu mempunyai arah tujuan dan ditanamkan secara gambling bahwa keinginan itu wajib diwujudkan dengan dorongan jihad[11].

Pak Dirta selalu bekerja keras. Pekerjaan merupakan kunci sukses bagi kehidupan Pak Dirta, maka dari itu beliau tetap bertahan menjalani profesi ini walaupun terlalu berat untuk mengganti profesi lain karena membutuhkan biaya yang tidak sedikit menurutnya.

“mungkin hampir tiap hari saya mikirin nyari kerja yang lebih baik, saya itu pengennya berdagang seperti es campur, es buah kelapa sebenarnya saya itu punya cita-cita banyak tapi yaitu dulu saya harus nyari duit yang banyak”

Sebelumnya Pak Dirta menjadi pedagang sekuteng dan mendapatkan penghasilan yang tidak menentu. Menurut beliau profesi tersebut terasa berat karena beliau dituntut oleh waktu, misalnya sekuteng itu harus habis malam ini, yang menjadi kendala adalah jika malam itu sekuteng tidak habis.

“Sebelum saya bekerja menjadi pemulung saya itu udah nikah 3 kali tapi yang dulu gak punya anak, ya. Mungkin belum jodoh kali? Saya bekerja disini mulai tahun 1996-an. Saya dulu jualan, jualannya sekuteng di kapuk terus saya berpindah-pindah. Sekitar satu bulan dua bulan saya berganti tempat di mampang, buncit, saya jualan sekitar dua tahun.Langsung ganti profesi sekarang ini. Tapi sebenarnya hasilnya sama-sama juga, menggeluti profesi ini sebagai pemulung dan penjual sekuteng. Enaknya jadi profesi pemulung itu berangkatnya siang, tapi kalau sekuteng itukan malam. Jadi kalau jualan sekuteng itu sehabis isya saya jualan sampai jam 5 pagi nanti siangnya saya tidur. Kemudian saya diajak sama tetangga untuk menjadi seorang pemulung waktu masih ke istri yang kedua”.

Menurut Pak Dirta dibanding pekerjaan dahulu pekerjaan sekarang lebih nyaman dan juga merasa betah dan tidak terlalu berat sehingga dapat memanfaatkan banyak waktu luang.

“Kalau dipikir, penghasilan menjadi pemulung lebih baik. Dari segi waktu juga santai dan saya merasa cocok dengan pekerjaan ini, tapi ya gitu saya tanggung resikonya, bahwa menjadi pemulung itu orang mengatakan sangat hina sekali”.

Menurut beliau yang paling tidak nyaman sebagai pemulung adalah karena identik dengan maling, jorok dan kotor sehingga anggapan orang-orang bahwa pemulung itu orang yang harus diwaspadai ketika melewati perumahan.

“Pertama saya menanggung istri dan anak, kedua saya sebagai pemulung pastinya saya di hina diejek sama orang lain malahan kemaren saya jadi sasaran warga bahwa di kampung sebelah ada yang kehilangan, kebetulan besoknya saya lewat sehabis kejadian itu, sama warga setempat saya itu hampir dipukuli, tapi untungnya gak sampai kesitu.”

Para pemulung melakukan aktivitas karena mereka mengejar sesuatu, yakni uang yang dapat memenuhi kebutuhan mereka sehari- hari dan merekapun mempunyai tujuan serta usaha (ihtiar) yang tidak kenal lelah untuk bertahan hidup, maka aktivitas tersebut memiliki arti penting bagi pemulung.

Pekerjaan menjadi seorang pemulung tidaklah mudah dan nyaman seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Mereka berusaha keras mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Mereka harus membiasakan diri berangkat dini hari disertai dinginnya udara, dengan membawa sebuah karung dan gerobak untuk menyimpan barang-barang yang dibawanya (barang bekas).

“Berangkat pukul 03.00-10.00 dan itu pun saya pulang paling siang biasanya pukul 09.00. Tapi kalau ada pekerjaan, disuruh boss untuk menyortir barang ke pabrik. Saya harus ikut, itung-itung cari tambahan. Teman-teman biasanya kalau berangkat pukul 13.00 gitu, jadi itu menyebar ke beberapa daerah.”

Tidak hanya itu saja yang dilakukan oleh pemulung, mereka juga berniat mencari pekerjaan yang lain atau penghasilan tambahan guna memperbaiki nasib mereka. .

“Mungkin ada, seperti nyortir barang bekas sama bos, kemudian disuruh orang bawa barang-barang kalau orang itu mau pindahan rumah. Tapi itu kan jarang. Ya…itung-itung rezeki tambahan. Biasanya saya kalau disuruh orang bawa barang-barang dikasih duit sebesar 20.000 rupiah, sekalian saya sama-teman-teman bikin pupuk buatan sehingga bisa bareng-bareng bikinnya”[12].

Pengamalan Agama

Para pemulung mempunyai keinginan yakni dapat melakukan aktivitas agama secara penuh. Namun, mereka merasa dengan kesibukan sehari-hari seperti, mengenakan pakaian untuk mencari barang-barang bekas kemudian kotor dan mereka bekerja ketika waktunya shalat dzuhur dan ashar. Maka hal tersebut menjadi salah satu kendala yang menghambat untuk beribadah

Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui lebih jauh sampai dimana pengamalan agama pemulung dalam beribadah. Apakah mereka memahami tentang pengetahuan pendidikan agama atau memang mereka sama sekali tidak memahami tentang pengetahuan agama? Seperti mengetahui hukum-hukum dalam ajaran Islam (fiqih). Perbuatan apa saja yang dilarang, contoh mencuri. Perbuatan apa saja yang diwajibkan, contoh shalat, apa saja rukun shalat, apa saja yang membatalkan shalat dan perbuatan apa saja yang dianjurkan, contoh infak.

Tahap awal peneliti mempertanyakan dari mana Pak Dirta mendapatkan pengetahuan agama, sehingga Pak Dirta tahu hukum-hukum agama yang berlaku dan bagaimana dalam kesehariaannya. Ternyata setelah peneliti mengajukan beberapa pertanyaan maka dapat dipahami bahwa Pak Dirta jarang sekali mendapatkan pengetahuan dan keilmuan masalah agama. Pak Dirta mendapatkan sedikit banyak pengetahuan itu dari majlis ta’lim dikampungnya.

“Kalau di sini (Jurang mangu barat) gak pernah, tapi kalau pulang kampung saya ikut, soalnya banyak teman-teman yang ikut jadi sekalian temu kangen gitu”

Ketika mengikuti pengajian di kampung, mereka mendapatkan berbagai ilmu seperti mempelajari Fiqh, membaca Iqra, Akidah Akhlak, sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah..

“Yang diajarin sih. Paling gak jauh tentang hukum. Hukum ibadah fiqih sama Iqra dan persoalan hidup, kaya’bagaimana baik terhadap orang lain pokoknya mah banyak”

Sebagian pemulung menunaikan shalat Dzuhur berjamaah di Masjid, seperti peneliti pertama kali datang ke lokasi tersebut dan berkali-kali melakukan pengamatan. Walaupun pemulung yang sholat berjamaah hanya itu-itu saja, tidak menutup kemungkinan bagi pemulung yang lain menunaikan shalat didalam rumah. Pak Dirta mempunyai jawaban sendiri mengenai hal ibadah, seperti sholat, menurutnya setelah mengerjakan sholat perasaannya menjadi tenang, segar dan nyaman.

