PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
(Antara Submission dan Egalitarianism)

A. Latar Belakang
Sebagai suatu gerakan dakwah, PKS lebih bersifat komprehensif. Ia lebih memperhatikan tarbiyah dan pembinaan secara utuh daripada sekedar mengurus tambal sulam atas berbagai persoalan umat yang sedang berlangsung. Manhaj dakwah Rasulullah dipelajari secara utuh berdasarkan pendekatan ilmiah yang teliti. Maka banyak tokoh dari jama`ah ini yang menulis fiqih sirah. Dari kajian terhadap manhaj dakwah Rasul secara mendalam dan intensif, mereka mengetahui benar mana yang tsabit (prinsip) dan mana yang mutaghayyirat (non prinsip) yang bisa dikembangkan sejalan dengan perkembangan zaman.
Urgensi membentuk gerakan dakwah adalah bertolak dari akal manusia yang mengatakan bahwa ketika manusia tetap diam dan tidak bergerak di atas jalan yang benar, maka itu adalah jalan yang akan membawanya pada kehancuran dan kebinasan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah Muhammad ayat 38; “Jika kalian berpaling (dari jalan yang benar) niscaya Dia akan mengganti (kalian) dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan seperti kalian”. Zainab bin Jahsy meriwayatkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw., ”Ya Rasulullah, apakah kami akan binasa padahal di tengah kami ada orang shalih?” Beliau menjawab, ” ya apabila kejahatan semakin banyak”.
Dalam konteks ini kampus, masjid, forum-forum studi menjadi alternatif yang dinilai strategis. Disanalah kajian demi kajian dilakukan lebih penting daripada sekedar keinginan untuk menambah pengetahuan mengenai Islam adalah pendalaman aqidah dan praktik keagamaan yang emperik. Disamping itu tali silaturrahim, rasa ukhuwah Islamiyah, serta jaringan komunikasi juga dirajut. Hasilnya adalah Islam menjadi “buku” atau “teks” yang paling terbuka di negeri ini. Dengan leluasa siapapun bisa membacanya tentang informasi mengenai Islam dan praktiknya meskipun antara satu dengan yang lainnya bisa berbeda bahkan mungkin bertentangan terjadi dimana-mana.
Klaim gerakan tarbiyah adalah sebagai gerakan dakwah yang dilakukan Rasulullah dimulai dari dakwah siriyah dan seterusnya sehingga menjelma menjadi dakwah jahriyah sesuai dengan situasi politik, sosial, dan keamanan pada waktu itu. Melalui gerakan dakwahnya Muhammad SAW., dinilai oleh sejarawan barat Michael Hart, dalam bukunya 100 tokoh paling berpengaruh dalam panggung sejarah sebagai tokoh nomer wahid diantara tokoh-tokoh sukses di dunia. Rasulullah menyebarkan agama tauhid ini secara bertahap dimulai dari istrinya sendiri Khadijah r.a., lalu door to door kepada Abu Bakar Shiddiq r.a., bin Abu Waqash r.a., dan zubair bin Awwam r.a. Rekrutmen para sahabat terus berkembang kepada Abu Ubaidah bin Jarrah r.a., dan setelah itu Ali bin Abi Thalib r.a.
Gerakan tarbiyah di Indonesia berhasil mengartikulasikan jati dirinya di Indonesia secara nyata dan berhasil menggalang kekuatan politik berturut-turut dari PK menjadi PKS. Langkah gerakan ini memang tidak sama dan sebangun dengan yang dilakukan oleh Masyumi pada tahun 1955, namun dapat dikatakan sebagai cikal bakal gerakan masyumi kontemporer yang dikemas dengan isu-isu kontemporer. Syariat Islam ditegakkan melalui praktik riil seperti masalah sholat wajib dan sunnah puasa wajib dan sunnah, mengenakan jilbab, menjauhkan makanan dan gaya hidup haram bahkan yang ragu-ragu ditinggalkan. Pendek kata sejumlah perintah Allah dan Rasul-Nya dari yang besar hingga yang kecil berusaha untuk diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin itu sebabnya gerakan tarbiyah (PKS) yang pada awalnya hanya dianggap sebagai gerakan pinggiran dan gerakan eksklusif kini telah berubah menjadi gerakan mainstream di tengah-tengah kehausan masyarakat akan Islam.
