BAB I PENDAHULUAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang universal dalam mengatur segala hal dan permasalahan. Tidak ada satupun dari aspek kehidupan di alam semesta ini yang lepas dari kontrol dan aturan yang telah digariskan oleh syariat Islam, demikian pula dalam hal sistem perburuhan sudah tercakup didalamnya.

Syariat Islam telah mengatur sedemikian rupa tentang aturan perburuhan, termasuk didalamnya mengatur tentang kewajiban majikan (pengusaha) terhadap pekerjanya. Rasulullah SAW bersabda :

وَعَنِ ابْنُ عُمَر رَضِيَ اللّهُ عَنْهُماَ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا اْلاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عَرَفُهُ . ( رواه ابن ماجه )

Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a berkata, telah bersabda Rasulullah SAW : “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum kering keringatnya.” (H.R Ibnu Majah) [1]

1

Sementara dalam Undang–Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga telah diatur pula tentang pekerja, baik itu mengenai hak-hak bagi para pekerja atau lainnya seperti yang tercantum pada pasal 6 yang berbunyi “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha “.

Industrialisasi akan melahirkan insan-insan yang mencoba meraih kesejahteraan dari hubungan industrial, dan mereka ini yang disebut pekerja yang tidak memiliki apa-apa selain dari tenaga untuk dijual guna sekedar menyambung hidup, karena manusia selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya, baik moral maupun material, baik kebutuhan itu penting maupun tidak, sesuai dengan kemampuan mereka.[2]

Dalam suatu perusahaan, peranan tenaga kerja manusia sangat vital untuk menjalankan kegiatan usaha. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan perlu diberikan perhatian yang layak kepada pekerja/buruh agar prestasi kerja meningkat. Cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memberikan perlindungan kepada pekerja/buruh dalam mewujudkan kesejahteraan.

Negara selaku pelaksana utama konstitusi, mau tidak mau harus bertanggung jawab terhadap sistem perburuhan agar pekerja/buruh dapat terlindungi hak-haknya yang tercantum dalam konstitusi. Undang-Undang Dasar 1945 pasal 27 (2) berbunyi “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” serta pasal 28 yang menyatakan “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan undang-undang” merupakan hak konstitusional bagi warga negara, khususnya pekerja untuk memperoleh hak konstitusional tersebut.

Sejak awal diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, pembangunan ketenagakerjaan Indonesia menetapkan 4 ( empat ) tujuan,seperti yang tercantum dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, yaitu :

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.

2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.

4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Namun dari sekian banyak jaminan yang dijanjikan oleh konstitusi negara kita perihal ketenagakerjaan, masih tersimpan momok menakutkan yang harus dihadapi oleh para pekerja/buruh yaitu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mengingat krisis ekonomi yang menambah runyamnya situasi ketenagakerjaan di Indonesia. Anjloknya nilai rupiah, daya beli yang merosot dan produksi yang macet, menyebabkan PHK massal terjadi dimana-mana. Pengangguran mencapai jumlah puluhan juta jiwa, sehingga menambah beban perekonomian yang beranjak mundur.[3]

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal kesengsaraan bagi pekerja, dengan terkena PHK para pekerja akan kehilangan sumber nafkahnya. Sementara saat ini, sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan dan krisis politik yang tak tentu arah telah membawa rakyat Indonesia pada degradasi ekonomi yang cukup serius,[4] ditambah dengan persoalan pemerintah yang belum dapat menciptakan lapangan kerja bagi para angkatan kerja yang selalu bertambah setiap tahunnya.

Ironis memang, bahwa sebelum dan sesudah diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan sikap pro dan kontra terhadap Undang-Undang tersebut demikian marak dan menuai banyak kontroversi. Dari pihak pengusaha terdapat paradigma yang pada intinya menyatakan bahwa undang-undang ini lebih berpihak pada kepentingan pekerja, seperti jumlah uang pesangon yang lebih banyak dari perundang-undangan sebelumnya serta dispensasi tidak masuk kerja bagi yang menikah diberikan waktu 3 (tiga) hari dan dispensasi lainnya 2 (dua) hari.

Sebaliknya, dari pihak pekerja menilai undang-undang ini lebih memihak pada kepentingan pengusaha seperti tercermin pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), karena melakukan kesalahan berat yang tercantum dalam Pasal 158 dan Pasal 159 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Para pekerja telah mendalilkan bahwa pasal 158 dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan Pemutusan Hubungan Kerja adalah bertentangan dengan pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.[5]

Yang dimaksud dengan kesalahan berat” dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 adalah pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh dengan ketentuan bahwa kesalahan berat tersebut di atas didukung dengan bukti-bukti sebagai berikut :

1. Pekerja/buruh tertangkap tangan

2. Ada pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan

3. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.[6]

Hal ini dipandang sebagai perlakuan diskriminatif dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 158 berindikasi telah memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHK dengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due process of law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku.[7] Jika hal ini terjadi, kita akan dihadapkan pada keadaan yang semakin parah karena tingkat pengangguran akan semakin membengkak.

Terlepas dari teori di atas, Islam menawarkan konsep hak bekerja dan kewajiban pekerja. Dimana setiap individu untuk dapat memilih sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan potensi yang dimiliki serta memberikan kesempatan kerja yang sama kepada semua orang.[8] Allah SWT berfirman :

هُوَ الَّذِي جَعَـلَ لَكُـمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِـي مَنَاكِـبِهَا وَكُلُـوا مِنْ رِزْقِـهِ وَإِلَيْـهِ النُّشُورُ. ( الملك : 15)

Artinya :

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan”. (QS : al-Mulk : 15)

Sebagai manusia yang ciptakan oleh Allah SWT beserta segala kelengkapan hidup, rizqi Allah SWT sangatlah luas. Manusia mendapat hasil dari muka bumi ini menurut kesanggupan tenaga, ilmu, usaha serta kerja keras agar semuanya dapat tercapai.[9] Allah SWT berfirman :

وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ. (التّوبة : 105)

Artinya :

Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (QS : at-Taubah : 105)

Bekerja dapat mengubah taraf hidup di mata manusia dan mendapat kemuliaan di mata Allah SWT[10]. Rasulullah SAW bersabda :

عَنْ رِفاَعَةَ ابْنِ رَافِعٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلّى اللّه عليه وسلّم سُئِلَ : أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلَُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ . ( رواه البزار وصححه الحاكم )

Artinya:

“Rifa’ah bin Rafa’I berkata bahwa Nabi SAW ditanya : “ Apa mata pencarian yang paling baik ? Nabi menjawab: “ Seseorang bekerja dengan tangannya dan tiap-tiap jual beli yang bersih ”. (HR. al-Bizzaari dan disahkan oleh Hakim).

Telah menjadi Sunnatullah di dunia bahwa kemakmuran akan dicapai oleh mereka yang bekerja keras dan memanfaatkan segala potensi untuk mencapai keinginannya.[11] Dengan kensekuensi azas keadilan dan persamaan hak tanpa membedakan kelas dalam masyarakat di mata hukum, baik hukum yang di buat manusia maupun hukum atas hak-hak yang Allah SWT miliki.

Islam menekankan bahwa hak kerja para pekerja didasarkan atas kemampuan dan profesionalitas, mengingat penekanan Islam dalam prestasi kerja sangat tinggi. Pekerja harus bekerja dengan baik dan memenuhi kewajiban guna meningkatkan produktifitas usaha. Namun di sisi lain, tidak menampik bahwa hak-hak mereka juga harus dipenuhi, diperhatikan dan jangan diabaikan oleh para pengusaha. Pengusaha tidak boleh sewenang-wenang dalam mem-PHK pekerja, karena semuanya itu telah diatur dalam koridor-koridor hukum yang berlaku.

Bertolak dari uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mencoba mengangkat masalah hak dan kewajiban dalam hubungan industrial, baik dari segi hukum Islam maupun undang-undang untuk mengetahui pelaksanaan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di CV. Setia Kawan yang beralamat di Jl. Bojong Raya No.34 Kel. Rawa Buaya Kec. Cengkareng Kodya Jakarta Barat, dipimpin oleh Dedi Hermanto dan berdiri pada tahun 1995 serta bergerak dibidang pembuatan mesin-mesin industri, sparpart mesin, bubut dan lain sebagainya ini dalam sebuah karya ilmiah dengan judul “ Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Terhadap Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan Kec. Cengkareng Kodya. Jakarta Barat “.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka untuk menghindari luasnya permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini. Penulis membatasi masalah hak dan kewajiban dalam hubungan industrial menurut Undang-Undang dan Hukum Islam yang dikorelasikan dengan mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di CV. Setia Kawan.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari pembatasan masalah, maka perumusan masalah yang akan dibahas adalah sebagai berikut :

a. Bagaimana konsep Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan ?

b. Bagaimana mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan?

c. Bagaimana tinjauan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Hukum Islam mengenai mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk memberikan suatu kajian tentang tinjauan Undang-Undang dan Hukum Islam terhadap mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di CV. Setia Kawan.

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui masalah mengenai Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan.

b. Untuk mengetahui tinjauan Undang-Undang dan Hukum Islam mengenai mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan.

c. Untuk menganalisa perbandingan Undang-Undang dan hukum Islam mengenai mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui Undang-Undang dan Hukum Islam yang mengatur masalah hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha serta mengetahui mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

b. Sebagai gambaran umum tentang apa saja yang dijadikan aturan dalam mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di CV. Setia Kawan.

c. Dapat memberikan informasi kepada masyarakat untuk lebih dapat mengetahui sistem Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang diterapkan bagi pekerja oleh perusahaan.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif analisis yang menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh dilapangan[12]. Metode penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan deskripsi berupa kata-kata atau lisan dari fenomena yang diteliti atau dari orang-orang yang berkopenten dibidangnya[13]. Serta metode komparatif, yaitu metode yang mengkomparasikan antara Hukum Islam dan Hukum Positif yang berlaku, bagaimana kedua-duanya menyikapi masalah yang sedang diteliti.