“Kalau menurut saya pengalaman dalam beragama enak sih. Kalau buat usaha itu adem, tenang. Kalau mau sholat enak..Kalau buat usaha enak buat di hati saya. Kalau saya mengerjakan sholat itu hati saya tenang ya mungkin setan itu berkurang didalam hati saya itu kalau saya mengerjakan sholat”

Dari keterangan di atas peneliti mendapatkan hipotesa-hipotesa, bahwa kegiatan pemulung dalam menjalankan ibadah masih kurang, dikarenakan pekerjaan mereka dalam mencari barang bekas dekat dengan banyak kotoran. Namun dengan melakukan pengamalan agama yang minim, mereka mampu menjalankan hukum-hukum agama dan mengimplementasikan ke masyarakat. Banyak masyarakat yang menilai bahwa Mereka mengetahui bahwa tindakan mencuri itu dilarang dalam agama Islam sehingga mereka dapat mencegah tindakan-tindakan yang tidak terpuji. Pengetahuan merupakan cipta karsa dan budaya, yang dapat dirasakan oleh semua orang yang berusaha ingin mengetahui dan mempelajarinya[13]

“Mungkin itu bisa untuk mengerem, orang yang beramal bagus, orang yang sholat juga bagus, terus kalau dilihat temen-temen itu gak hina lah terus tergantung orangnya juga kalau beribadah khusyuk gak, kalau gak khusyuk berarti kurang percaya sama yang Diatas. saya waktu itu nonton patroli seorang ustadz kiyai memperkosa remaja itu gimana ceritanya he…he…”[14]

Menurut pak Atin bahwa seseorang yang kuat ibadahnya maka ia kuat juga imannya. Bagi yang kuat imannya maka didunia ini seakan-akan lapang dan tenang dalam menghadapi cobaan, karena tahu ilmu yang dipergunakan untuk kehidupan di dunia dan akherat sehingga derajatnya lebih tinggi[15]

“Mungkin bisa, tapi tergantung cara usaha kita ya..? kalau yang saya inget waktu saya pengajian bahwa tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum apabila dia memulainya sendiri, jadi harus berusaha gak tau itu hadis atau Al-Quran? tapi kalau saya itu malah menjadikan pelajaran sih”

Kualitas Hidup

Upaya-upaya pengembangan masyarakat dapat dilihat sebagai peletakkan sebuah tatanan sosial dimana manusia secara adil dan terbuka dapat melakukan usahanya sebagai perwujudan atas kemampuan dan potensi yang dimilikinya sehingga kebutuhannya (material dan spiritual) dapat terpenuhi. Oleh karenanya, tidak akan terwujud bila sekedar tawaran sebuah proyek usaha kepada masyarakat. Melainkan suatu program pembenahan struktur sosial yang mengedepankan keadilan[16].

Peneliti melihat adanya kemandirian sosial tanpa melibatkan pihak luar maupun dalam, akan tetapi mereka sanggup berdiri sendiri tanpa merugikan orang lain seperti halnya dengan keluarga Pak Dirta mengatakan bahwa:

“Biarin orang bilang apa yang penting saya tidak ngerugiin orang lain, malahan orang lain malah iri sama saya, kayaknya mereka iri sama saya ketika saya beli perabotan rumah tangga seperti kompor, TV, pokoknya peralatan rumah, paling ada mahasiswa ataupun dari pihak majlis ta’lim ibu-ibu yang ngasih pakaian bekas, terus kalau bulan puasa itu makan sahur bareng sama adik-adik mahasiswa”.

Dengan begitu mereka beranggapan bahwa rezki itu memang sudah diatur oleh Allah sehingga mereka yakin akan hal itu. Walaupun tidak menutup kemungkinan mereka masih hidup kekurangan, tetapi itu bukan masalah besar. Seperti halnya sakit, biaya sekolah, dan kebutuhan dapur.

Menurut Pak Dirta bahwa suatu kehidupan itu yang mengatur, adalah Ia Yang Maha Kuasa karena Pak Tirta merasakan itu dan bersyukur akan dirinya karena selama ia hidup tidak mengalami masalah yang berat. Seperti halnya penyakit. Walaupun ia tinggal ditempat kumuh tetapi penyakit yang pernah diderita oleh Pak Dirta bukanlah penyakit yang parah, seperti demam, muntaber, mencret dan batuk. Untuk biaya pengobatan mereka tidak perlu mengocek saku dalam-dalam, cukup dengan pengobatan tradisional dengan minum jamu dan menyewa tukang pijat

“Kalau saya sih badan saya tidak rewel sih yang penting pagi makan nasi, untungnya sih badan saya tidak ada penyakit, mungkin kalau parah saya pijit atau urut di tukang urut

kalau saya kerja tidak maksain jadi kalau saya kecapean saya berhenti jadi saya gak maksain, itu resiko saya kerja sebagai pemulung”

Oleh karena itu, para pemulung harus mengimbangi pola makan yang sehat dan teratur. Ketika peneliti menanyakan makanan begizi yang biasa dikonsumsi. Pak Dirta menyebutkan bahwa makanan bergizi yangbiasa dikonsumsi adalah telur, ikan dan sayuran, seperti halnya kebanyakan orang lain. Tetapi jika pada hari itu keuangan tidak mencukupi, mereka hanya makan dengan mie instant.

“Saya kalau makan itu lauknya ikan bandeng sama sayur asem, lalapnya timun itu hampir setiap hari, tapi kalau lagi ngepas saya makan mie Instan, kalau ikan bandeng itu satunya Rp2000 bagi saya dengan lauk seperti itu “saya sudah merasa senang walaupun setahun saya belum tentu makan daging, soalnya setiap Idul Adha belum tentu warga sini ngasih daging tapi saya tidak kecewa anggap aja ikan itu daging he..hee..”

Kalau makan saya 2 kali sehari, kalau istri saya sih bisa makan 4 kali sehari, tapi hobinya istri saya itu minum es, sehari bisa minum es lima kali sehari makanya istri saya itu gemuk”

Tentunya untuk membeli lauk pauk, para pemulung harus bisa mengatur keuangan dengan baik, mengingat masih banyak kebutuhan pokok lainnya yang harus dipenuhi, seperti untuk makan sehari-hari, biaya sekolah anak dan biaya-biaya yang tidak terduga lainnya. Maka peneliti mencoba mewawancarai Pak Dirta mengenai pengelolaan keuangan sehari-hari.

“Kotornya saya dapat Rp 30,000, -, kemudian saya setor ke Bos Rp 10,000,- buat bayar utang dan keperluan makan. Jadi bersihnya Rp 20,000,-. Ya paling itu tadi kalau ada yang nyuruh untuk angkat barang (pindahan) biasanya saya dikasih sama orang itu sebesar Rp 20,000,- itu juga jarang banget. Sambil itu juga bikin pupuk buat tanaman lumayan juga buat nambahin duit buat beli rokok, tapi mas kalau dikampung musim panen, saya pulang untuk ngarit padi buat hasil tambahan[17].”

Dengan keuangan yang serba terbatas, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pada dasarnya para pemulung punya keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik. Permasalahannya adalah pendapatan pemulung yang hanya cukup dipakai untuk dua, tiga hari kedepan kemudian mereka mencari lagi, dan itu dilakukan terus-menerus. Tentu ini sulit dijalani bagi pemulung yang berharap dapat lepas dari kemiskinan. Pak Dirta mempunyai hobi melamun tentang masa depan yang cerah, menurutnya dengan mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya, maka begitu banyak yang akan ia lakukan untuk masa depan. Peneliti menambahkan, apakah Pak Dirta mempunyai keinginan untuk mengganti profesi pemulung dengan profesi lain untuk kehidupan yang lebih baik?

“Pengen-sih pengen tapi gimana ya apalagi saya aja mau nabung buat masa depan susah banget. Sebenarnya cita-cita saya itu banyak, seperti jual es buah, nyopir taksi, pokoknya banyak mas saya sebenarnya jugatidak mau jadi profesi ini tapi gimana lagi saya aja dari keturunan gak punya, udah gitu saya orang bodoh”[18]

Selanjutnya peneliti menanyakan pendapat Pak Tirta mengenai kehidupan bermasyarakat menurutnya bahwa ada sebagian masyarakat yang iri dengan kehidupannya, ternyata perilaku masyarakat tersebut tidak membuat para pemulung pesimistis. Pemulung bahkan bersikap acuh tanpa sedikitpun memikirkannya

“biasa-biasa saja, aman, damai aja. Tidak ada omongan yang macam-macam. Pokoknya kalau dilingkungan ini aman-aman saja, malahan masyarakat minta barang bekas dari saya, kayak lampu, mainan, kardus dan lain-lain. Walaupun ada juga yang ngambil tidak izin tapi saya diemin aja, saya mah tidak mau cari gara-gara, iklasin aja, toh itu juga gak terlalu ngerugin saya koq”

    1. Wawancara subjek II

Nama : Ferry

Pendidikan :SD

Jabatan : Pemulung

Tempat Wawancara : Lokasi Pemukiman Pemulung

Sosok yang satu ini, mempunyai hubungan yang dekat dengan peneliti karena usia Ferry dengan usia peneliti tidak jauh berbeda sehingga mempermudah peneliti untuk melakukan wawancara lebih dekat secara emosional. Peneliti memilih Ferry untuk diwawancara karena beberapa alasan, Pertama Ferry sudah lama menjalani profesi pemulung dan Kedua Fery mempunyai kehidupan yang menarik untuk peneliti kaji. Peneliti ingin menggali seberapa besar harapan Ferry hidup untuk masa depan dan bagaimana mengatasi masalah hidup yang serba terbatas. Ferry merupakan sosok yang mandiri karena di usianya sekarang ia mampu menghidupi dirinya sendiri dengan menggeluti profesi pemulung selama 4 tahun. Dikampung halamannya, Ferry mempunyai masalah dengan keluargannya. Kemudian Ferry berangkat dari kampung halaman bersamatemannya untuk mencari nasib di tempat lain.