Tanggapan yang baik di masyarakat dapat diukur dengan diterimanya gerakan dakwah PKS berupa halaqah dan taklim di berbagai segmen masyarakat muslim. Awal mulanya hanya semarak di kampus-kampus sekarang telah bermunculan di perkantoran publik, masjid, organisasi dan berbagai perkumpulan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Banyak sekolah, kampus, masjid dan kantor-kantor yang telah menjadikan halaqah atau taklim sebagai program resmi untuk peningkatan pendidikan keislaman oleh para aktifisnya. Dulu para aktifis mendatangi orang perorang untuk menawarkan tarbiyah, sekarang masyarakat seakan antri menunggu para aktivis yang mentarbiyah mereka fenomena ini terus berkembang menjadi besar dan ikut menentukan gerakan perubahan di negara ini.
Kaum tarbawi dalam mengemas dakwahnya juga memiliki tema-tema praktis, dari yang sederhana sampai yang berat. Semisal memilih pasangan, hidup bersih dan sehat, makan dan minum Rasulullah, pen¬tingnya kerja kolektif (amal jama’i), menutup aurat, ghirah pada keluarga dan agama, perjalanan dakwah kaum muda, dakwah di negeri-negeri Muslim, menghafal hadits arba'in dan surat-surat pendek dalam AI Quran, ghazw al-fikr (perang ideologi), gerakan terselubung yang memusuhi Islam, lembaga-lembaga yang menentang Islam, sistem politik dan hubungan internasional, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
Pola penyampaian tema-tema praktis ini biasanya disampaikan melalui forum tarbiyah rutin ataupun dalam bentuk tabligh, baik seminar, bedah buku, simposium, bahkan dalam shalat sehari-hari; sehabis shalat sering digelar kuliah tujuh menit (kultum), disampaikan oleh seorang yang dituakan untuk menyampaikan tema¬-tema praktis dan singkat. Kultum yang biasanya cukup tujuh menit, dalam praktiknya bisa melebihi 10 bahkan 30 menit jika pemberi ceramah mengasyikkan.
Untuk memperdalam pengetahuan atau ilmu tertentu kader tarbiyah, biasanya diselenggarakan daurah. Dalam daurah ini biasanya diangkat tema khusus dan aktual dengan menunjuk pembicara yang pakar di bidang¬nya. Pendek kata, seorang kader tarbiyah selain harus menerima dan mele¬wati materi halaqah, juga materi taushiyah, materi taklim dan kajian, materi daurah, materi mabit, materi rihlah, materi penugasan, materi seminar, bedah buku hingga membaca buku yang direkomendasikan. Semua proses yang harus dilalui paling tidak dalam satu tahun itu akan melahirkan kader dakwah yang selain dewasa, juga memiliki kapasitas ilmu memadai. Memadai dalam artian memiliki kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual. Tentu secara individu aktifis tarbiyah juga perlu memperdalam ilmu-ilmu khusus seperti tafsir AI Quran, Hadits, dan tak kalah pentingnya bagaimana mengerti, memahami dan menerapkan ilmu organisasi.
Namun harus diakui apa yang dijelaskan di atas barulah garis-garis besar panduan bagi kaum tarbawi tingkat pemula. Tingkat lebih tinggi dari gerakan tarbiyah ini lebih mengedepankan aspek praktik dari manual yang ada, tapi paling tidak manual kaum tarbawi ini telah memberikan landasan yang kuat untuk bertindak. Ibarat sebuah Jaguar, untuk mengemudikannya dengan baik, merawat dan memeliharanya, diperlukan manual dari pabrik asal Jaguar dibuat. Begitulah manusia, untuk dapat membina dan mengembangkannya agar hasilnya optimum, manual yang ideal adalah Al-Quran dan Al-Sunah seperti yang dipesankan Nabi.