2. Jenis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data sekunder, karena penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data sekunder dibidang hukum dipandang dari kekuatan mengikatnya dapat dibedakan menjadi :

a. Bahan Hukum Primer :[14]

1) Al-Qur’an dan Hadits.

2) Norma-norma dasar Pancasila.

3) Peraturan Perundang-undangan.

4) Bahan hukum yang tidak terkodifikasi.

b. Bahan Hukum Sekunder :

Yaitu bahan pustaka yang berisi tentang informasi bahan hukum yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis serta memahami bahan hukum primer, misalnya :

1) Rancangan Peraturan Perundang-undangan.

2) Hasil karya ilmiah para sarjana.

3) Pendapat para madzhab.

4) Hasil-hasil penelitian.

5) Buku-buku dalam hal ini, yang memuat peraturan-peraturan, bahan pustaka serta majalah-majalah ilmiah.

c. Bahan Hukum Tertier

Yaitu bahan hukum yang memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan sekunder, misalnya Kamus Bibliografi.

3. Metode Pengumpulan Data

a. Kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji Undang-Undang, buku-buku, literatur-literatur dan lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian lapangan (field Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara wawancara kepada pimpinan perusahaan CV. Setia Kawan dan mengumpulkan data yang berkaitan dengan skripsi ini.

4. Tehnik Penulisan

Adapun pedoman yang dipergunakan dalam penulisan ini adalah buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum yang diterbitkan oleh FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM TAHUN 2007.

E. Review Studi Terdahulu

Dari beberapa literatur skripsi yang berada di Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengambilnya untuk menjadikan sebuah perbandingan mengenai kasus-kasus perihal ketenagakerjaan.

Adapun judul-judul skripsi itu adalah :

1. “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Peraturan Pengupahan Pada Perusahaan (Studi Kasus Di PD. Sinar Abadi)” yang ditulis oleh Mina Kurniasih Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum.

Kesimpulan dari judul di atas adalah :

a. Membahas dasar hukum pengupahan, yaitu QS az-Zukhruf : 32, QS al-Baqarah : 233 dan al-Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah tentang pemberian upah pada pekerja sebelum keringatnya kering.

b. Tujuan dari pengupahan untuk mencukupi kebutuhan hidup sebagai imbalan dari hasil kerja keras dalam bekerja. Upah yang ditentukan harus melalui proses negosiasi antara pihak buruh dan pengusaha serta kedua belah pihak tidak boleh berbuat dzalim (saling merugikan).

c. Ketetapan hukum tentang pengupahan menurut hukum Islam harus berdasarkan prinsip keadilan, upah harus mempertimbangkan kepentingan pencari nafkah dan pengusaha. Juga tak kalah pentingnya adalah persamaan pria dan wanita dalam dunia kerja. Adapun dalam hukum positif menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan jasa yang telah atau akan dilakukan.

2. “Pandangan Hukum Islam Terhadap Tenaga Kerja Wanita” yang ditulis oleh Hasan Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum.

Kesimpulan dari judul diatas adalah :

a. membahas dasar hukum Islam tentang tenaga kerja wanita, yaitu QS. An-Nahl : 97 tentang persamaan manusia disisi Allah dan hanya ketaqwaan, perbuatan baik serta buruk yang membedakan manusia disisi Allah Swt.

b. Tujuan dari tinjauan hukum Islam terhadap tenaga kerja wanita yaitu untuk mengetahui kondisi yang membolehkan, yang memakruhkan dan yang mengharamkan wanita bekerja, mencari nafkah dan aktif dalam profesi.

c. Ketetapan hukum tentang tenaga kerja wanita tercantum dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah setiap orang laki-laki dan perempuan yang sedang dalam atau akan melakukan pekerjaan, baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.

3. “Analisis Normatif Tenaga Kerja Anak Dalam Hukum Islam Dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003” yang ditulis oleh Hadi Muslana Jurusan Perbandingan Madzhab Hukum.

Kesimpulan dari judul diatas adalah :

a. membahas dasar hukum, yaitu QS. Al-Imran : 195 yang menunjukkan bahwasanya seorang tenaga kerja baik dewasa maupun anak-anak berhak mendapatkan upah dari setiap pekerjaan yang telah dilakukan, bahkan penerapan perlakuan khusus bagi pekerja anak. Diantaranya hak untuk mendapatkan upah, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan mampu dikerjakan anak, hak untuk memperoleh istirahat yang cukup, hak untuk menunaikan kewajiban agama, Negara dan lainnya, hak untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. Serta dalam tinjauan hukum positif menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang mengatur dan memberikan perlindungan teerhadap para pekerja anak pada Bab X Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 yang mengatur perlindungan terhadap tenaga kerja anak, mulai dari larangan mempekerjakan anak hingga upaya yang dilakukan pemerintah dalam menanggulangi pekerja anak yang diatur dalam peraturan pemerintah.

b. Tujuannya adalah pada prinsipnya Islam membolehkan atau tidak melarang anak-anak untuk bekerja, namun harus sesuai dengan kemampuannya dan mendapatkan hak kasih sayang dari orang tua secara wajar agar terbiasa mandiri dan bertanggung jawab. Sedangkan menurut hukum positif, semaksimal mungkin untuk mencegah anak menjadi pekerja, karena kewajiban anak adalah belajar sesuai peraturan pemerintah tentang pencanangan wajib belajar 12 tahun.

c. Ketetapan hukum tentang tenaga kerja anak menurut Permenaker Nomor Per-01/Men/1987 tentang perlindungan bagi anak yang terpaksa bekerja dalam Pasal 1 yang berbunyi bahwa anak yang terpaksa bekerja adalah anak yang berumur 14 tahun karena alasan sosial ekonomi dan terpaksa bekerja untuk menambah penghasilan untuk dirinya sendiri. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1997 Tentang Ketenagakerjaan pada Pasal 95 dijelaskan bahwa setiap pengusaha dilarang mempekerjakan anak.

F. Sistematika Penulisan

Untuk dapat memudahkan penulisan dalam penyusunan skripsi, maka penulisan skripsi disusun dengan sistematika sebagai berikut :

Bab I Sebagai Pendahuluan yang mengulas latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, review studi terdahulu dan sistematika penulisan.

Bab II Sebagai pemutusan hubungan kerja dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dan hukum Islam yang mengulas tentang hubungan kerja, kewajiban pekerja dan pengusaha, pemutusan hubungan kerja, besarnya uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.

Bab III Sebagai mekanisme pemutusan hubungan kerja di CV. Setia Kawan Kec. Cengkareng Kodya. Jakarta Barat yang mengulas tentang gambaran umum perusahaan, hubungan kerja di CV. Setia Kawan, produk CV. Setia Kawan, mekanisme pemutusan hubungan kerja di CV. Setia Kawan.

Bab IV Sebagai analisis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan hukum Islam mengenai mekanisme pemutusan hubungan kerja di CV. Setia Kawan Kec. Cengkareng Kodya. Jakarta Barat yang mengulas tentang analisis menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan dan analisis menurut hukum Islam.

Bab V Sebagai Penutup yang berisi Kesimpulan dan Saran-Saran.



[1] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj, (Bandung, PT. Alma’arif, 1987), Jilid. 13, h.10

[2] Mulyanto Sumardi & Hans-Dieter Evers, ed, Kemiskinan dan Kebutuhan Pokok, (Jakarta, CV. Rajawali Pers, 1985), Cet. Ke-2 h.2

[3] Eggi Sudjana, Bayarlah Upah Sebelum Keringatnya Mengering, (Jakarta: PPMI, 2000), cet. Ke-1, h. 3.

[4] Eggi Sudjana, Ibid; h. v.

[5]Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Kantor Advokat Dewi Mulyaraharjani & Partners (DMP Advocates) dalam kegiatan Seminar Nasional “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pembatalan Pasal Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha Dalam UU Ketenagakerjaan”. Yang diselenggarakan pada: Hari/Tanggal : Rabu/14 Desember 2005 Jam : 08.30 – 16.00 WIB Tempat : Hotel Le Meridien, Jl. Jend. Sudirman Kav.18-20 Jakarta Pusat. (www.google.com)

[6] Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

[7] Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) bekerja sama dengan Kantor Advokat Dewi Mulyaraharjani & Partners (DMP Advocates) dalam kegiatan Seminar Nasional, Op. Cit; (www.google.com)

[8] Abdul Hamid Mursi, SDM Produktif : Pendekatan Al-Qur’an dan Sains, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), h. 155

[9] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid X, cet. Ke-2 (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993), h. 7543.

[10] Abdul Malik Abdul Karim Amrullah, Tafsir Al-Azhar, Jilid IV, cet. Ke-2 (Singapura: Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993), h. 3119.

[11] Rachmat Syafe’I, al-Hadits ; Aqidah, Akhlaq, Sosial dan Hukum, (Bandung, Pustaka Setia, 2003), Cet.2, hal.113.