“Temen-temen yang satu kampung sama Gue mengajak gue. Daripada dikampung tidak ada pekerjaan, mendingan kekota nyari duit. Walaupun gue sama orang tua sering berantem, udah gitu nyokap sama bokap sering berantem makannya gue pusing “[19]

Walaupun Ferry telah melakukan tindakan yang penuh resiko untuk masa depannya, namun sejauh ini kehidupan Ferry lebih baik dibandingkan kehidupan di kampung halamannya bersama orang tuanya yang kerap diwarnai permasalahan keluarga. Ia mengungkap bahwa semenjak tinggal disini dan menjadi pemulung, Ferry bisa tidur nyenyak, tidak seperti rumahnya dikampung. Kesehariannya Ferry tidak jauh berbeda dengan pemulung yang lain. Hanya saja jadwal aktivitas Ferry yang berubah-ubah. Terkadang ia memulai aktivitasnya pada pagi hari tetapi tidak jarang pula ia memulai aktivitasnya pada malam hari

“Gue kalau berangkat dari jam 03,00 WIB sampai jam 10,00 WIB itu juga kalau barang cariin gue dapet banyak, tapi kalau gak dapet gue berangkat lagi jam 19,00 WIB sampai 01,00 WIB. Kalau jalan malam itu enak tidak panas udah gitu agak nyantai dan tidak rame. Biasanya kalau malam itu banyak, soalnya rumah-rumah itu bikin acara kayak acara pernikahannya kalau tidak, sunatan terus acara-acara lainnya. Kan banyak tuh aqua gelas sama kardus jadi gue gak perlu capek jalan jauh-jauh”

Ferry punya jadwal tambahan pada malam hari dan resiko yang didapat sangatlah berbahaya, yakni dianggap pencuri oleh masyarakat yang khawatir akan keselamatan barang- barang pribadinya. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin mengetahui, bagaimana Ferry menghadapi permasalahan tersebut.

“Waduh bang gue udah kebal ama omongan dan cacian kayak gitu, biarin orang mau ngomong apa yang penting gue gak ngelakuin, kalau mereka gak percaya sama gue cek aja isi karung gue ada gak? Gue nih bang, kalau ngadepin orang kayak gitu pengen gue ajak ribut, tapi gue sabar aja, soalnya dikampung orang lain,kita kan pendatang”.

Memang berat yang dijalani seorang pemulung dalam mencari nafkah untuk bertahan hidup tapi Ferry terus bersemangat. Usia Ferry masih sangat muda tapi ia tahu betul apa yang ia lakukan. Ferry mempunyai jadwal malam maka tidak menutup kemungkinan barang yang didapat akan banyak dan mempengaruhi besarnya penghasilan. Dan Ferry bisa beristirahat ditengah malamnya karena biasanya Ferry pulang pukul 01,00 WIB.

“Biasa aja sih, kalau dapat duit juga gue simpan, jadi kalau ada lebih gue kirimin sama ortu gue. Walaupun profesi gue kayak gini tapi gue bisa ngidupin gue sendiri malahan gue bisa ngirim duit buat orang tua gue. Bang asal tau aja ortu gue itu tidak tau profesi gue sekarang, nanti gue dimarahin”[20]

Ketika istirahat, peneliti mempergunakan waktu tersebut untuk bersantai sembari berbincang-bincang dengan teman-teman Ferry sambil merokok, nonton TV bareng, dan yang lebih mengejutkan lagi bagi peneliti saat Ferry meminum minuman keras (miras) tapi peneliti mencoba untuk tidak terpengaruh oleh kondisi dan situasi tersebut. Peneliti mencoba tenang seolah tidak terjadi apa-apa agar mereka nyaman dengan kedatangan peneliti. Mereka menawarkan minuman tetapi peneliti menolak dengan alasan yang mudah diterima, sehingga mereka tidak menawari minuman keras ke peneliti lagi. Di kesempatan lain Ferry bergabung dengan pak Dirta untuk membuat pupuk tanaman demi mencari penghasilan tambahan.

“…Merokok, nongkrong, sekali-kali minum-minum (miras). Abang jangan kaget ya, gue gak tiap hari begini. Biasanya malam minggu gue ama teman-teman nongkrong, enaknya pas kumpul bareng teman-teman saat itu juga gue beli minuman. Bareng-bareng koq, nonton TV, terus tidur. Disuruh orang bikin pupuk, itu juga tergantung ada orang yang nyari pupuk kalau ga ada ya udah. Saya menjual pupuk itu sekarung Rp 5000,-“

Ferry menyadari betul betapa pentingnya pekerjaan ini, karena didalam bekerja kita akan menemukan kesungguhan. Ia sadar bahwa hasil kerja (Performance) yang diperolehnya akan mencerminkan pula kualitas identitas sebagai muslim[21]. Tetapi Ferry terus mengikuti jalannya waktu sama halnya dengan pemulung lain karena Ferry tinggal dengan para pemulung yang sangat terikat dengan Bos pemulung. Jika Ferry malas dan tidak bekerja maka Ferry merasa tidak nyaman karena para pemulung lain bekerja mencari barang bekas. Kemudian menimbang hasil pencariaannya. Bos akan mengecek siapa saja pemulung yang bekerja dan yang tidak bekerja.

Bos memiliki wewenang atas anggotanya. Fasilitas listrik dan tempat tinggal tentu akan terus diberikan bagi pemulung yang terus dan mau bekerja. Dalam hal ini peneliti melihat adanya hubungan saling menguntungkan antara pemulung dengan Bos pemulung. Pemulung membutuhkan tempat tinggal dan fasilitas pendukung lain sedangkan Bos membutuhkan jasa pemulung guna mendapatkan keuntungan. Hubungan yang terjalin mengakibatkan mereka menghormati sistem yang berlaku, selama hubungan tersebut membawa keuntungan bagi semua pihak. Maka dari itu Ferry selalu bekerja untuk dan menghormati sistem yang ada.

“…Enaknya tinggal disini itu sama bos tempat tinggal dan listrik bos yang ngebiayai, kalau gak ada duit gue minjem sama bos dan itu pasti dikasih sama bos, gue kalau minjem duit sama bos itu sekitar Rp 10,000 – Rp 30,000 buat beli makan, sama rokok. Nanti pas gue nyari barang terus ditimbang dapatnya Rp30,000 nanti dipotong utang gue sama bos Rp10,000 atau Rp 15,000,- soalnya itu otomatis udah dipotong sama bos soalnya kita udah bikin kesepakatan bersama kalau setiap penghasilan dipotong 30% sampai 40%“

[22]

Usia Ferry masih muda dan belum berkeluarga dengan keadaan yang demikian sudah barang tentu pendapatan yangs Ferry peroleh dapat digunakan untuk merencanakan masa depan yang lebih baik. Berbeda dengan Pak Dirta, sebagai kepala keluarga ia harus bekerja keras untuk mencukupi keluarganya. Pendapatan yang ia perolehpun selalu habis untuk konsumsi keluarga sehari-hari, kecil kemungkinan Pak Dirta untuk lepas dari profesi pemulung kecuali jika Pak Dirta mempunyai profesi atau keterampilan lain sebagai sampingan untuk menambah penghasilan.

Pengamalan agama

Ferry mengakui, agama merupakan modal penting menuju akherat bahwa manusia selayaknya mengimani Allah SWT sebagai tuhannya, dan mempelajari agama secara mendalam minimal mengetahui hukum-hukum Islam sehingga dapat menjadi pegangan hidup dunia dan akherat.

Ferry mengungkapkan alasan yang senada dengan Pak Dirta mengenai pakaian yang menjadi suatu kendala dalam beribadah. Ferry sendiri mengatakan bahwa ia belum maksimal dalam melakukan ritual keagamaan, dan menurutnya ia belum mendapat petunjuk dari Allah SWT, namun ia yakin bahwa yang ia kerjakan selama hidup tidak merugikan orang lain.Berikut Ferry mengatakan bahwa mengamalkan agama itu penting.