Gaya Islamisasi oleh para aktivits PKS, semakin mendapat sambutan masyarakat bersamaan dengan menguatnya kecenderungan konvergensi antara pemikiran dan aksi tradisionalis-modernis yang memungkinkan adanya pemudaran identitas-identitas dua kutub yang berbeda. Sehingga kesempatan untuk mengadaptasi kecenderungan akomodasi dan purifikasi menjadi sangat terbuka. PKS sebagai Partai Politik Islam pada akhirnya akan menjadi semacam melting pot (penyantun) dari dua kutub Islam Indonesia itu. Akibatnya disukai atau tidak, PKS sebagai gerakan dakwah harus memerankan diri dalam bentuk yang lebih akomodatif sebagai usaha mempromosikan ide-ide Islamnya agar dapat diterima oleh berbagai level masyarakat maupun negara.
Pada makalah ini penulis berusaha mendudukkan PKS sebagai gerakan dakwah yang menganut faham-faham submission atau mengikuti prinsip-prinsip egalitarianism atau mungkin berada di antara kedua faham tersebut. Upaya membuat tipologi untuk PKS itu akan menjadi wacana baru mengingat submission dan egalitarianism mempunyai makna yang bertolak belakang. Sebelum dibahas lebih jauh maka berikut ini akan dipaparkan teori-teori yang berkaitan dengan submission dan egalitarianism.

B. Teori Submission dan Egalitarianism
Submission berasal dari bahasa Inggris yang artinya ketundukan atau kepatuhan. Dalam bahasa Arab submission dikenal dengan Islam, yang bermakna pasrah. Sikap pasrah kepada Tuhan tidak saja merupakan ajaran Tuhan kepada hamba-Nya, tetapi ia diajarkan oleh-Nya dengan disangkutkan kepada alam manusia itu sendiri. Dengan kata, Islam diajarkan untuk pemenuhan alam manusia, sehingga pertumbuhan perwujudannya pada manusia selalu bersifat dari dalam, tidak tumbuh, apalagi dipaksakan dari luar. Sikap keagamaan hasil paksaan dari luar adalah tidak otentik, karena kehilangan dimensinya yang paling mendasar dan mendalam, yaitu kemurnian dan keikhlasan.
Selanjutnya Muhammad Asad, memahami kata Islam sebagaimana memahami term lain dalam al-Qur`an yang tidak akan dapat dipahami secara benar jika kita membacanya hanya di bawah pengaruh ideologi hasil perkembangan kemudian hari, dengan kehilangan pandangan akan tujuan dan makna aslinya yang ada padanya dahulu, padahal memang dimaksudkan artinya tetap selamanya. Setiap orang yang mendengar perkataan “Islam” atau “Muslim” pada zaman Rasul, mereka memahami bahwa Islam menunjuk kepada makna “seorang yang pasrah kepada Tuhan”, tanpa membatasi istilah itu hanya pada komunitas atau kelompok agama tertentu. Dalam bahasa Arab, (tidak ada seorang ulama` Arab) yang memahami menyimpang dari pengertian orsinsil ini.
Namun seorang yang bukan Arab di zaman sekarang, yang beriman atau tidak biasanya memaknai “Islam” atau “Muslim” secara terbatas dan tertentu. Hal ini karena pengaruh perkembangan sejarah sehingga bermakna khusus hanya untuk pengikut Nabi Muhammad. Penegasan Muhammad Asad itu dibuat berdasarkan berbagai keterangan yang diperolehnya dalam al-Qur`an, serta kitab-kitab tafsir klasik. Sehingga sampailah ia pada kesimpulan bahwa semua agama adalah al-Islam asalkan datangnya dari Tuhan dan mengajarkan tentang kepasrahan kepada Tuhan.