[12] Suharsimi Ari Kunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta, PT. Rineka Cipta, 1993), Cet. Ke-2 h.309

[13] Lexi. J. Moeloeng, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung, PT. Remaja Rosda Karya, 2001), h.3

[14] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 2005), h. 25


BAB II

PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM ISLAM

A. Hubungan Kerja

1. Pengertian Hubungan Kerja

Dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.

2. Unsur-Unsur Hubungan Kerja

Dari pengertian hubungan kerja yang telah dipaparkan, maka hubungan kerja terdiri dari 3 (tiga) unsur :

a. Pekerjaan

Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan (objek perjanjian) dan pekerjaan itu haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja. Secara umum yang dimaksud dengan pekerjaan adalah segala perbuatan yang harus dilakukan oleh pekerja untuk kepentingan pengusaha sesuai isi perjanjian kerja

b. Upah

18

Upah adalah hak pekerja yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang atau bentuk lain sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian, kesepakatan atau peraturan perundang-undangan. Termasuk tunjangan bagi pekerja dan keluarganya atas suatu pekerjaan atau jasa yang telah dilakukan.

Dengan demikian, inti dari upah adalah imbalan prestasi yang dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja atas pekerjaan yang telah dilakukan oleh pekerja.

c. Perintah

Perintah merupakan unsur yang paling khas dari hubungan kerja. Maksudnya bahwa pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja berada dibawah perintah pengusaha. Dalam praktek unsur perintah ini misalnya dalam perusahaan yang mempunyai banyak pekerja yaitu adanya peraturan tata tertib yang harus dipatuhi oleh pekerja.

Dengan dipenuhinya ketiga unsur tersebut, bahwa hubungan kerja baik yang dibuat dalam bentuk perjanjian kerja tertulis maupun lisan.[1]

3. Status Hubungan Kerja Antara Pekerja dengan Pengusaha

Jika seseorang bekerja di sebuah perusahaan, maka terjadi hubungan kerja yang diwujudkan dengan adanya perjanjian kerja[2] antara perusahaan dengan pekerja secara tertulis maupun lisan. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, ada 2 macam status karyawan yaitu :

a. Karyawan kontrak yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tertentu.

b. Karyawan tetap yang diikat oleh perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu [3].

Definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan kontrak adalah sebagai berikut[4] :

1) Karyawan kontrak dipekerjakan oleh perusahaan untuk jangka waktu tertentu saja, waktunya terbatas maksimal hanya 3 tahun.

2) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu”.

3) Perusahaan tidak dapat mensyaratkan adanya masa percobaan.

4) Status karyawan kontrak hanya dapat diterapkan untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya.

b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun .

c) Pekerjaan yang bersifat musiman.

d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru. atau produk tambahan yang masih dalam percobaan.

e) Untuk pekerjaan yang bersifat tetap, tidak dapat diberlakukan status karyawan kontrak.

f) Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan yang telah disepakati bersama, maka pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar gaji karyawan sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

g) Jika setelah kontrak kemudian perusahaan menetapkan yang bersangkutan menjadi karyawan tetap, maka masa kontrak tidak dihitung sebagai masa kerja.

Sedangkan definisi dan ketentuan yang berlaku untuk karyawan tetap adalah sebagai berikut [5] :

1) Tak ada batasan jangka waktu lamanya bekerja.

2) Hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan kontrak dituangkan dalam “Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu”.

3) Perusahaan dapat mensyaratkan masa percobaan maksimal 3 bulan.

4) Masa kerja dihitung sejak masa percobaan.

5) Jika terjadi pemutusan hubungan kerja bukan karena pelanggaran berat atau karyawan mengundurkan diri maka karyawan tetap mendapatkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (bagi karyawan yang bekerja minimal 3 tahun) dan uang penggantian hak sesuai Undang-Undang yang berlaku.

4. Prosedur Pemutusan Hubungan Kerja Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja

Pada pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I Nomor : PER-03/MEN/1996 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubunag Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta sebagai berikut :

  1. Setiap pemutusan hubungan kerja di perusahaan harus mendapatkan ijin dari Panitia Daerah untuk pemutusan hubungan kerja perorangan dan dari Panitia Pusat untuk pemutusan kerja massal.
  2. Pengecualian dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja tanpa meminta ijin kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat dalam hal :

a. Pekerja dalam masa percobaan ;

b. Pekerja mengajukan permintaan mengundurkan diri secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa mengajukan syarat;

c. Pekerja telah mencapai usia pensiun yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja atau Peraturan Perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama;

3. Permohonan ijin pemutusan hubungan kerja tidak dapat diberikan apabila pemutusan hubungan kerja didasarkan atas :

a. Hal-hal yang berhubungan dengan kepengurusan dan atau keanggotaan Serikat Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau dalam rangka membentuk Serikat Pekerja atau melaksanakan tugas-tugas atau fungsi serikat pekerja atau melaksanakan tugas-tugas atau fungsi Serikat Pekerja di luar jam kerja atau di dalam jam kerja atas ijin tertulis pengusaha atau yang di atur dalam kesepakatan Kerja Bersama.

b. Pengaduan pekerja kepada yang berwajib mengenai tingkah laku pengusaha yang terbukri melanggar Peraturan Negara;

c. Paham, agama, aliran, suku, golongan atau jenis kelamin.

4. Pemutusan hubungan kerja dilarang :

a. Selama pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurut ketenangan dokter, selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan terus-menerus.

b. Selama pekerja berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap Negara yang ditetapkan oleh Undang-undang atau Pemerintah atau karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yang disetujui Pemerintah.

c. Karena alasan menikah, hamil, atau melahirkan bagi pekerja wanita.

5. Hubungan Kerja dalam Islam

Masalah perburuhan dan ketenagakerjaan diatur dalam Hukum Kontrak Kerja. Dalam hukum Islam, kontrak kerja atau perjanjian kerja disebut dengan ijarah ( اجارة) al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru ( الأجر) yang berarti al-‘Iwadlu (pengganti). Dari sebab itu ats-Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).

Secara definisi, ijarah ( اجارة) adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian / imbalan upah.[6]

Lafadz ijarah mempunyai pengertian umum yang meliputi upah atas manfaat sesuatu benda atau imbalan suatu kegiatan atau upah atas suatu aktivitas. Bila sekiranya kitab-kitab fiqih selalu menterjemahkan kata ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa suatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti luas.

Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Hal ini sama artinya dengan menjual manfaat sesuatu pekerjaan, bukan menjual ‘ain dari benda itu sendiri.

Dari segi ini ijarah dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu [7]:

a. Ijarah yang mentransaksikan manfaat harta benda yang lazim disebut persewaan. Misalnya rumah, toko, kendaraan dan lain sebagainya.

b. Ijarah yang mentransaksikan manfaat Sumber Daya Manusia yang lazim di sebut perburuhan.

a) Landasan Hukumnya

1. Landasan al-Qur’an

Firman Allah SWT :

وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَعَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا ءَاتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُوااللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ .(البقرة/2:233)

Artinya :

“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertaqwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu lakukan.” (Q.S al-Baqarah : 233)

قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِاسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِينُ قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْأُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِيثَمَانِيَ حِجَجٍ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍفَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيدُ أَنْأَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَالصَّالِحِينَ . (القصص/ 28: 26)

Artinya :

“Salah seorang dari wanita itu berkata : “ Wahai bapakku, apabila ia sebagai seorang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang paling kuat lagi dapat dipercaya. Berkata ia (syu’aib) : “ Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang putriku ini, atas dasar kamu bekerja denganku delapan tahun, dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (sesuatu kebaikan) dari kamu,maka aku tidak ingin memberatkan kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik.” (Q.S al-Qashash : 26-27)

2. Landasan Sunnah

وَعَنِ ابْنُ عُمَر رَضِيَ اللّهُ عَنْهُماَ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا اْلاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عَرَفُهُ . ( رواه ابن ماجه)

Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a berkata, telah bersabda Rasulullah SAW : “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum kering keringatnya.” (H.R Ibnu Majah) [8]

Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi SAW berbekam :

عن عبـاس رضي اللّه عنه قال اِحْتَجَمَ وَاعْطَى الْحَجَّامَ اَجْرَهُ(رواه البخارى و مسلم)

Artinya :

“Dari Abbas r.a berkata : Bahwa Nabi SAW pernah berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam tersebut.” (H.R Bukhori dan Muslim) [9]

b) Syarat Sahnya Perjanjian Kerja

Untuk sahnya perjanjian kerja diperlukan syarat sebagai berikut :[10]

1. Kerelaan dua belah pihak yang melakukan akad.

2. Mengetahui manfaat dengan sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisihan.

3. Hendaklah ma’qud ‘alaih dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, realita dan syara’.

4. Bahwa manfaat dari ma’qud ‘alaih adalah sesuatu yang dibolehkan.

5. Tidak menyewa untuk pekerjaan yang diwajibkan kepadanya

c) Rukun Perjanjian Kerja

Rukun dalam perjanjian kerja sebagaimana pendapat jumhur ulama dalam rukun ijarah, yaitu :[11]

1.‘Aqid ( orang yang berakad / mu’ajir dan musta’jir )

Syarat orang yang berakad itu menurut ulama hanafiyah yaitu ‘aqid disyaratkan harus berakal dan mumayyiz dan tidak disyaratkan harus baligh. Sedangkan ulama Hanabilah dan Syafi’iyah mensyaratkan orang yang akad harus mukallaf, yaitu baligh dan berakal, sedangkan anak mumayyiz belum dapat dikategorikan sebagai ahli akad.