“Supaya kita tahu mana yang buruk dan mana yang jelek, contohnya seperti mencuri atau apalah. Walaupun gue ini belum taat tapi gue juga tetap bersyukur sama tuhan, bahwa gue baik-baik aja”[23]

Ferry memang tidak mendapatkan pengetahuan agama dari majlis ta’lim atau pengajian terdekat dari pemukiman pemulung tetapi ia mendapatkan pengetahuan agama melalui televisi, yaitu setiap hari minggu pukul 13,00 WIB. Dengan acara Manajemen Qalqu dengan penceramah Aa Gym. Ferry sangat suka dengan penyampaiannya karena mudah dicerna dan bagus untuk didengar, selain itu Ferry juga mendapatkan pengetahuan agama melalui khutbah jum’at. Ferry mengakui walupun ia mengetahui pengetahuan agama melalui berbagai kesempatan, namun ia masih juga kurang maksimal mengamalkan kewajibannya sebagai umat Islam dengan alasan belum mendapat petunjuk atau hidayah...

Pernah suatu hari Ferry bercerita pengalaman buruknya. Ia pernah melakukan pencurian diperumahan, alasannya untuk menambah penghasilannya dan pencurian itu hanya ia lakukan sekali. Kemudian dengan hasil curian tersebut ia jual dengan seseorang. Kemudian ia mendapatkan uang dari hasil curiannya tersebut. Anehnya, ia merasa tidak nyaman memiliki uang tersebut dan ia merasa sulit untuk membelanjakan uang tersebut. Semenjak itu ia sadar apa yang dilakukannya salah dan merasa ini semua kendali dari Allah. Perasaan itu teringat terus dibenaknya setiap ia mencari barang bekas. Mungkin menurut perkiraan Ferry, dengan datangnya hidayah dari Allah SWT, Ferry akan mengubah setiap tingkah lakunya yang buruk sedikit demi sedikit.

Ferry sebenarnya percaya, dengan mengamalkan ibadah seperti sholat, puasa dan zakat dapat mencegah perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji, seperti mencuri, minuman keras (khamar), atau sejenisnya.

Ferry punya pendapat ketika ia menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Puasanya sering batal dan sangat berat melakukannya, menurutnya:

“Wah…..kalau puasa itu berat, soalnya jangankan berbuat maksiat, ngomong jorok aja itu dikurangi pahalanya. Jangankan ngelakuin yang dosa besar dosa kecil aja dosa”

Dalam proses wawancara mengenai masalah keagamaan pemulung. Peneliti mendapatkan kesulitan untuk mengisi questioner karena dengan pertanyaan yang dibuat, peneliti merasa responden (pemulung) kurang nyaman dengan pertanyaan yang diajukan peneliti. Peneliti mencoba melakukan pendekatan secara emosional dengan memanfaatkan strategi untuk menutup ketidaknyamanan dengan cara menciptakan kondisi yang nyaman, percakapan yang santai sembari merokok guna mencairkan suasana lebih akrab. Dengan demikian wawancara yang dilakukan menjadi lebih mudah.

Kualitas Hidup

Kesehatan memegang peranan penting dalam kehidupan para pemulung. Peneliti melihat banyak sampah di lokasi pemulung, baik itu sampah organik maupun non organik, namun mereka terlihat nyaman dan tidak mempermasalahkannya. Dengan lingkungan yang kotor, biasanya akan timbul beberapa macam wabah penyakit, seperti demam berdarah, diare, panas, cikungunya dll tetapi di lokasi pemulung yang sedang peneliti amati, selama ini tidak pernah didapati pemulung yang menderita wabah penyakit yang parah, baik pemulung itu pria dewasa maupun anak-anak. Kebanyakan pemulung di lokasi tersebut mempunyai masalah kesehatan pada pencernaan yang mengakibatkan sakit perut disertai buang air besar yang tidak lancar, demam dan panas.

Pernah peneliti bermalam di salah satu tempat tinggal pemulung yang bernama Pak Atin. Peneliti mencoba mengamati aktivitas pemulung di malam hari. Ketika maghrib menjelang, ternyata nyamuk banyak sekali. Akhirnya peneliti memakai obat nyamuk oles agar peneliti merasa nyaman untuk sekedar mengobrol dan mengamati di lokasi sekitar. Anak kecil berlari-lari, bermain kegirangan bersama teman-temannya dengan leluasa tanpa menghiraukan lingkungan sekitarnya. Orang tua merekapun tidak merasa khawatir karena aktivitas malam itu bagian dari keseharian mereka.

Ketika peneliti mewawancarai Ferry untuk masalah kesehatan. Ferry mengatakan bahwa ia tidak menemukan ataupun pernah mengalami penyakit yang berbahaya pada dirinya tapi ia merasa tenggorokannya sensitif sehingga ia rentan sekali terserang batuk. Penyakit lain yang pernah diderita Ferry, seperti mencret dan demam, selain itu tidak ada lagi.

“Kalau parah gue pergi ke klinik, paling kalau sakit ringan dipijitin sama tukang pijit, dan minum jamu. Kalau duit saya kurang, Bos bisa nambahin atau minjemmin uang. Pokoknya Bos itu perhatian banget dan baik sama bawahannya sehingga gue itu betah tinggal disini”[24]

Dalam hal ini, peneliti ingin menambahkan bahwa ternyata Bos tidak hanya memfasilitasi tempat tinggal, listrik dan pinjaman uang untuk keperluan sehari-hari tetapi Bos juga memfasilitasi keperluan kesehatan walaupun tidak sepenuhnya karena Bos hanya membantu ketika biaya pengobatan yang dikenakan kepada anggotanya dinilai tinggi dan Bos hanya sanggup membayar setengahnya. Kalau ternyata bantuan yang diberikan Bos belum juga dapat menutupi kekurangan pemulung yang sedang berobat, maka biasanya Bos akan menawarkan sistem hutang dengan barang jaminan seperti televisi dan lain sebagainya.

Untuk menjaga kondisi badannya, Ferry mengkonsumsi jamu hampir setiap hari agar badan tetap bugar. Menurutnya dengan minum jamu akan membuat badannya terasa hangat dan menjaga staminanya.

Selain kesehatan, yang tidak kalah penting adalah asupan makanan. Minimal memakan salah satu dari 4 sehat 5 sempurna karena akan membantu meningkatkan daya tahan tubuh kita. Terkadang Ferry makan sekali atau dua kali dalam sehari. Seperti yang telah diungkapkan oleh pak Dirta, untuk masalah lauk pauk, gizi sudah tercukupi. Kemudian peneliti memberikan pertanyaan kepada Ferry mengenai lauk pauk. Ferry menjelaskan,terdapat beberapa menu yang ia konsumsi sehari-hari, seperti Ikan bandeng, sayur dan telor, dengan begitu ia sudah merasa asupan gizinya cukup terpenuhi .Selain harganya ekonomis, makanan tersebut lezat dan sehat. Ferry pun sebenarnya sanggup untuk membeli lauk ayam ketika ia ingin mengkonsumsinya. Berikut jawaban Ferry:

“kadang sekali, dua kali, bahkan tiga kali tapi itu gak tentu sih. Tiap hari juga begitu sayur, ikan itu hampir keseharian gue. Kalau lagi makan, kadang-kadang ayam, karena gue gak punya alat masak, gue numpang masak dirumahnya Pak Atin tapi biasanya dibantuin sama istrinya. Gue kalau lagi makan ayam itu udah kayak orang kaya he…he…kadang Pak Atin ngiri minta sambil bercanda”.

Ferry mengungkapkan, kita tidak boleh malas dan harus bekerja keras, dengan begitu ia akan menjadi seseorang yang hebat dan mempunyai kedudukan yang tinggi karena dengan banyak uang ia akan hidup tenang dan nyaman. Sekarang ini, ia merasa terbelenggu oleh kemiskinan dan hidup dengan keterbatasan. Kemudian ia berfikir bagaimana agar dirinya terlepas dari belenggu kemiskinan dan bebas dengan leluasa dari keterbatasan lagi. Dengan modal seadanya dan membuang rasa gengsi, ia rela menjalankan profesi ini. Walaupun banyak orang beranggapan bahwa profesi pemulung adalah profesi yang hina, kotor dan identik dengan maling tetapi mereka tidak menghiraukan pernyataan-pernyataan itu.