Berbeda dengan Muhammad Asad, Wilfred Cantwell Smith membuat kesimpulan dari hasil pengamatannya bahwa dari semua tradisi keagamaan, tradisi Islam akan nampak sebagai yang mempunyai nama secara built in. Perkataan “Islam” terdapat dalam al-Qur`an sendiri, dan kaum Muslim teguh menggunakan istilah itu untuk mengenali sistem keimanan mereka. Berlawanan dengan apa yang terjadi pada berbagai masyarakat keagamaan yang lain. Nama Islam itu bukanlah nama yang dibuat oleh orang luar kemudian orang dalam menolaknya, atau mengabaikannya, atau akhirnya menerimanya.
Menurut Smith, “Islam” bukanlah nama yang lahir berdasarkan nama tempat seperti misalnya, “Agama Hindu” Karena muncul di India, Hindia atau Hindustan, suatu lembah di seberang sungai Indus. Juga bukan berdasrkan kebangsaan, kesukuan, atau dinasti, seperti misalnya, “Agama Yahudi” karena tumbuh di kalangan bangsa, suku, atau dinasti Yehuda atau Yuda. Juga bukan berdasarkan nama tokoh pendirinya seperti misalnya “Agama Budha” karena tokoh yang mendirikan adalah Budha Gautama, dan “Agama masehi” atau “Kristen” karena tokoh yang mendirikan adalah Nabi Isa atau Yesus yang bergelar al-Masih atau Kristus. Nama “Islam” juga bukan dibuat berdasarkan nama tempat kelahiran tokoh yang mendirikannya seperti, “Agama Nasrani” yang berdasarkan tempat kelahiran Nabi Isa yaitu Nazareth di Palestina.
Nurcholis Majid mencoba menggabungkan pendapat keduanya. Menurutnya Al-islam ”(i pada kata Islam ditulis kecil menunjukkan substansi ajaran bukan sistem/agama tertentu) adalah sikap benar yang universal, yang menjadi tuntutan naluri setiap orang di semua zaman dan tempat, dan yang menjadi dasar sikap keagamaan yang benar, yang dibawa oleh para nabi dan rasul untuk seluruh bangsa dan umat.
Ia menambahkan, perkataan “al-islam” sendiri dengan segala derivasinya, sebagai kata-kata Arab, dikemukakan dan dipergunakan dengan jelas oleh Nabi Muhammad yang beliau sendiri orang Arab. Lagi pula sebagai utusan Tuhan yang terakhir, Nabi Muhammad adalah yang dengan jelas menangkap dan mengajarkan inti makna semua agama, yaitu al-islam, bahkan ajaran yang beliau bawa adalah bentuk al-islam par excellence sebagaimana telah dikemukakan di atas. Maka agama itu berhak disebut “Agama Islam” dengan cara menggunaan nama umum untuk gejala khusus, sama dengan “dokter” yang berarti sarjana untuk ahli penyakit dan obat-obatan, dan “alim” “ulama`” yang berarti juga sarjana untuk ahli fiqh.
Jadi “Islam/Submission” memang telah menjadi nama sebuah agama, yaitu agama yang dibawa Rasul Penutup. Akan tetapi sebenarnya ia bukan hanya sekedar nama, tetapi sebuah nama yang tumbuh karena hakekat dan inti ajaran agama itu sendiri, yaitu pasrah kepada Tuhan. Dengan begitu para pengikut Nabi Muhammad adalah seorang muslim par excellence, yang pada dasarnya tanpa mengekslusifkan yang lain. Sehingga dalam menganut ajaran agamanya hendaknya sadar akan hakekat agamanya, yaitu al-islam, sikap pasrah kepada Tuhan.