1. Shighat akad (ijab dan Qobul)

2. Ujrah (upah)

3. Manfaat.

d) Jenis-Jenis Perjanjian Kerja

Jenis perjanjian kerja dibahas dalam pembagian dan hukum ijarah didalam hukum upah-mengupah.

Upah-mengupah atau ijarah ‘ala al-a’mal yakni jual beli jasa, biasanya berlaku dalam beberapa hal seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah dan lain sebagainya. Ijarah ‘ala al-a’mal terbagi menjadi dua bagian, yaitu :[12]

1. Ijarah khusus/orang upahan secara khusus

Ialah seorang yang diupah dalam masa yang ditentukan untuk dipekerjakan. Bila masanya tidak ditentukan, maka ia bernama ijarah fasidah atau sewaan yang rusak. Baik penyewa maupun orang sewaan berhak memfasakhkan sewaan itu, bila ia mau memfasakhkannya.

Mengenai upahan, bahwa bila orang upahan telah menyerahkan dirinya kepada yang mengupahnya untuk suatu waktu tertentu, maka dia hanya berhak mendapatkan upah yang berlaku mengenai kerja seperti upah mitsil sesuai awal mula dia bekerja padanya.

Adapun orang upahan khusus tidak boleh selama dalam masa upahan yang diakadkan bekerja pasda orang lain.

2. Ijarah musytarik/orang upahan bersama

Adalah orang yang mengerjakan suatu pekerjaan lebih dari satu orang, mereka bersama-sama mengerjakannya. Umpamanya tukang jahit, tukang kayu dan lain-lain. Orang yang mengupahkan tidak berhak melarang orang tersebut bekerja untuk orang lain. Orang itu hanya berhak menerima upahnya selama ada yang dikerjakan.

e) Ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan atas seorang pekerja atau buruh, harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam atau satu bulan

2. Harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya.

3. Pekerjaan yang menjadi objek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsungnya akad ijarah. Seperti membayar hutang, menyusui anak.

4. Tidak sah mengupah perbuatan yang bersifat ibadah, seperti shalat, puasa. Sehubungan dengan prinsip ini terdapat perbedaan pendapat mengenai ijarah terhadap pekerjaan seorang mu’adzin, imam dan pengajar al-Qur’an, mamandikan jenazah. Dalam hal ini menurut Fiqoha Hanabilah dan Hanafiah tidak sah, karena alas an mereka perbuatan tersebut tergolong pendekatan diri (taqarrub) kepada Allah. Tetapi menurut Imam Malik dan Imam Syafi’iy ijarah atas pengajaran al-Qur’an, mengumandangkan adzan dan menjadi imam masjid adalah boleh,karena ijarahtersebut berlaku pada suatu pekerjaan yang jelas dan bukan merupakan kewajiban pribadi. Namun Imam Syafi’iy tidak membenarkan ijarah atas sholat fardhu,tetapi dalam hal ibadah haji Imam Syafi’iy membolehkan ijarah untuk melaksanakan manasik haji.[13]

Mengenai ijarah mengikat atau tidak, syarat sah dan tidaknya transaksi ijarah tersebut adalah adanya jasa yang di kontrak haruslah jasa yang mubah / dibolehkan menurut syara’, tidah diperbolehkan mengontrak seorang ajiir untuk memberikan jasa yang diharamkan dan juga tidak diperbolehkan melakukan transaksi ijarah dalam bentuk pekerjaan riba serta tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dengan cara yang diharamkan [14].

Sedangkan dalam hal alasan pembatalan ijarah, yaitu [15] :

1. ketidakjelasan jenis kerja.

2. ketidakjelasan waktu kerja.

3. ketidakjelasan upah.

4. membebani pekerjaan kepada pekerja diluar kapasitas tenaganya.

5. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan atau selesainya pekerjaan.

C. Kewajiban Pekerja dan Pengusaha

Pekerja maupun majikan masing-masing mempunyai kewajiban. Kewajiban buruh pada umumnya terkait dalam hak majikan, begitu juga hak buruh terkait dalam kewajiban majikan. Misalnya, buruh mempunyai kewajiban untuk melaksanakan pekerjaan, maka majikan mempunyai hak atas pelaksanaan pekerjaan oleh buruh tersebut.[16]

1. Kewajiban Pekerja Menurut Hukum Positif

Dalam KUH Perdata, ketentuan mengenai kewajiban pekerja dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b dan 1603c KUH Perdata yang pada intinya adalah sebagai berikut :[17]

a) Pekerja Wajib Melakukan Pekerjaan

Melakukan pekerjaan adalah tugas utama dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja yang sangat pribadi sifatnya, karena berkaitan dengan keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya.

b) Pekerja Wajib Mentaati Peraturan dan Petunjuk Majikan

Dalam melakukan pekerjaannya pekerja wajib mentaati petunjuk yang diberikan oleh majikan/pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan, sehingga menjadi jelas ruang lingkupnya.

Hal ini dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 1603b yang berbunyi “buruh wajib mentaati aturan mengenai hal melakukan pekerjaan dan aturan yang ditujukan pada peningkatan tata tertib dalam perusahaan majikan yang diberikan kepadanya oleh atas nama majikan dalam batas aturan perundang-undangan atau perjanjian atau peraturan majikan ataupun adat kebiasaan”.

Penataan peraturan oleh buruh bukannya tidak terbatas, perkataan “dalam batas” tersebut dalam Pasal 1603b menunjukkan bahwa buruh hanya wajib mentati peraturan mengenai pelaksanaan pekerjaan, sepanjang peraturan tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang, perjanjian, peraturan majikan atau kebiasaan.[18]

c) Pekerja Wajib Mengganti Kerugian dan Denda

Kewajiban membayar ganti rugi dan denda, jika pekerja melakukan perbuatan yang merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib membayar kerugian atau denda.[19]

2. Kewajiban Majikan Menurut Hukum Positif

Kewajiban majikan/pengusaha yang terpenting sebagai akibat langsung dari perjanjian kerja yang sah, ialah membayar upah (Pasal 1602 KUH Perdata).

Kewajiban-kewajiban pokok lain menurut peraturan yang ada yang dibebankan pada pengusaha adalah mengatur pekerjaan, mengatur tempat kerja, memberi surat keterangan dan sebagai kewajiban tambahan ialah mengadakan buku upah, buku pembayaran upah, daftar hadir dan lain sebagainya.[20]

Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa kewajiban itu hanya merupakan beberapa kewajiban yang dirinci oleh undang-undang, sementara masih banyak kewajiban lainnya yang belum terkodifikasi. Sebab, perlindungan kepada buruh banyak sekali terwujud dari kewajiban-kewajiban yang diletakkan oleh undang-undang kepada majikan. Oleh karena itu, sering sekali pelanggaran atas kewajiban itu diancam dengan pidana.

Adapun kewajiban majikan/pengusaha terhadap para pekerja/buruhnya adalah :[21]

a) Membayar Upah

Dalam hubungan kerja, kewajiban utama dan yang terpenting bagi majikan terhadap pekerja sebagai akibat langsung dari pelaksanaan perjanjian kerja adalah membayar upah tepat pada waktunya. Ketentuan ini jelas ditegaskan pada Pasal 1602 KUH Perdata yang berbunyi “ Majikan wajib membayar upah kepada buruh pada waktu yang ditentukan”.

Upah merupakan salah satu sarana utama bagi pekerja dan keluarganya. Oleh karena itu, perihal upah selain menimbulkan kewajiban dari pekerja dan majikan, perlu juga perhatian dari pihak lain dalam hal ini adalah pemerintah sebagai pelaksana kebijakan konstitusi.

b) Kewajiban Untuk Memberikan Istirahat Tahunan

Dalam pasal 1602v KUH Perdata Jo PP Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Istirahat Tahunan Untuk Buruh. Dalam ketentuan tersebut antara lain disebutkan pihak majikan diwajibkan untuk mengatur pekerja sedemikian rupa, sehingga disatu pihak hak cuti atau istirahat bisa diberikan secara teratur dan dipihak lain jalannya produksi dari suatu perusahaan juga tidak terganggu, sehingga semua pihak bisa melaksanakan kewajibannya dengan tenang serta sesuai dengan koridor-koridor yang telah diatur.

c) Kewajiban Mengurus Perawatan dan Pengobatan

Dalam pasal 1602x KUH Perdata ditentukan bahwa majikan wajib mengurus perawatan dan pengobatan, jika buruh yang bekerja di perusahaan yang bersangkutan menderita sakit ataupun kecelakaan, tetapi tanggungan tersebut hanya untuk waktu 6 (enam) minggu pertama.

Walaupun demikian, bukan semua penderitaan sakit yang diderita siburuh menjadi tanggung jawab majikan, karena kecelakaan buruh akibat dari kelalaian dari pekerja itu sendiri, yang disengaja ataupun karena perbuatan asusila, maka biaya perawatan dan pengobatan bukan menjadi tanggung jawab pengusaha.

d) Kewajiban Memberikan Surat Keterangan

Pada ketentuan pasal 1602a ayat 1 dan 2 KUH Perdata antara lain disebutkan bahwa majikan wajib memberikan surat keterangan yang dibubuhi tanggal dan tanda tangan si majikan. Dan didalam surat keterangan tersebut, haruslah berisi tentang pekerjaan yang dilakukan serta lamanya hubungan kerja antara si majikan dengan si buruh. Surat keterangan tersebut diberikan jika hubungan kerja tersebut diakhiri atas permintaan buruh itu sendiri.