    1. wawancara subjek III

Nama : Atin

Pendidikan : SD

Jabatan : Pemulung

Tempat Wawancara : Lokasi Pemukiman Pemulung

Etos kerja

Alasan mengapa Pak Atin menjalani profesi menjadi seorang pumulung. Awalnya Pak Atin menjalankan usaha tambak ikan bersama Bosnya, dikampungnya yang terletak di Indramayu. Awalnya usaha tesebut lancar sampai datang oknum-oknum yang berusaha merusak usaha tambak ikan, tempat dimana Pak Atin bekerja. Akhirnya usaha tersebut bangkrut karena persaingan tidak sehat.Setelah itu pak Atin berganti profesi menjadi petani dengan status pekerja bayaran maksudnya, ketika musim tanam dan panen si pemilik sawah ini menyewa beberapa pekerja untuk menanam padi dan memanen padi, jadi itu hanya musiman. Pak Atin pun memutuskan berhenti dari pekerjaan tersebut. Karena tingkat pendidikan yang tidak menjanjikan, yakni hanya tamatan SD beliau tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi ekonomi keluarga. Pada akhirnya, sang ibumertua mengajak Pak Atin ke Tangerang pada tahun 1999 untuk bekerja sebagai pemulung dan kini Pak Atin masih menggeluti profesinya.tersebut.

Awalnya memang belum biasa untuk menjadi pemulung, namun semakin hari , Pak Atin semakin nyaman dan betah karena sistem yang ditawarkan oleh Bos sangat sederhana dan mudah diterima. Maksudnya, selama Pak Atin rajin bekerja dan menyetorkan barang-barangnya kepada Bos maka Pak Atin akan mendapatkan fasilitas tempat tinggal dan pinjaman lain.

Tidak jauh berbeda dengan pemulung lain. Aktivitas Pak Dirta, Ferry dan Pak Atin pun sama-sama mengais barang bekas dari berbagai tempat. Namun dalam hal ini, peneliti mengamati bahwa kehidupan Pak Atin jauh lebih baik daripada pemulung lainnya karena Pak Atin mempunyai seorang istri yang juga bekerja. “Bu Siti”, peneliti biasa memanggil nama dari istri Pak Atin. Bu Siti bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perumahan Nilakandi. Dengan demikian Bu Siti mempunyai penghasilan sendiri yang dapat membantu meringankan beban Pak Atin sebagai kepala keluarga. Apalagi Pak Atin baru mempunyai satu orang putri yang kini duduk di bangku SD.

“ya..syukur Alhamdulillah disamping saya bekerja tapi istri juga ikut mencari penghasilan lain , jadi tanggungannya sedikit karena terbantu oleh istri. Masalahnya saya juga pusing ngurusin anak, mau beli buku cetak sama tulis mahal bener udah gitu belum iuran sekolah. Nah..!itu kan pengeluaran mendadak jadi saya dan istri saya mengantisipasi keuangan dan pengeluaran, biaya tak terduga lah…[25]

Masalah keuangan merupakan masalah yang rumit bagi pak Atin karena dengan uang yang seadanya Pak Atin harus mencukupi pengeluaran-pengeluaran yang tidak sedikit jumlahnya, belum lagi jika ada pengeluaran yang mendadak. Untuk itu Pak Atin terus bekerja dan memikirkan beberapa jalan keluar untuk mengatasi keuangan keluarga. Beberapa cara yang ditempuh Pak Atin untuk menambah penghasilannya antara lain : dengan membuat pupuk tanaman. Peneliti melihat dan mengamati langsung aktivitas pembuatan pupuk. Kegiatan ini mereka lakukan pada sore hari karena banyak waktu luang. Peneliti melihat Ferry ikut bergabung dengan Pak Atin dalam proses pembuatannya. Dan hasilnya memang cukup lumayan untuk menutupi kekurang yang ada. Selain membuat pupuk, penghasilan tambahan lain didapat dengan menjadi tenaga sewa. Maksudnya, menjadi tenaga pesuruh ketika ada pihak yang meminta bantuan. Seperti untuk menebang pohon, mengangkat barang saat rumah pindahan, potong rumput, dll. Biasanya pihak tersebut adalah warga perumahan yang terletak di samping kampung pemulung. Pak Atin mendapatkan pekerjaan ini, biasanya ketika sedang beraktivitas mengais barang bekas. Pak Atin mematok harga Rp 30,000, atau Rp 25,000. sesuai dengan tingkat kesulitan pekerjaan tersebut. Namun pekerjaan untuk menjadi pesuruh ini jarang sekali didapat. Mungkin satu bulan sekali atau mungkin tiga bulan sekali.

Pengamalan Agama

Adapun kata keagamaan berarti yang berhubungan dengan nilai-nilai agama yang diajarkan dalam syariat Islam. Jadi pengamalan keagamaan menurut bahasa adalah proses kerja mengamalkan suatu perbuatan yang berhubungan dengan agama.[26]

Peneliti membaca antara pengetahuan dan pengamalan ada kaitan erat dan saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Dan bagaimana seseorang mengamalkan tanpa adanya pengetahuan ataupun sebaliknya.

Peneliti memulai pembahasan mengenai pengamalan agama ini, dengan mengajukan pertanyaan kepada Pak Dirta. Yakni, seberapa penting pengetahuan dan pengamalan agama bagi Pak Dirta?

“contohnya saya punya keluarga anak saya ada tiga kemudia anak saya nanya masalah agama sama saya, sayakan sebagai bapaknya harus bisa menjawab malu dong sama anaknya bapaknya gak bisa jawab, makanya saya juga punya tanggung jawab sama keluarga, dan saya baru merasa bahwa penting juga belajar agama.”[27]

Suatu ketika peneliti melihat putri dari Pak Atin, selepas ba`da maghrib pergi untuk mengaji dengan membawa sebuah Iqra di tangannya. Peneliti menyimpulkan bahwa aktivitas tersebut merupakan bentuk kepedulian orang tua terhadap pendidikan agama sang anak. Apapun profesi dari orang tuanya. Karena peneliti sering singgah ditempat Pak Atin dan peneliti pernah menginap disana, walaupun hanya sehari tetapi sedikit-demi sedikit, peneliti menjadi tahu aktivitas keluarga Pak Atin.

Sebelum pak Atin merantau ke Jakarta. Pak Atin sering mengikuti majlis ta’lim atau pengajian. Jadi, sedikit banyak ia telah memahami dasar-dasar dari ilmu agama seperti mengenai fiqh, tajwid, dan pengetahuan agama lainnya. Peneliti menjadi teringat ketika pertama kali datang ke lokasi. Kemudian shalat dzuhur dan mendapati beberapa pemulung menunaikan shalat berjamaah. Ternyata diantara para jamaah yang sedang shalat dzuhur, salah satunya adalah Pak Atin. Dan ketika bercengkrama dengan Pak Atin mengenai shalat berjamaah, menurutnya sholat berjamaah di masjid itu sangatlah penting.

“….ya penting lah…? Katanya kalau orang sholat berjamaah terus rukun bacaan kita kurang atau salah maka imam sholat yang melengkapinya. Dan mendapatkan pahala sesuai dengan jumlah jamaah dimasjid”.

Menurut ia bahwa dengan menunaikan sholat, hati menjadi sejuk dan tenang dan sebaliknya, kalau tidak mengerjakan kewajibannya maka hati akan tidak akan tenang dan kotor. Begitu juga, usaha tanpa ibadah akan terasa hampa seperti sayur tanpa garam tuturnya. Ada satu kendala yang merupakan kekurangan bagi Pak Atin sendiri, yakni ketika ingin mengerjakan sholat subuh. Pukul 03,00 WIB Pak Atin harus sudah pergi mencari barang bekas, karena kalau Pak Atin berangkat pukul 05,00 WIB maka barang bekas yang dicari sangat sulit didapatkan karena banyak pemulung di daerah Jurang Mangu Barat yang juga mencari barang bekas. Inilah yang menjadi kendala bagi Pak Atin sehingga tidak dapat melaksanakan shalat shubuh.

Berbicara mengenai 5 (lima) rukun Islam, setiap manusia akan terikat dengan lima rukun tersebut kecuali zakat, sahadat dan haji karena sholat dan puasa wajib hukumnya. Bagi orang yang beragama Islam, tak terkecuali para pemulung, mereka meyakini dengan shalat dan puasa dapat mencegah nahi mungkar dalam kehidupan sosial baik pergaulan materi atau yang bersifat duniawi.