Sedangkan Egalitarian dalam bahasa Inggris berarti seseorang yang percaya bahwa setiap orang sederajat. Sehingga Egalitarianism mempunyai arti paham yang mempercayai bahwa setiap orang mempunyai kedudukan yang sederajat (kesetaraan). Dalam sejarah Islam wacana egalitarianisme mulai muncul pada abad ke-2 H/8 M dan ke-7 H/13 M. Hal ini berkaitan dengan kekuasaan politik yang diraih umat Islam yang telah menjadikan egalitarianisme dalam hal keagamaan memiliki pengaruh yang kuat dalam kehidupan sosial.
Kesetaraan dalam konteks Islam di dapat dalam Al-Qur`an surah al-Hujurat (49) ayat 13; “Hai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Sepintas lalu, ayat ini tampaknya lebih memperhatikan kesukuan dibandingkan perbedaan sosial. Inti ayat ini adalah bahwa bermacam-macam suku yang telah diciptakan Tuhan tidaklah memberi arti pada nilai seseorang. Akan tetapi ayat ini sangat fleksibel dan di dalamnya kaum muslimin mendapat dukungan untuk berbagai macam egalitarianisme. Ada yang berpendapat ayat ini merujuk pada perbedaan suku yang ada di kalangan masyarakat Arab sendiri. Sebagian yang lain menganggapnya merujuk pada perbedaan antara masyarkat Arab dan non Arab.
Pada periode sebelum Islam ataupun sesudah Islam, ideologi egaliter muncul bersamaan dengan ketidakmerataan yang tampak pada distribusi kekuasaan, kekayaan, dan penghargaan sosial. Pada konteks Arab sebelum Islam, siapa pun yang ingin menentang distribusi yang tidak merata ini dapat melakukannya. Namun dalam konteks Islam hal ini semakin sulit dilakukan karena otoritas Negara dan struktur hierarki sosial telah bediri. Akan tetapi, ketegangan ini berubah sejak dukungan untuk penentangan terhadap ketidaksetaraan bukan hanya didapat dari sikap dan praktek kesukuan saja, melainkan juga dari pesan-pesan Nabi yang bersifat egaliter.

C. Metodologi
Makalah ini menggunakan data-data yang diperoleh dari AD/ART PKS, dokumen-dokumen, buku-buku, majalah, surat kabar, website internet yang berkaitan dengan tema serta dari hasil dialog singkat dengan beberapa orang pengurus serta kader PKS.
Kemudian data-data tersebut dianalisa dengan menggunakan teori-teori Submission dan Egalitarianism serta dengan pendekatan socio-history. Peneliti berpijak pada teori Kerlinger seperti dilansir Zamroni, merupakan konsep, definisi dan proposisi yang saling berjalin dan kemudian menghadirkan suatu tinjauan yang sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan variable-variabel yang terkait dalam fenomena dengan tujuan memberikan eksplanasi dan prediksi atas keadaan dan kenyataan. H. A. R Gibb yang menyatakan bahwa teori sosial historis merupakan suatu kumpulan statemen yang mempunyai kaidah logis, menghubungkan kaitan-kaitan sosio historis dan merupakan cermin dari kenyataan yang ada tentang sifat-sifat atau ciri suatu kelas, peristiwa sikap dan pandangan seseorang atau benda.

D. Analisis
Tidaklah mudah mendudukkan PKS sebagai partai politik yang menjargonkan dirinya sebagi partai dakwah ke dalam sebuah tipologi semisal submission atau egalitarianism. Karena dalam literatur Al-Qur`an –yang tentunya adalah landasan hukum PKS- prinsip-prinsip untuk submission atau pun egalitarianism keduanya dijumpai. Di dalam surah al-An`am (6) ayat 162 diajarkan prinsip submission kepada Muhammad dan tentunya umat Islam. Setiap hamba Tuhan haruslah menyerahkan segala aktifitasnya di dunia ini bahkan apapun yang akan terjadi nanti setelah mati. Sehingga apabila ayat ini benar-benar diyakini maka akan membentuk jiwa militan yang siap mengorbankan apa saja bahkan yang paling berharga sekalipun (nyawa) untuk Tuhan.