Dengan bermodalkan surat keterangan tersebut, si pekerja dapat membuktikan atas pengalaman kerjanya, jabatan yang pernah diduduki dan keahlian tertentu yang dimiliki si pekerja tersebut.

e) Kewajiban Majikan Untuk Memberlakukan Kesamaan Derajat Antara Pekerja Pria dan Wanita

Majikan dalam membuat perjanjian kerja tidak boleh membedakan antara calon pekerja pria dan wanita baik itu dalam hal persyaratan kerja seperti pendidikan, kenaikan pangkat maupun dalam hal pemberian upah, gender, terlebih lagi melakukan nepotisme.

f) Kewajiban Majikan Mengatur Pekerjaan dan Tempat Kerja

Dalam pasal 1602w KUH Perdata ditentukan bahwa “majikan wajib untuk mengatur dan memelihara ruangan, alat dan perkakas dimana atau dengan siapa ia menyuruh melakukan pekerjaan sedemikian rupa dan begitu pula mengenai melakukan pekerjaan mengadakan aturan serta memberi petunjuk sedemikian rupa sehingga buruh terlindung dari bahaya yang mengancam badan, kehormatan dan harta bendanya, sepanjang mengingat sifat pekerjaan selayaknya diperlukan”.

Pasal tersebut pada intinya mewajibkan majikan mengatur tempat kerja serta memberi petunjuk cara memakai alat kerja, sehingga tidak akan menimbulkan kecelakaan kerja pada buruhnya.[22]

3. Kewajiban Pekerja/Buruh Menurut Hukum Islam

Adapun yang menjadi kewajiban tenaga kerja diatur dalam perjanjian kerja yaitu :

a) Melakukan Pekerjaan

Ini merupakan kewajiban yang paling utama bagi tenaga kerja, karena inilah yang menjadi kesepakatan yang utama dengan majikan. Jika tidak dilakukan, berarti tenaga kerja telah melanggar isi perjanjian kerja.

Dalam melakukan suatu pekerjaan, tenaga kerja tidak dibenarkan melakukan pekerjaan yang bukan ahli / diluar kesanggupannya. Tenaga kerja hanya boleh melakukan pekerjaan sesuai dengan bakat dan keahliannya secara profesional.

b) Mematuhi Petunjuk Majikan

Seorang tenaga kerja bekerja untuk melaksanakan hak dan kepentingan sang majikan. Maka didalam melaksanakan pekerjaannya, tenaga kerja harus memperhatikan petunjuk kerja yang diberikan sang majikan, karena dalam hal inilah majikan yang bertindak sebagai pimpinan.

Selama petunjuk majikan itu baik dan tidak menjurus kepada hal-hal yang dilarang oleh Allah SWT, maka selama itu pula tenaga kerja wajib mematuhi dan melaksanakannya. Tenaga kerja tidak wajib melaksanakan perintah sang majikan apabila ternyata bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah SWT, sebagaimana perintah Allah SWT dalam firman-Nya :

وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَكِنْ يُضِلُّمَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنْتُمْتَعْمَلُونَ . ( النحل /16 : 93)

Artinya :

“Sesungguhnya kamu akan ditanyai tentang apa yang telah kamu kerjakan.” (Q.S an-Nahl : 93)

Tenaga kerja pun harus mempertanggung jawabkan apa-apa yang telah ia lakukan untuk majikannya, seperti sabda Rasulullah SAW :[23]

وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْؤُلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ . (رواه البخارى و مسلم)

Artinya :

“Buruh adalah pengembala dalam harta tuannya dan akan dimintai pertanggung jawaban tentang apa yangmenjadi gembalaannya itu.” (H.R Bukhori dan Muslim).

4. Hak-Hak Buruh Dalam Islam

Adapun hak-hak buruh dalam Islam adalah :

(1) Pekerja berhak menerima upah yang memungkinkan baginya menikmati kehidupan yang layak.

(2) Dia tidak boleh diberi pekerjaan yang melebihi kemampuan fisiknya; dan jika suatu waktu dia dipercayakan menangani pekerjaan yang sangat berat maka dia harus diberi bantuan dalam bentuk beras atau modal yang lebih banyak, atau kedua-duanya.

(3) Dia harus diberi bantuan pengobatan yang tepat jika sakit dan membayar biaya pengobatan yang sesuai pada saat itu. Sepatutnya jika bantuan terhadap biaya pengobatan buruh dan majikan ditambah bantuan pemerintah (kemungkinan dari dana zakat).

(4) Penentuan yang layak harus dibuat untuk pembayaran pensiunan bagi pekerja majikan dan pegawai bisa dimintai sumbangan untuk dana itu.

(5) Para majikan harus di dorong untuk mengeluarkan shadaqohnya terhadap pekerja mereka dan anak-anak mereka.

(6) Mereka harus dibayar dari keuntungan asuransi pengangguran pada musim pengangguran dari dana zakat. Hal itu akan memperkuat kekuatan perjanjian mereka dana akan membantu dalam menstabilkan tingkat upah pada suatu tingkatan yang wajar dalam negeri.

(7) Mereka harus dibayar dengan ganti rugi yang sesuai atas kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan.

(8) Barang-barang yang dibuat dalam pabrik tempat mereka bekerja harus diberikan kepada mereka secara gratis atau menjual kepada mereka dengan biaya yang lebih murah.

(9) Mereka harus diperlakukan dengan baik dan sopan serta dimaafkan jika mereka melakukan kesalahan selama bekerja.

(10) Mereka harus menyediakan akomodasi yang layak agar kesehatan dan efisiensi kerja mereka tidak terganggu.[24]

5. Kewajiban Majikan Menurut Hukum Islam

a) Memberikan Upah

Pihak tenaga kerja berhak menerima upah sesuai kesepakatan dan pihak majikanlah yang wajib membayarnya[25], berdasarkan sabda Rasulullah SAW :

وَعَنِ ابْنُ عُمَر رَضِيَ اللّهُ عَنْهُماَ قاَلَ : قاَلَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اعْطُوْا اْلاَجِيْرَ اَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفَ عَرَفُهُ . ( رواه ابن ماجه )

Artinya :

“Dari Ibnu Umar r.a berkata, telah bersabda Rasulullah SAW, “Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering.” (H.R Ibnu Majah) [26]

Menurut pengikut Imam Hanafi, tidak mensyaratkan agar upah harus dengan akad. Yang dibolehkan adalah agar dicepatkan atau dilambatkan pembayaran upah sesuai dengan kesepakatan yang bersangkutan.

Bila tidak diperoleh kesepakatan diantara yang bersangkutan, baik mengenai dicepatkan atau dilambatkan, namun upah itu ada waktunya tertentu, yaitu wajib secara penuh pembayarannya bila waktunya telah sampai. Jadi, barangsiapa yang mengupah orang dalam jangka satu bulan dan waktu itu telah habis, maka wajib membayar upah pada pekerja tepat pada waktunya. Dan bila waktunya telah usai, maka majikan wajib melunasi upah pada pekerjanya sesuai haknya.[27]

b) Memberikan Jaminan dan Perlindungan Bagi Pekerja

Jaminan dan perlindungan sosial bagi yang lemah, orang sakit, pengangguran atau manula merupakan hasil perjuangan panjang dan kontrak antara proletar dengan para pemilik modal. Merupakan perjuangan panjang yang mencuat dari revolusi industri dan kemajuan ekonomi.

Sedangkan Islam menetapkan hak jaminan dan perlindungan pekerja sejak 14 Abad yang lalu, yang merupakan kewajiban dari majikan. Islam telah memproklamirkan konsep jaminan dan perlindungan pekerja ke seluruh penjuru dunia. Tak sebatas memperluas penerapan prinsip jaminan dan perlindungan kerja, Islam bahkan menempatkan prinsip ini sebagai esensinya, sehingga orang yang mengabaikannya berarti telah mendustakan risalah Islam.[28].

D. Pemutusan Hubungan Kerja

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.[29]

Pada dasarnya, ada 4 (empat) macam Pemutusan Hubungan Kerja yang dikenal dalam praktek, yaitu :[30]

1. Pemutusan Hubungan Kerja Yang Dilakukan Oleh Pengusaha/Majikan

Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja dengan alasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut :[31]

a. Melakukan penipuan atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan.

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan.

c. Mabuk, meminum minuman keras yang memabukan, memakai dan atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya di lingkungan kerja.

d. Melakukan perbuatan asusila atau perjudian di lingkungan kerja.

e. Menyerang, menganiaya, mengancam atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja.

f. Membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

g. Dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan.

h. Dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja.

i. Membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan, kecuali untuk kepentingan negara.

j. Melakukan perbuatan pidana lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Alasan kesalahan berat tersebut di atas harus didukung dengan bukti sebagai berikut :

a. Pekerja/buruh tertangkap tangan.

b. Adanya pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan.

c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya karena alasan kesalahan berat hanya memperoleh uang penggantian hak (tetapi tidak mendapatkan uang pesangon maupun uang penghargaan masa kerja).

2. Pemutusan Hubungan Kerja yang Dilakukan Oleh Pekerja/Buruh

Pekerja/buruh sebagai manusia merdeka berhak memutuskan hubungan kerja dengan cara mengundurkan diri atas kemauan sendiri. Kehendak untuk mengundurkan diri ini dilakukan tanpa penetapan oleh Lembaga Panitia Penyelesaian Perselisihan Industrial. Hak untuk mengundurkan diri melekat pada setiap pekerja/buruh yang akan mengundurkan diri harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a. Mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri.

b. Tidak terikat dalam ikatan dinas.

c. Tetap melaksanakan kewajibannya sampai dengan tanggal mulai pengunduran diri dilakukan.