Kualitas hidup

Untuk menjaga stamina, Pak Atin melakukan pemijatan sebulan sekali oleh tukang pijat. Setiap hari ia bekerja membuat badan menjadi cepat letih, otot-ototpun menjadi kencang karena selau berjalan jauh untuk mencari barang bekas, belum lagi dengan bawaan seperti karung atau gerobak. Maka dari itu, sebulan sekali Pak Atin melakukan pemijatan untuk merenggangkan otot-otot yang kaku di bagian pundak, punggung dan betis. Selain itu, Pak Atin rutin minum jamu, biasanya jamu diminum setelah beraktivitas karena dengan begitu kondisi badannya tetap prima.

Pak Atin harus selalu menjaga kondisi tubuhnya, karena ia harus menjalani aktivitasnya setiap hari. Bagi Pak Atin menjaga kesehatan itu penting karena akan mempengaruhi penghasilannya sebagai pemulung. Ketika ia sakit, maka barang yang dicaripun sedikit karena kondisi tubuh yang lemah, ia tidak dapat berjalan jauh dan membawa beban yang berat, bahkan bisa jadi, ia sama sekali tidak bekerja yang berarti ia tidak mencari barang-barang bekas. Tidak ada barang maka tidak ada uang.

Sebenarnya bagi keluarga Pak Atin sendiri, keadaan demikian tidak cukup mengganggu dibandingkan dengan keadaan pemulung lain. Ketika mereka sakit, berarti sama sekali tidak ada sumber penghasilan lain. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya., kondisi ekonomi keluarga Pak Atin tidak cukup memprihatinkan dikarenakan sang istri yang juga bekerja. Jadi Pak Atin dapat penghasilan atau tidak hari itu, tidak membawa dampak yang begitu besar dibandingkan dengan pemulung lain. Hal ini dapat dilihat dari kondisi tempat tinggal Pak Atin, mengingat peneliti kerap berkunjung ke kediaman Pak Atin. Kondisi rumah yang baik dapat dilihat dari perlengkapan alat-alat rumah tangga yang cukup memadai, seperti adanya dispenser, TV, setrika, lampu 18 watt, dan hiasan dinding bertuliskan kaligrafi dan lain sebagainya. Ini menunjukkan bahwa kehidupan Pak Atin dan keluarganya cukup mampu memenuhi kebutuhannya karena dibantu oleh istrinya .

Pak Atin memiliki pengalaman yang luar biasa, karena dengan pengalaman tersebut Pak Atin hingga kini mampu menghidupi keluarganya. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi saat ia masih dikampungnya dulu. Karena merasa paling lama menggeluti profesi sebagai pemulung maka tidak ada para pemulung lain yang iri dengan kehidupan pak Atin. Justru banyak pemulung lain yang ingin bertukar pikiran tentang kiat-kiat kerja Pak Atin. Terutama pemuda-pemuda yang baru datang dari kampung Indramayu.

Pak Atin adalah sosok yang ulet dan kreatif dalam bekerja. Seribu cara untuk mendapatkan penghasilan tambahan yang halal. Ketika mengais barang bekas, Pak Atin seringkali menemukan lampu-lampu bekas yang masih layak pakai. Kemudian dikumpulkan, dibersihkan dan diuji kelayakannya. Lampu-lampu tersebut kemudian diperjual belikan di lingkungan terdekat. Suatu ketika peneliti datang kerumahnya pukul 19.00 WIB. Kemudian datang seseorang ibu menghampiri kediaman Pak Atin untuk membeli lampu. Kemudian Pak Atin mengeluarkan lampu yang begitu banyak lalu lampu-lampu tersebut dites satu per satu oleh Pak Atin. Ternyata lampu itu menyala. Lampu-lampu tersebut dijual oleh Pak Atin dengan harga murah, yakni Rp 5000,- per buah dengan merek yang tidak kalah bagus dan memberikan garansi seminggu kepada pelanggannya. Peneliti terkejut dan salut. Dengan harga lampu yang hanya Rp 5000, seseorang sudah dapat merasakan manfaat dari lampu tersebut dan ide kreatif Pak Atin dapat menghasilkan tambahan tanpa mengeluarkan modal.

Pak Atin sangat bersyukur ternyata ia dapat memperoleh penghasilan tambahan di luar profesinya sebagai pemulung karena Pak Atin adalah orang yang mau terus belajar dan mudah menerima hal-hal yang baru.

Dalam kehidupannya sehari-hari ia sangat fleksibel dan mudah akrab dengan orang lain. Sikapnya dapat dilihat ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya. Peneliti bersama seorang teman pernah melakukan wawancara dengan penduduk setempat mengenai keberadaan pemulung di lingkungannya.

“pemulung disini tidak berbuat macam-macam. Malahan saya sering minta bantuan dengan mereka. Saya sering minta pupuk buat tanaman kembang saya. Saya kalau minta, biasanya sama Atin. Biasanya bapak (suaminya) yang sering minta”[28]

Ternyata interaksi mayarakat sekitar dengan pemulung adalah hubungan yang saling menguntungkan satu sama lain. Sedangkan masyarakat di luar kawasan tersebut, menganggap para pemulung itu adalah profesi pencuri, kotor dan jorok. Sepertinya istilah “tak kenal maka tak sayang” berlaku dalam kasus ini. Peneliti meminta pendapat Pak Dirta mengenai pandangan masyarakat luas terhadap profesi pemulung yang dinilai buruk.

“ …saya itu kalau sama orang. walau bagaimana mau orang itu nganggap jelek ama saya, saya cuekin aja dengan cara diam aja. Soalnya saya sadar karena saya itu orang pendatang rantauan, jadi saya gak mau berbuat macam macam. Memang ada orang yang minta barang saya kasih. Walaupun mereka ngambil tanpa izin sama saya, saya biarin aja”

C. Analisa Temuan Lapangan

1. Masalah Pendidikan

Masalah pendidikan sangat penting untuk menunjang masa depan yang lebih baik. Karena dengan modal pendidikan maka seseorang mempunyai harapan untuk maju. Pendidikan berlaku untuk semua orang tak terkecuali para pemulung. Mungkin dengan bermodalkan pendidikan maka nasib para pemulung tersebut tidak mengalami nasib yang sangat memprihatinkan. Hal ini dilihat dari hasil wawancara dengan pemulung yang mayoritas hanya tamatan SD.

Rendahnya tingkat pendidikan yang mereka sandang, sangat mempengaruhi berbagai aspek kehidupan mereka , seperti kurangnya ketrampilan, interaksi sosial, beban psikologis, dan keluarga. Ini merupakan kekurangan yang ada pada diri mereka masing-masing sehingga timbul rasa tidak percaya diri. Kurangnya rasa percaya diri akan mempengaruhi kualitas hidup dan menghambat kemajaun diri mereka.

Keterbatasan keterampilan dan pendidikan, memaksa mereka menggeluti profesi pemulung yang bukan pilihan hidup mereka . Menjadi pemulung, seseorang tidak dituntut keterampilan apapun. Seperti halnya subjek I mengatakan bahwa,

“apa yang mau diandalkan dari saya. Orang saya aja tamatan SD jadi bisanya ya seperti ini sebagai pemulung”[29]

Menjadi seorang pemulung bukanlah keputusan hidup yang mereka inginkan. Mereka tahu bahwa profesi pemulung itu akan dianggap hina, tetapi karena desakan ekonomi, mereka rela menjadi seorang pemulung. Kalaupun mereka mencoba mencari peruntungan lain dikampung halamannya yaitu Indramayu, hal tersebut tidak menjamin masa depan mereka lebih baik karena kesempatan pekerjaan yang tersedia terbatas pada profesi buruh tani. Sedangkan panen sawah itu hanya dua kali dalam setahun. Itupun kalau pemilik sawah menunjuk seseorang untuk bekerja disawahnya (sistem buruh) dan pekerjaan itu akan didapat hanya ketika menanam padi dan memanen padi saja.