Mengacu pada Publikasi resmi Partai Keadilan Sejahtera maka tak dapat dielakkan adanya kesimpulan bahwa jati diri Partai Keadilan Sejahtera merupakan landasan filosofis Partai Keadilan Sejahtera. Sehingga muncul sebuah pengertian bahwa bagi Partai Keadilan Sejahtera landasan filosofis merupakan basis terbentuknya cara pandang Islami bagi pengelolaan partai di satu sisi dan sebagai cara pandang Islami terhadap langkah-Iangkah berjenjang bagi pencapaian cita-cita dakwah Islamiyah di sisi lain.
Dalam landasan filosofis Partai Keadilan Sejahtera itu terdapat penegasan bahwa Islam merupakan kaca mata pandang untuk memahami realitas politik maupun untuk membangun strategi-strategi cerdas perjuangan politik. Partai ini hendak membuktikan kebenaran sebuah aksioma dalam dunia politik bahwa Islam merupakan agama universal yang mencakup seluruh aspek kehidupan dengan berbagai dimensinya yang kompleks. Dengan kata lain Islam dalam konsepsi para aktifis Partai Keadilan Sejahtera adalah sebuah sistem hidup yang universal, mencakup seluruh aspek kehidupan. Islam adalah negara dan tanah air, pemerintahan dan umat, moral dan kekuatan, rahmat dan keadilan, kebudayaan dan perundang-undangan, ilmu dan peradilan, materi dan sumber daya alam, usaha dan kekayaan, jihad dan dakwah, tentara dan fikrah, akidah yang lurus dan ibadah yang benar.
Dalam kaitannya dengan PKS, partai dakwah ini adalah juga gerakan tarbiyah. Setiap anggotanya haruslah melampaui jenjang-jenjang tarbiyah yang telah ditetapkan partai. Tak bisa dipungkiri bahwa PKS berasal dari gerakan dakwah para mahasiswa dan mahasiswi di kampus-kampus dalam maupun luar negeri. Perjalanan dakwah para aktifis kampus itu dikenal dengan sebutan gerakan tarbiyah di Indonesia mulai marak sejak tahun 1990-an, dimana perlawanan terhadap kehidupan permissif, hidup tanpa norma semakin menggejala di kalangan kampus.
Mencermati dan menganalisa munculnya gerakan Gerakan Tarbiyah dan peranannya dalam perpolitikan nasional bukanlah hal yang mudah. Salah satu sebabnya adalah gerakan yang muncul pada pertengahan tahun 1980-an ini -hingga berubah menjadi kekuatan nasional yang diperhitungkan- dirintis oleh pioner-pioner yang bukanlah merupakan figur-figur yang sebelumnya dikenal publik secara luas. Mereka itu tidak lain hanyalah anak-anak muda biasa yang berkeinginan untuk mengamalkan ajaran-ajaran keagamaan yang mereka yakini sebagai ajaran agama yang universal dan menyeluruh dengan sedikit upaya untuk memperluas kesadaran keagamaan itu dalam berbagai aspek kehidupan termasuk politik.
Ciri khas gerakan tarbiyah ini adalah membentuk halaqah-halaqah (kelompok-kelompok) kecil yang terdiri dari lima hingga dua belas orang anggota (mutarabbi) dibimbing oleh seorang murabbi bahkan dalam realisasinya satu atau dua orang anggota pun jadi untuk dikader dan dibina sehingga memiliki wawasan keislaman yang syamil.