Pekerja/buruh yang mengundurkan diri tersebut berhak atas uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Peraturan Perundang-undangan. Bagi pekerja/buruh yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain menerima uang penggantian hak juga diberikan pula uang pisah yang besar dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanian kerja sama.

Pekerja/buruh yang mangkir selam 5 (hari) kerja berturut-turut atau lebih tanpa keterangan tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan kepadanya telah dipanggil secara patut dan tertulis oleh pengusaha sebanyak 2 (dua kali), dapat diputus hubungan kerjanya karena disama artikan dengan mengundurkan diri.[32]

3. Pemutusan Hubungan Kerja Yang Dilakukan Oleh Pengadilan

Masing-masing pihak dalam perjanjian kerja dapat meminta Pengadilan Negeri agar hubungan kerja diputus berdasarkan alasan penting. Selanjutnya menurut pasal 1603v KUH Perdata masing-masing pihak setiap waktu, juga sebelum pekerjaan dimulai, berwenang berdasarkan alasan penting mengajukan permintaan tertulis kepada pengadilan tempat kediamannya yang sebenarnya untuk menyatakan perjanjian kerja putus.

Berdasarkan teori, sebelum Pengadilan memberikan putusannya terlebih dahulu memanggil para pihak guna didengar keterangannya yang menyangkut Pemutusan Hubungan Kerja itu. Jika Pengadilan mengabulkan permohonan tersebut, maka sekaligus dapat menetapkan saat mulai berakhirnya hubungan kerja yang bersangkutan. Namun apabila Pengadilan menolak permohonan Pemutuan Hubungan Kerja yang diajukan, maka pekerja/buruh yang bersangkutan harus tetap dipekerjakan, dan putusan yang diambil melalui sidang Pengadilan mempunyai kekuatan hukum tetap.

Selama putusan oleh pengadilan belum ditetapkan, pengusaha dan pekerja/buruh harus tetap melaksanakan kewajibannya masing-masing. Apabila pengusaha melakukan tindakan skorsing selama proses PHK, maka upah beserta hak-hak lain yang biasa diterima oleh pekerja/buruh wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja/buruhnya.[33]

Dalam praktek Pemutusan Hubungan Kerja oleh pengadilan ini sangat jarang terjadi, karena masalah Pemutuan Hubungan Kerja sudah dibentuk Panitia khusus yang bertugas untuk itu, yakni Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) maupun Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P).[34]

4. Pemutusan Hubungan Kerja Karena Hukum

Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum terjadi karena suatu hal dalam hubungan kerja oleh hukum dianggap sudah tidak ada dan oleh karena itu tidak ada alasan hak yang cukup bagi salah satu pihak untuk menuntut pihak lainnya guna tetap mengadakan hubungan kerja. Pemutusan Hubungan Kerja demi hukum dapat terjadi dalam :

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Untuk jenis PHK ini masing-masing pihak bersifat pasif, dalam arti tidak perlu melakukan PHK seperti memohon penetapan PHK ke sidang Pengadilan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Pengusaha tidak wajib memberitahukan berakhirnya jangka waktu hubungan kerja dalam tenggang waktu tertentu, kecuali bila :

1) Telah diperjanjikan secara tertulis atau telah diatur dalam peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

2) Menurut peraturan perundang-undangan atau kebiasaan, mengharuskan pengusaha untuk melakukan pemberitahuan sebelumnya tentang masalah tenggang waktu tertentu.

Guna menghindari hal-hal tertentu yang tidak diinginkan, akan lebih baik jika pengusaha memberitahukan sebelumnya kepada pekerja/buruh perihal berakhirnya hubungan kerja. Demikian pula jika tidak diberi pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak. Hendaknya semua itu dicantumkan dalam perjanjian kerja untuk menghindari perselisihan yang mungkin timbul dikemudian hari.[35]

b. Pekerja/Buruh Meninggal Dunia

Menurut pasal 61 ayat (1) a Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa perjanjian kerja berakhir bila pekerja/buruh meninggal dunia. Hal ini wajar karena hubungan kerja bersifat sangat pribadi, dalam artian melekat pada pribadi pekerja/buruh dan tidak dapat diwariskan. Sebaliknya, hubungan kerja tidak berakhir dikarenakan meninggalnya pengusaha atau beralihnya hak atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan atau hibah.

c. Pekerja/Buruh Memasuki Usia Pensiun

Pekerja/buruh yang memasuki usia pensiun sebagaimana telah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama maka hubungan kerjanya berakhir demi hukum. Apabila pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak atas uang pesangon dan uang penghargaan masa kerja, tetapi hanya berhak mendapatkan uang penggantian hak.

Dalam Islam, diatur pula tentang berakhirnya suatu akad atau perjanjian yang dikenal dalam ijarah. Dan ijarah menjadi fasakh atau batal dengan hal sebagai berikut [36]:

1. ketidakjelasan jenis kerja.

2. ketidakjelasan waktu kerja

3. ketidakjelasan upah

4. membebani pekerjaan kepada pekerja diluar kapasitas tenaganya.

5. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan atau selesainya pekerjaan.

E. Besarnya Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak

Menurut pasal 56 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan bahwa dalam hal terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

1. Uang Pesangon

Perhitungan uang pesangon paling sedikit adalah sebagai berikut :

a. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah.

b. Masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah.

c. Masa kerja kurang dari 2 (dua) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah.

d. Masa kerja kurang dari 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah.

e. Masa kerja kurang dari 4 (empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah.

f. Masa kerja kurang dari 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah.

g. Masa kerja kurang dari 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

h. Masa kerja kurang dari 7 (tujuh) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah.

i. Masa kerja kurang dari 8 (delapan) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 9 (sembilan) bulan upah.

2. Uang Penghargaan Masa Kerja

Perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut :

a. Masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah.

b. Masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah.

c. Masa kerja 9 (sembilan tahun atau lebih, tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah.

d. Masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah.

e. Masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah.

f. Masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

g. Masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah.

h. Masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, tetapi kurang dari atau lebih, 10 (sepuluh) bulan upah.

3. Uang Penggantian Hak

Uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi :

a. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.

b. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja.

c. Penggantian perumahan serta pengobatan dari perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.

d. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Meskipun demikian, masalah perubahan uang pesangon, perhitungan uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan peraturan pemerintah.

Upah menurut pandangan Islam menawarkan suatu penyelesaian yang sangat baik atas masalah upah dan menyelamatkan kepentingan kedua belah pihak, kelas pekerja dan para majikan tanpa melanggar hak-hak yang sah dari majikan. Seorang majikan tidak dibenarkan bertindak kejam terhadap pekerja dengan menghilangkan hak sepenuhnya dari bagian mereka. Upah ditetapkan dengan cara yang paling tepat tanpa harus menindas pihak manapun. Setiap pihak memperoleh bagian yang sah dari hasil kerjasama mereka tanpa adanya ketidakadilan terhadap pihak lain.

Ÿw šcqßJÎ=ôàs? Ÿwur šcqßJn=ôàè?(البقرة:2\279)

Artinya:

“kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (Al-Baqarah:2/279).

Oleh karena itu, al-Qur’an memerintahkan kepada majikan untuk membayar para pekerja dengan bagian yang seharusnya mereka terima sesuai kerja mereka[37].



[1] Aruan, KEBIJAKSANAAN PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DALAM MELINDUNGAN PEKERJA MENURUT UNDANG-UNDANG No. 13 TAHUN 2003 DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL MENUJU TERCIPTANYA KEPASTIAN HUKUM,Direktorat penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2004, h.4

[2] Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak. (Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Pasal 1)

[3] http://www.PortalHR.com/Ketenagakerjan Dalam Tanya Jawab, 2007

[4] Ibid

[5] Ibid

[6] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, terj, (Bandung, Kalam Mulia, 1991), jilid. 13, h. 1

[7] Ghufron A.Mas’adi, Fiqh Muamalah Konstektual, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002), Cet.1, h. 183

[8] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, terj, (Bandung, PT. Alma’arif, 1987), Jilid. 13, h.10

[9] Ibid.

[10] wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa adillatuh, (Beirut, Daar El Fikr, 1984), Juz. IV, h. 736

[11] Ibid, h. 731

[12] Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,h.10.

[13] Ghufron A.Mas’adi, Fiqih Muamalah Kontestual, h. 186.

[14] Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif-Perspektif Islam, (Surabaya, Risalah Gusti, 2002), Cet.7, h.92.

[15] Ibid, Cet.7, h.84

[16] Abdul Rahmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, (Jakarta, Rajawali Press, 1999), Cet.3, h.47.

[17] Lalu Busni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta, Rajawali Press, 2003), Cet.3, h.46

[18] Abdul Rachmat Budiono, Hukum Perburuhan di Indonesia, h.48.

[19] Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, h. 49

[20] Imam Soepomo,Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta, Djambatan, 2001), Cet.9, h. 109

[21] Djumadi, Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, (PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004), Cet. 5, hal.49

[22] F.X. Djumialdji, Perjanjian Kerja,(Jakarta, Bumi Aksara, 2001), h.61

[23] Sayyid Sabiq, Fikih Sunna , h. 70.

[24] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), h.92.

[25] Hamzah Ya’qub, Etos Kerja Islami, (Jakarta, CV. Pedoman Ilmu Jaya), cet. 3, h. 113.