Kebanyakan para pemulung yang sudah berkeluarga dan mempunyai anak menyekolahkan anaknya dibangku sekolah. Ini bentuk kepedulian orang tua akan pentingnya pendidikan, walupun tidak sedikit mereka harus membiayai sekolah anaknya.. Menurut pak Atin,

“…saya itu nyekolahain anak saya itu biar tidak jadi kayak bapaknya, yang penting dia lebih baik dari bapaknya, saya juga kasihan sama anak saya, soalnya dia menanggung beban karena bapaknya yang berprofesipemulung. Takutnya jadi cemoohan orang”[30]

2. Pandangan Masyarakat Setempat

Pandangan masyarakat sekitar terhadap pemulung adalah baik karena peneliti melakukan wawancara dengan penduduk serempat dengan berpura-pura membeli minuman dan rokok. Awalnya peneliti mengobrol biasa sampai pada akhirnya menanyakan keberadaan pemulung di sekitar pemukiman mereka. Mereka mengatakan bahwa dengan adanya pemulung disekitar mereka, tidak ada masalah sama sekali. Singkatnya, masyarakat tidak merasa ada perbedaan apapun karena semenjak pemulung tinggal disini, pemulung tidak membuat masalah dilingkungan setempat.

“…ya sebenarnya pemulung disini tidak bikin masalah. Soalnya kalau mereka diatur dengan warga sini mereka menurut. Dan kalau diminta iuran bulanan untuk kepentingan jl Damai mereka rutin membayarnya”

Sebenarnya, pandangan masyarakat yang dekat dengan pemukiman pemulung tidak mempunyai penilaian yang negatif terhadap profesi pemulung karena masyarakat mengetahui benar keseharian pemulung di lingkungannya. Berbeda dengan masyarakat luas yang kehidupannya jauh dari pemulung. Mereka masih menganggap bahwa profesi pemulung itu identik dengan pencuri dan akrab dengan kotoran. Mereka mempunyai penilaian demikian karena mereka tidak mengetahui benar keseharian dari pemulung. Menurut Akbar S Ahmed bahwa ia mengatakan dalam beberapa hal sebenarnya orang yang hidup didunia ini sama saja kedudukannya, tetapi dimana tidak ada yang sama.[31]

Sebenarnya keberadaan para pemulung didaerah setempat, secara tidak langsung mempunyai banyak manfaat, atau bisa diartikan hubungan yang terjalin merupakan hubungan simbiosis mutualisme bukan hubungan parasit mutualisme. Contoh dengan menjual barang-barang bekas seperti lampu bekas, pemulung mematok harga dengan harga murah, tentu dengan harga terjangkau, pemulung sudah dapat membantu masyarakat sekitar dengan mengurangi beban ekonomi.

Berdasarkan pengamatan peneliti. Kebanyakan penduduk setempat bekerja sebagai buruh sewa dan kuli bangunan. Ini bisa dilihat karena sepanjang Jl Damai di batasi dengan tembok besar yang menjulang tinggi dan dibalik tembok tersebut terdapat proyek perumahan komplek. Menurut pak Atin, bahwa penduduk setempat kebanyakan para pendatang dari daerah Jawa. Ada yang menjadi buruh sewa, kuli bangunan dan pedagang warung nasi.

Kembali ke masalah awal bahwa kebanyakan masyarakat diluar Jl Damai menganggap para pemulung itu hina dan dinilai negative karena masyarakat belum mengenal betul para pemulung. Memang tidak dapat dipungkiri sebagian dari pemulung mencari barang bekas sembari melakukan hal-hal yang tidak baik seperti, mencuri. Ini mengakibatkan reputasi pemulung menjadi buruk. suatu pekerjaan yang sia-sia dan meresahkan masyarakat. Yang menjadi korban adalah para pemulung yang melakukan aktivitasnya secara dengan jujur dan baik-baik. Tidak menutup kemungkinan, pemulung yang melakukan tindakan kriminal itu adalah pemulung yang berasal dari luar Jl Damai. Dengan penilaian yang buruk dari masyarakat di luar Jl Damai mengakibatkan pemulung yang berada di Jl Damai tidak berani mengais barang bekas pada malam hari karena khawatir dituduh sebagai pencuri jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dan ini tentu sangat berbahaya bagi pemulung. Pak Atin pernah mengatakan kepada peneliti:

“ sebenarnya saya itu kepengen banget kerja malem. Soalnya kalau nyarinya malem bisa dapat banyak barangnya, karena biasanya orang-orang buang sampah itu malam-malam, jadi semakin mudah saya mencarinya tapi saya takut kalau berangkat malem entar dikirain maling.”[32]

Lain halnya dengan Ferry, ia mengais barang bekas pada malam hari. Walaupun tidak setiap hari. Aktivitas tersebut harus ia lakukan karena pencariannya pada siang hari tidak memenuhi timbangan yang diharapkan sehingga ia melanjutkan pada malam hari. Walaupun ia tahu resikonya ketika berangkat malam.

“…gue santai aja nyari malem . Kalau masyarakat nuduh gue maling periksa aja karungnye, tapi kalau ada masyarakat yang ngomel gue diemin aja yang penting gue gak ngelakuin yang macam-macam. Kenapa gue berani karena gue berani.”

Dengan modal nekad Ferry terus mencari barang-barang bekas tanpa ada ragu, karena ia meyakini bahwa selama ini ia melakukan dengan benar, tidak merugikan orang lain dan ia tidak menghiraukan masyarakat yang berpenilaian buruk terhadapnya.

Menurut Toto Tasmara, jihad berarti “kegilaan” untuk mengerahkan seluruh daya dan ikhtiar, suatu mesin yang terus bergemuruh dan meronta, seraya menggerakkan pori-pori, urat syaraf dan kemudian melahirkan daya gerak yang menakjubkan[33]. Seorang Ferry selalu tidak puas dengan hasil yang didapatnya, maka ia memberanikan diri untuk mencari barang bekas pada malam hari.

3 Penyuluhan Dan Seminar

Sudah seharusnya pemerintah memberikan perhatian yang besar kepada mereka dan peran setiap elemen masyarakat yang harus keberadaan selalu peduli terhadap pemulung. Karena tidak dapat dipungkiri, keberadaan pemulung dapat membantu mengurangi beban Negara. Seperti pekerjaan mendaur ulang sampah yang dilakukan oleh pemulung, dari mulai memilah-milah sampai merubah barang bekas tersebit menjadi barang yang mamiliki nilai ekonomi tinggi. Sampah berkurang, walaupun tidak signifikan jumlahnya. Daya beli masyarakat meningkat karena adanya produsen dan konsumen yang saling membutuhkan. Terciptanya sektor-sektor usaha kecil ataupun home industry. Penyerapan tenaga kerja dan akhirnya dapat meningkatkan pendapatan Negara per kapita. Selain itu usaha-usaha yang lahir dari pengolahan sampah yang baik, seperti pembuatan kertas, pembuatan bunga dari pelepah pisang, lukisan dari cangkang telur sampai pembuatan kerangka-kerangka lampu dari botol-botol aqua, tidak membutuhkan modal yang banyak dan tidak mencemari lingkungan dan peneliti yakin, hal ini akan menguntungkan semua pihak.

Berdasarkan penjelasan diatas, pemerintah dituntut untuk lebih berperan dalam memperhatikan nasib para pemulung yang serba kekurangan. Kurangnya pendidikan, keterampilan, kesehatan sampai masalah ekonomi mereka. Pemerintah seyogyanya melakukan pendidikan gratis dengan program paket A dan Paket B atau sejenisnya, sehingga menumbuhkan sumber daya manusia yang cerdas. Kemudian mengadakan kursus padat karya bagi para wanita dan manula, seperti kursus menjahit, menyulam, membuat kue kering dan lain-lain. Mengadakan pelatihan montir, percetakan, mengetik dan kerajinan tangan, seperti memahat, membuat furniture dari rotan dan lain-lain. Pembekalan ini semua dimaksudkan agar keterbatasan yang mereka miliki tidak menjadi kendala bagi peningkatan hidup mereka yang lebih baik.

Pernah peneliti datang ke Kantor kelurahan Jurang Mangu Barat Pondok Aren Tangerang untuk mencari data sambil mewawancarai Sek Des (Sekretaris Desa). Banyaknya dan semakin bertambahnya pemukiman pemulung di Desa Jurang Mangu Barat membuat pihak Kelurahan sulit untuk mendata warganya yang berdomisili di Jurang mangu Barat, tidak terkecuali pemulung yang berada di Jl Damai. Adapun program dari Kelurahan Jurang Mangu barat untuk pemulung ialah dengan memberikan santunan setiap sebulan sekali. Santunan tersebut berupa , seperti uang dan makanan[34].