Gerakan tarbiyah ini mengidolakan para mujaddid dan ulama Timur Tengah melalui karya intelektualnya yang dituangkan ke dalam buku-buku panduan oleh Syaikh Hasan al-Banna, Sayd Hawwa, Sayd Qutb, Yusuf Qardlawi, Abu al-A`la al-Maududi serta para murid dan pengikutnya di berbagai penjuru dunia. Sehingga banyak kalangan mengidentikkan gerakan tarbiyah sebagai bagian dari jaringan gerakan Ikhwanul Muslimin yang lahir di Mesir. Banyak kalangan yang menyalah artikan konsistensi gerakan tarbiyah terhadap ajaran Islam sebagai kelanjutan dari gerakan DI/TII atau NII. Tuduhan tersebut kemudian terbantahkan karena gerakan tarbiyah tidak punya sama sekali basis historis dengan mereka.
Pada titik inilah, kelompok gerakan ini mendapatkan pengaruh yang sangat kuat dari sistem dan metodologi (manhaj) dakwah yang dikembangkan oleh Ikhwanul Muslimin di Mesir. Babak berikutnya dalam tubuh gerakan ini terdapat perubahan besar-besaran seiring dengan semakin banyaknya ide-ide dan pemikiran tokoh-tokoh Ikhwan yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Lebih lanjut perubahan-perubahan tersebut adalah merupakan proses transformasi dakwah.
PKS dalam mengemas dakwahnya juga memiliki tema-tema praktis, dari yang sederhana sampai yang berat. Semisal memilih pasangan, hidup bersih dan sehat, makan dan minum Rasulullah, pen¬tingnya kerja kolektif (amal jama’i), menutup aurat, ghirah pada keluarga dan agama, perjalanan dakwah kaum muda, dakwah di negeri-negeri Muslim, menghafal hadits arba'in dan surat-surat pendek dalam AI- Qur`an, ghazw al-fikr (perang ideologi), gerakan terselubung yang memusuhi Islam, lembaga-lembaga yang menentang Islam, sistem politik dan hubungan internasional, hak asasi manusia, dan lain sebagainya.
Syariat Islam ditegakkan melalui praktik riil seperti masalah sholat wajib dan sunnah puasa wajib dan sunnah, mengenakan jilbab, menjauhkan makanan dan gaya hidup haram bahkan yang ragu-ragu ditinggalkan. Pendek kata sejumlah perintah Allah dan Rasul-Nya dari yang besar hingga yang kecil berusaha untuk diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari semaksimal mungkin itu sebabnya gerakan tarbiyah (PKS) yang pada awalnya hanya dianggap sebagai gerekan pinggiran dan gerakan eksklusif kini telah berubah menjadi gerakan mainstream di tengah-tengah kehausan masyarakat akan Islam.
Sebagai partai yang mendeklarasikan dirinya sebagai partai kader PKS memiliki sistem kaderisasi kepartaian yang sistematis dan metodik. Kaderisasi ini memiliki fungsi rekrutmen calon anggota dan fungsi pembinaan untuk seluruh anggota, kader dan fungsionaris partai. Fungsi-fungsi ini dijalankan secara terbuka melalui infra struktur kelembagaan yang tersebar dari tingkat pusat sampai tingkat ranting. Fungsionalisasi berjalan sepanjang waktu selaras dengan tujuan dan sasaran umum partai, khususnya dalam bidang penyiapan sumber daya manusia partai.
Dari perjalanan pengkaderan yang tidak singkat itulah akan membentuk pribadi-pribadi para kader PKS sebagai pribadi yang sangat patuh dan taat bukan hanya kepada Tuhannya tetapi juga kepada para pemimpin partainya selama instruksi yang diberikan adalah selaras dengan Al-Qur`an dan Sunnah yang jadi pedomannya. Hal ini dapat dibuktikan ketika PKS mengadakan aksi sejuta umat, sebuah aksi demonstrasi yang mengagumkan. Unjuk rasa yang bukan hanya diikuti oleh orang-orang dewasa, tetapi juga anak-anak dan remaja bahkan terdapat juga ibu-ibu yang menggendong anaknya atau mendorong kereta bayinya. Keberanian mereka berdemonstrasi sambil membawa bayinya, di antara ratusan ribu orang di Bundaran Hotel Indonesia, jelas menunjukkan tingginya jaminan dan kepercayaan bahwa unjuk rasa itu akan berlangsung tertib dan damai.