[26] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 21

[27] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h.13

[28] Abdul Hamid Mursi, SDM Yang Produktif, (Jakarta, Gema Insani Press, ), h. 164

[29] Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, ( Bandung, Citra Umbara, 2003), h. 7

[30] Ridwan Halim, Hukum Perburuhan Dalam Yanya Jawab, (Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990), Cet.2, h. 136

[31] Pasal 158 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

[32] Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, (Jakarta, Pradnya Paramita, 2004), h.40

[33] Pasal 17 (2), Peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I. Nomor : PER -03/MEN/1996 Tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di Perusahaan Swasta.

[34] Zaeni Asyhadie Dkk, Dasar-Dasar Hukum Perburuhan, (Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2004), Cet.5, h.183

[35] Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, h. 73

[36] Taqyuddin an-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif – Perspektif Islam, Op.Cit. Cet.7, h. 84

[37] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid II, ( Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995 ), h.363.

BAB III

MEKANISME PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI CV. SETIA KAWAN KEC. CENGKARENG KODYA. JAKARTA BARAT

A. Gambaran Umum Perusahaan

1. Latar Belakang CV. Setia Kawan

Sebelum memaparkan gambaran umum tentang CV. Setia Kawan, penulis akan menjelaskan perihal pengertian CV. CV merupakan singkatan dari Comanditaire Venootschaaf atau biasa disebut dengan persekutuan komanditer yang diatur dalam pasal 19 sampai dengan 21 KUHD, yang terletak ditengah pengaturan firma. Oleh karena itu, yang dimaksud dengan persekutuan komanditer adalah suatu firma yang mempunyai satu atau beberapa orang sekutu komanditer [1].

Persekutuan komanditer mempunyai 2 macam sekutu, yaitu :

a) Sekutu komplementer yaitu sekutu yang ikut aktif dalam mengurus persekutuan.

b) Sekutu komanditer yaitu sekutu yang pasif dalam mengurus persekutuan [2].


CV. Setia Kawan adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang pembuatan mesin-mesin cetak industri, alat-alat konstruksi bangunan, machining dan service sparpart dan lain sebagainya yang berbahan baku aneka logam. Diantaranya tembaga, kuningan, brown, aluminium, steel, Fc.[3]

Perusahaan ini berdiri pada tahun 1995 yang dirintis oleh Sumartono dan sekarang dipimpin oleh Dedi Hermanto yang tidak lain adalah anak pertama dari Sumartono. Manajemen yang dipakai di perusahaan ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pengusaha yang bersangkutan selaku pemilik modal. Pada awal berdirinya, CV. Setia Kawan memiliki modal awal Rp.400.000.000; (empat ratus juta rupiah) untuk pengadaan alat-alat dan mesin-mesin produksi guna berjalannya roda perusahaan yang baru dirintis itu.[4]

Jumlah tenaga kerja yang bekerja di CV. Setia Kawan yakni berjumlah 17 orang tenaga operasional dan 1 Staff administrasi. Dengan jumlah karyawan sebanyak itu dirasa cukup untuk se-ukuran CV. Setia Kawan, dan mereka mampu membuktikannya dengan bekerja secara professional serta yakin dapat bersaing dengan perusahaan yang bergerak dibidang yang sama.

Perusahaan ini tidak memiliki cabang usaha dikarenakan status perusahaan hanya level perusahaan menengah serta belum memiliki modal yang cukup untuk medirikan cabang usaha. Namun niat untuk mendirikan cabang itu sudah terpikirkan, namun masih banyak kendala untuk mencapai hal tersebut.

Namun perusahaan ini cukup kondusif dan mampu bertahan dalam kondisi perekonomian negara kita yang masih labil. Walaupun demikian, terbukti bahwa CV. Setia Kawan dalam pertahunnya mempunyai pendapatan kotor sebesar Rp. 600.000.000; (enam ratus juta rupiah), itu belum termasuk potongan gaji karyawan, transportasi dan lain-lain. Pendapatan tersebut tetap diputar untuk pembelian bahan baku barang produksi, gaji karyawan, transportasi dan lain sebagainya, sehingga pendapatan pertahun yang didapat secara bersih oleh CV. Setia Kawan ini mencapai kisaran Rp. 72.000.000; (tujuh puluh dua juta rupiah).[5]

B. Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan

Dalam hubungan kerja yang terjadi di CV. Setia Kawan ini, mulai dari pada saat pengusaha menerima calon pekerja yang sebelumnya terjadi pembicaraan (perjanjian) tetapi mengikat antara pengusaha dan calon pekerja dimana perusahaan memuat syarat-syarat penerimaan kerja. Dari hasil wawancara dengan pengusaha, syarat-syarat kerja yang terpenting adalah jujur dan mau bekerja keras dengan tekun. Sedangkan hal-hal yang disetujui adalah kondisi kerja yang memuat tentang lamanya waktu kerja serta penetapan upah yang diberikan yang kesemuanya dibicarakan secara lisan, sehingga perjanjian kerjanya adalah syarat-syarat penerimaan itu.[6]

Mengenai tata tertib seorang pekerja yang sudah bekerja jelaslah ada, diantaranya yaitu :

a. Masuk kerja paling lambat pukul 08.00 wib.

b. Apabila pekerja sakit atau sebab lainnya yang menyebabkan pekerja tidak bisa masuk kerja, maka harus ada pemberitahuan tidak masuk kerja karena sakit atau lainnya 1 hari sebelumnya.

c. Bersikap jujur.

d. Menjalankan tugas yang diberikan secara baik dan benar.

e. Diberikan waktu istirahat untuk makan dan menjalankan ibadah.

f. Waktu pulang kerja pukul 17.30 wib. Namun bila banyak pesanan serta kebutuhan akan barang sangat mendesak, maka pekerja akan dilemburkan. Hal-hal tersebut bersifat kebijaksanaan dan kekeluargaan [7].

Sedangkan dalam menjalankan aktivitas sehari-hari, CV. Setia Kawan berpedoman kepada 5 prinsip yang merupakan landasan utama yang keberadaannya sampai sekarang.prinsip itu adalah :

a. Memberikan kesempatan kepada setiap pribadi untuk memperoleh penghasilan guna mendukung kesejahteraan masing-masing pekerja.

b. Melayani para konsumen yang membutuhkan alat/mesin produksi dengan kwalitas yang memuaskan.

c. Memberikan pelayanan prima kepada para konsumen. Prima dalam hal produk dan prima dalam hal keramah-tamahannya.

d. Memberikan perhatian sepenuhnya kepada para pekerja, dimana tenaganya sangat berarti bagi kelangsungan perusahaan.

e. Memelihara dan menjalin hubungan kekeluargaan satu sama lain dalam dunia usaha[8].

Peraturan perusahaan disusun oleh pengusaha dan dilakukan tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan pekerja yang memuat hak dan kewajiban masing-masing pihak dengan maksud mengatur dengan jelas hubungan kerja antara perusahaan dengan para pekerjanya dan menjelaskan secara terperinci hak-hak dan kewajiban dari perusahaan dan para pekerjanya, sehingga pengertian dan timbal balik dalam rangka membentuk dan memelihara kerjasama yang baik antara perusahaan dan para pekerja agar menghasilkan pendapatan yang maksimal dapat tercapai.

Hal-hal pokok yang dirumuskan dalam peraturan di CV. Setia Kawan antara lain mengenai :

a. Penempatan kerja merupakan kebijaksanaan dari perusahaan untuk mempekerjakan pekerja yang memiliki tingkat pendidikan, keahlian dan pengalaman yang memadai untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban sebaik mungkin.

b. Karyawan yang diterima adalah orang dewasa yang berumur 18 tahun keatas. Mengingat untuk bekerja di perusahaan ini jenis pekerjaannya cukup berat, sehingga ditakutkan jika usianya belum mencapai 18 tahun akan tidak mampu melaksanakan tugasnya dan secara psikologi mentalnya belum cukup kuat.

c. Penetapan hari kerja dan jam kerja.

d. Pengupahan, yang diatur secara harian dan mingguan berdasarkan upah bersih yang dibayarkan dengan mata uang rupiah.

e. Jaminan sosial, yaitu tunjangan pengobatan secukupnya dan makan siang yang semuanya itu bersifat kebijaksanaan dari pengusaha.

f. Keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu suatu perlindungan yang diberikan kepada pekerja dalam menjalankan pekerjaannya agar tidak mendapat kecelakaan akibat kerja. Perlindungan ini diberikan dengan menyediakan alat-alat keselamatan kerja.

g. Keluh kesah disampaikan secara langsung kepada pengusaha.

h. Tindakan disiplin, dimana dalam pembicaraan dengan para pekerja harus menekankan bahwa peringatan-peringatan disiplin dimaksudkan untuk memperbaiki kinerja kerja.

i. PHK disebabkan, antara lain :

1) Pekerja meninggal dunia

2) Pengunduran diri karena kehendak pekerja itu sendiri

3) Pekerja secara terang-terangan melakukan pencurian ataupun hal-hal lain yang dilarang dan diatur oleh undang-undang

4) Usianya sudah tua, sehingga sudah tidak kuat untuk bekerja

5) Karena alasan kesehatan

6) Kebijakan yang dibuat oleh pengusaha guna kepentingan perusahaan

Pekerja yang di PHK, tidak mendapat pesangon, kecuali upah yang diberikan sesuai dengan kebijakan yang diatur oleh pengusaha.