Sudah saatnya masyarakat menerima kehadiran para pemulung di sekitarnya. Karena terdapat banyak manfaat bagi masyarakat dengan kehadiran para pemulung, misalnya, mengurangi sampah non organik walaupun tidak banyak karena sampah jenis ini sulit untuk dihilangkan.

Pemulung dapat membantu masyarakat dengan bagi masyarakat yang mempunyai barang bekas seperti kardus, Koran-koran, jam dinding ataupun aqua-aqua gelas, karena kita bisa mempergunakan jasa mereka untuk membersihkan barang-barang yang tidak lagi terpakai. Bahkan kita dapat menjual kembali barang-barang bekas, seperti majalah, Koran-koran dan kardus kepada pemulung.

Tugas pemerintah dalam memberikan perhatian di segala bidang, termasuk bidang keagamaan menjadi tugas yang harus dilaksanakan. Minimal pemerintah dapat meningkatkan kerjasamanya dengan Departemen Agama ataupun Lembaga-lembaga formal maupun informal untuk meningkatkan pengetahuan agama baik berupa ceramah di berbagai media ataupun pembuatan buku-buku agama untuk semua kalangan dan memfasilitasi proses seluruh kegiatan keagamaan untuk semua lapisan masyarakat. Hal ini penting dilakukan untuk memperbaiki moral masyarakat yang semakin tidak beragamis.

4. Kesehatan

Masalah kesehatan sangat penting bagi pemulung untuk keberlangsungan hidup mereka, karena kesehatan dapat mempengaruhi jumlah barang bekas yang dicari. Walaupun tempat tinggal mereka dekat sekali dengan sampah tetapi para pemulung ini tidak pernah mengalami penyakit yang berbahaya. Sebenarnya, mereka bisa saja mengalami penyakit serius dengan kondisi lingkungan seperti itu, tetapi sejauh ini para pemulung beserta keluarganya hanya pernah mengalami insidensi penyakit seperti batuk, sesak nafas dan muntaber karena pemicunya adalah bau dan kotor yang ditimbulkan oleh sampah yang berada di depan rumah mereka.

“…..saya aja punya anak jarang sakitnya walaupun didepan rumah saya ada setumpuk sampah, tapi jarang juga sih. Anak saya sakit paling-paling hanya sakit panas, batuk. Kalau saya juga jarang. Saya berusaha nyuruh istri saya untuk selalu hidup bersih, istri saya itu sering bersih-bersih rumah jadi jarang saya dan keluarga kena penyakit.[35]

Berdasarkan sumber minimal ada dua jenis sampah yakni:

1. Sampah Domestik

Sesuai dengan asal kata-nya, maka sampah ini berasal dari lingkungan perumahan atau pemukiman, baik di daerah perkotaan maupun pedesaan. Ragam sampah di daerah perkotaan biasanya lebih banyak dan berjenis non organik. Secara kuantitatif dan kualitatif lebih kompleks. Sampah dipedesaan umumnya lebih berupa bahan-bahan organic, sisa produk pertanian. Sedangkan sampah anorganik sedikit.

2. Sampah Komersial

Yang dimaksud sampah komersial bukan berarti mempunyai nilai ekonomi tinggi untuk langsung dapat diperdagangkan, tetapi lebih kepada asal sampah itu dihasilkan. Sampah komersial dihasilkan dari lingkungan kegiatan perdagangan seperti toko, warung, restoran dan pasar atau toko swalayan.[36]

Dengan keseharian pemulung yang selalu bergelut dengan sampah maka

Penting bagi para pemulung untuk diberikan penyuluhan mengenai pentingnya menjaga lingkungan dan kesehatan. Karena rumah mereka dekat dengan sampah maka sangat besar kemungkinan akan terserang penyakit demam berdarah. Pemulung sendiri terlihat sangat acuh terhadap lingkungannya tanpa disadari akibat yang akan ditimbulkan dari sampah-sampah tersebut. Menurut Prof. Dr. Notonagoro S.H ciri-ciri orang yang mempunyai kualitas hidup adalah kesehatan jasmani dan rohani.[37]

Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan lingkungan yang saling berkaitan dapat dilakukan dengan pendekatan paradigma sehat. Maksudnya adalah meningkatkan mutu lingkungan yang sehat, perilaku yang sehat dan pengembangan masyarakat. Dimana bertambahnya porsentase keluarga yang memiliki rumah berstandar kesehatan seperti penggunaan air bersih, jamban bersih, ventilasi rumah yang mendukung dan tata ruang yang baik. Selain itu pola dan pengolahan bahan pangan yang higenis dalam pencapaian pemenuhan gizi menjadi hal yang tidak boleh diabaikan.[38]



[1] Laporan bulanan di kelurahan jurang mangu barat, waktu 10:30 WIB, tanggal 2 Februari2007

[2] Wawancara pribadi dengan Pak Atin, Tangerang 4 juli 2007

[3] Sajogyo, Pujiwati Sajogyo, Sosiologi Pedesaan, (Yogyakarta: Gajah Mada Unoversity Press, 1999) cet I, hl-45

[4] Wawancara pribadi dengan pak Atin, Tangerang 6 juli 2007

[5]Wawancara pribadi dengan pak Atin, Tangerang 6 juli 2007

[6] Wawancara pribadi dengan pak Atin, Tangerang 6 juli 2007

[7] Wawancara pribadi dengan Pak Dirta tangerang, 13 juli 2007, Pukul: 10.00 WIB, Lokasi pemukiman pemulung.

[8] Wawancara dengan pak Ato (bos pemulung) tangerang, 13 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[9] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 15 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[10] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 15 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[11]Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. Ke-1, hl. 17

[12] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 17 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[13] JS. Badudu. Et-al. Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1994) cet. Ke- 1 hlm. 40

[14] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 17 juli 2007,Lokasi pemukiman pemulung.

[15] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 17 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[16] Abdul Halim, Pengembangan Masyarakat Islam: Upaya Membangun Paradigma baruModel Dakwah, dalam jurnal Ilmu dakwah vol .4 no. 1 terbit April 2001, h. 25

[17] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 17 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

· Ngarit dalam bahasa jawa adalah memotong padi dengan clurit ketika padi mulai berwarna keemasan.

[18] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 18 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[19] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 20 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[20] Wawancara dengan Ferry . Tangerang. 20 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

· Gue adalah arti bahasa yang berarti saya, berasal dari adat betawi dipakai sehari-hari dalam interaksi sosial

· Ortu adalah singkatan dari Orang tua, dipakai dalam bahasa sehari-hari biasanya kata ini dipakai untuk remaja muda.

[21] Toto Tasmara, Etos Kerja Muslim, (Jakarta: labmend, 1991), Cet. Ke-1, hl. 21

[22] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 20 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[23] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 21 juli 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[24] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 25 juli 200, Lokasi pemukiman pemulung.

[25] Wawawancara pribadi dengan Pak Atin. Tangerang. 28 juli 200 , Lokasi pemukiman pemulung.

[26] Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1999), cet ke-10 hlm. 1

[27] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 1 agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[28] Wawawancara pribadi dengan Pak Atin. Tangerang. 3 Agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[29] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 5 Agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[30] Wawawancara pribadi dengan Pak DAtin. Tangerang. 8 Agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[31]Nanih Machendrawaty dan Agus Ahamad Safei, Pengembangan Masyarakat IslamdariIdeologi, Strategi sampai Tradisi, (Bandung: Rosda, 2001), cet. 1, h. 18

[32] Wawawancara pribadi dengan Pak Dirta. Tangerang. 9 Agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[33] Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), cet. Ke-1, hl. 16

[34] Wawancara dengan pak Zaenal Abidin dlaksanakan pada tanggal 5 Februari 2007 , pukul 10,00-10,40. WIB di kelurahan Jurang Mangu Barat menjabat sebagai Sek Des di kelurahan Jurang Mangu Barat

[35] Wawancara pribadi dengan pak Dirta. Jakarta, 11 Agustus 2007, Lokasi pemukiman pemulung.

[36] Pemerintah Propinsi DKI Jakarta dan Pusat Penelitian Sumber Daya Manusia dan Lingkungan UI, Sistem Penelolaan TPA Bantar Gebang-Bekasi (Jakarta: PPSML-UI 2000), hl 5

[37] Prof. Dr. Buchari Zainun, manajemen Sumber Daya manusia Indonesia, (Jakarta: Gunung Agung , 2001), cet. Vi, h.68

[38] 202.154.20.195/Propenas/matriks_sosbud.htm

Related Posts by Categories



Comments (0)