Salah satu keberhasilan tarbiyah yang dilakukan PKS terhadap kadernya sehingga menjadi submission adalah pengambilalihan peran pendanaan partai yang biasanya oleh kaum kapitalis, bagi PKS menjadi tanggung jawab seluruh kader partai. Gerakan Lima Ribu Rupiah (GALIBU) dari para kader untuk mendanai aktifitas partai dapat diciptakan oleh Dewan Pimpinan Pusat PKS. Dalam konteks Indonesia yang dilanda krisis ekonomi gerakan GALIBU adalah indikasi militansi kader partai terhadap partainya.
Sedangkan prinsip egaliltarianism tidaklah dijumpai dalam PKS kecuali dalam kaitannya dengan kepemimpinan yaitu bahwa setiap anggota mempunyai hak yang setara untuk menjadi pemimpin walaupun dalam praktiknya setiap calon pemimpin harus memenuhi syarat dan kriteria-kriteria tertentu serta harus disepakati oleh Majelis Syuro sebagai lembaga tertinggi di PKS.
Dari uraian tersebut di atas tidaklah berlebihan apabila PKS secara terang-terangan menempatkan dirinya sebagai partai dakwah yang submission.

E. Refleksi
Analisa tersebut di atas menunjukkan bahwa PKS dengan metode tarbiyah yang diterapkan untuk membina para kadernya menghasilkan sikap keberagamaan yang submission. Tidak selamanya sikap yang submission itu negatif selama diciptakan keseimbangan berfikir yang rasional dan irrasional. Hal ini dibuktikan oleh PKS yang berhasil membentuk kader-kadernya menjadi kader militan, intelektual tetapi berkarakter santun sehingga dapat diterima sebagian besar masyarakat.
Belajar dari apa yang telah dilakukan PKS, nuansa submission perlu diciptakan tentunya dengan cara-cara yang rasional dan dengan keteladanan. Karena dengan submission-lah sebuah kebersamaan yang diimpikan untuk membangun bangsa akan menemui titik terang. Apalagi bagi para simpatisan, kader dan fungsionaris partai politik yang ingin meminimalkan perpecahan. Karena sesuatu yang mustahil untuk membangun bangsa yang beragam apabila dalam satu tubuh partai saja bercerai berai.
Dalam konteks ini PKS menganggap pembinaan pribadi agar menjadi pribadi yang baik adalah sebuah keniscayaan. Sebab pribadi yang baik akan melahirkan keluarga yang baik. Keluarga yang baik dapat pula melahirkan masyarakat yang baik. Apabila pribadi dan masyarakat sudah sama-sama baik maka akan tercipta lingkungan yang baik pula. Mengingat pembangunan sebuah Negara memerlukan pribadi dan masyarakat yang baik, yang layak memikul amanah yang dibebankan kepadanya, sehingga pembangunan pribadi menjadi sesuatu yang niscaya.

F. Kesimpulan
Partai Keadilan Sejahtera, adalah partai dakwah yang bukan hanya berbasis massa tetapi sangat mengutamakan pengkaderan. Melalui tahapan-tahapan pengkaderan yang sistematis dan metodik, PKS membentuk para kadernya menjadi pribadi yang submission. Namun konotasi submission yang dihasilkan dari pembinaan yang berkelanjutan di PKS menjadi positif karena di dalamnya ada keseimbangan antara rasional dan irrasional dalam memahami teks-teks keagamaan.

Related Posts by Categories



Comments (0)