C. Produk CV. Setia Kawan

Seiring berkembangnya kinerja CV. Setia Kawan dan daya saing yang tinggi serta kemampuan berproduksi, CV. Setia Kawan mampu memproduksi dan menerima pesanan dari para konsumen. CV. Setia Kawan hadir dengan produk-produknya [9] :

a. Pembuatan mesin-mesin produksi

Mesin-mesin produksi yang dibuat antara lain adalah :

1) Mesin tiang pancang / mesin paku bumi

2) Mesin cetak pembuatan bakso

3) Mesin giling tebu

b. Bubutan

Mesin pembuat pola lingkaran yang memungkinkan untuk mengurangi ukuran besi atau logam lainnya sesuai dengan ukuran yang diinginkan.

c. Pengecoran

Proses pembentukan model logam yang dilakukan dengan cara memasak logam tersebut hingga cair pada suhu panas tertentu lalu mencetaknya kedalam sebuah pola yang diinginkan. Adapun jenis-jenis logam yang dapat di lebur antara lain adalah Fc, FcD, Steel, aluminium, besi, baja.

d. Frist Gear

Pembuatan mata gigi pada logam dengan ukuran yang diinginkan, tergantung pada fungsi alat yang akan digunakan.

D. Mekanisme Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa “ pengusaha, pekerja/serikat pekerja dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”.

Permasalahan apapun bentuknya biasanya selalu timbul ditengah-tengah manusia, dan hal-hal yang demikian tentu tidaklah selalu menyenangkan. Begitupun permasalahan yang timbul dalam suatu hubungan kerja antara pengusaha dan pekerja.

Menurut keterangan pimpinan perusahaan CV. Setia Kawan, Mekanisme PHK di perusahaan ini ditentukan oleh kebijakan pengusaha, karena dalam hal ini perusahaan tidak mau ambil resiko dan tak mau mengambil kerugian karena membengkaknya anggaran pengeluaran. Kemudian, jika pekerja sudah tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan pengusaha seperti tidak optimal dalam menjalankan pekerjaannya menurut pandangan pengusaha sepihak, sehingga mengganggu jalannya roda usaha, maka pekerja yang bersangkutan akan mengalami pemecatan sesuai prosedur yang di buat oleh pengusaha secara sepihak, ada juga yang mengundurkan diri dengan berbagai alasan dan bukan karena alasan krisis finansial perusahaan, karena kondisi keuangan CV. Setia Kawan cukup kondusif.

Masih menurut pimpinan perusahaan, jika terjadi Pemutusan Hubungan Kerja dikarenakan kesalahan dari karyawan dan lain sebagainya yang menyebabkan terjadinya Pemutusan Hubungan Kerja, maka kebijakan yang berlaku dalam mem-PHK karyawan tersebut adalah kebijakan yang dibuat pengusaha yang diterapkan dan ditangani langsung oleh pengusaha[10].



[1] Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis, Prinsip dan pelaksanaannya di Indonesia,(Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h.39

[2] Ibid.

[3] Brosur CV. Setia Kawan

[4] Dedi Hermanto, Pimpinan CV. Setia Kawan, (wawancara pribadi pada hari kamis, 14 Juni 2007)

[5] Ibid, Pimpinan CV. Setia Kawan (wawancara pribadi pada hari kamis, 14 Juni 2007)

[6] Ibid.

[7] Blanko tata tertib CV. Setia Kawan

[8] Ibid.

[9] Brosur CV. Setia Kawan

[10] Dedi Hermanto, Pimpinan CV. Setia Kawan, (wawancara pribadi pada hari kamis, 14 Juni 2007)

BAB IV

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN DAN HUKUM ISLAM MENGENAI MEKANISME PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI CV. SETIA KAWAN KEC. CENGKARENG KODYA. JAKARTABARAT

A. Analisis Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

Manusia sebagai makhluk Allah SWT memiliki hak asasi sejak dilahirkan, sehingga tidak seorangpun yang boleh merampas hak tersebut. Begitu pula hak para majikan serta kaum buruh juga harus dijunjung tinggi oleh para masing-masing pihak yang bersangkutan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Dengan demikian, semua pihak secara moral dituntut untuk menghormati, menegakkan dan melindungi keputusan tersebut.

Didalam pasal-pasal dari Undang-Undang Dasar 1945 terdapat pasal yang lebih spesifik mengemukakan hak-hak bagi warga negaranya. Pasal tersebut adalah Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.“

60

Dengan melihat pada pasal di atas, sudah menjadi kejelasan bahwa setiap warga negara berhak bekerja mencari nafkah guna menghidupi dirinya serta keluarganya agar tercukupi segala kebutuhan dalam hidup. warga negara Indonesia juga berhak hidup dengan layak agar mendapat kesejahteraan dan ketentraman dalam hidup sesuai tujuan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan negara. Namun semua itu diatur dalam koridor-koridor dan konsekuensi hukum tertentu guna menangani permasalahan mengenai hubungan kerja.

Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja, hal-hal yang menyebabkan Pemutusan Hubungan Kerja di CV. Setia Kawan adalah :

1. Pekerja meninggal dunia

2. Pengunduran diri karena kehendak pekerja itu sendiri

3. Pekerja secara terang-terangan melakukan kesalahan berat ataupun hal-hal lain yang dilarang dan diatur oleh undang-undang

4. Usianya sudah tua, sehingga sudah tidak kuat lagi untuk bekerja

5. Karena alasan kesehatan

6. Kebijakan yang dibuat pengusaha guna kepentingan perusahaan

Jikalau ada hal atau terjadi Pemutusan Hubungan Kerja, maka kebijakan yang berlaku dalam mem-PHK karyawan tersebut adalah kebijakan pengusaha yang diterapkan.

Dalam suatu perusahaan, peranan tenaga kerja manusia sangatlah vital untuk menjalankan kegiatan usaha. Oleh karena itu, untuk mempertahankan kelangsungan usaha perusahaan perlu diberikan perhatian yang layak kepada pekerja agar prestasi kerja meningkat. Salahsatu cara untuk mencapai hal tersebut adalah dengan memberikan perlindungan kepada pekerja dalam mewujudkan kesejahteraan mereka.

Negara selaku pelaksana utama konstitusi, harus bertanggung jawab terhadap sistem perburuhan agar pekerja dapat terlindungi hak-haknya yang tercantum dalam konstitusi.

Sejak awal diundangkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan di Indonesia, pembangunan ketenagakerjaan Indonesia menetapkan 4 ( empat ) tujuan, yaitu :

1. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi.

2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah.

3. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan.

4. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Tujuan pembangunan ketenagakerjaan yang diatur undang-undang di atas, telah dirumuskan dan diaplikasikan dalam peraturan pokok yang ada di CV. Setia Kawan, sehingga kenyamanan bekerja dapat dirasakan oleh pekerja tanpa beban dan dapat memelihara kerjasama yang baik antara pekerja dan pengusaha agar tercapainya tujuan usaha yang optimal.

Bangsa Indonesia memiliki falsafah Pancasila sebagai jiwa, kepribadian, pandangan hidup dan dasar Negara. Pancasila mengajarkan bahwa hidup manusia akan mencapai kebahagiaan jika dapat mengembangkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan, baik dalam hidup manusia sebagai pribadi, dalam hubungan manusia dengan masyarakatnya, dalam hubungan manusia dengan alamnya, hubungan manusia dengan Allah SWT maupun dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kebahagian rohaniah.

Semua itu tercermin dalam sila Pancasila yang ke-2 yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab” yang menjelaskan bahwa mengakui persamaan derajat sesama umat manusiahak dan kewajiban pekerja dan pengusaha adalah juga mempunyai hak dan kewajiban yang sama derajatnya dan berimbang. Dalam kehidupan bersama menjunjung tinggi nilai kemanusiaan yang mengandung pengertian menghargai pekerja maupun pengusaha secara manusiawi sesuai dengan harkat dan martabat manusia.

Sifat saling menghargai, kekeluargaan dan kebijaksanaan antara pekerja dan pengusaha sejak lama diterapkan di CV. Setia Kawan. Karena tanpa itu, akan menimbulkan kesan tidak baik. Khususnya dalam hal strata sosial, kesetaraan sosial sangat dijaga. Karena CV. Setia Kawanmenerapkan aspek kekeluargaan dan kebijaksanaan dalam menjalankan usahanya.

B. Analisis Menurut Hukum Islam

Islam mengajarkan bahwa bekerja diakui dan diyakini sebagai pengabdian manusia, sehingga dalam melakukan kerja dan hubungan kerja, sifat hubungan itu haruslah yang dibenarkan menurut landasan agama (halal). Selain itu juga, dapat melahirkan pekerja dan pengusaha yang jujur, amanah dan berdisiplin, Allah SWT berfirman :

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَبِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُالْمُفْلِحُونَ (ال عمران / 3: 104)

Artinya :

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma`ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran : 3 : 104)

Dalam hukum Islam, apabila terjadi perjanjian kerja antara pihak pekerja dan majikan, maka untuk dipandang sahnya perjanjian itu diperlukan adanya syarat-syarat dan rukun-rukun. Adapun syarat-syarat ijarah yang mentransaksikan suatu pekerjaan seorang pekerja/buruh adalah :[1]

1. Perbuatan tersebut harus jelas batas waktu pekerjaan, misalnya bekerja menjaga rumah satu malam atau satu bulan

2. Harus jelas jenis pekerjaannya, misalnya menjahit baju, memasak, mencuci dan lain sebagainya.

3. Pekerjaan yang menjadi objek ijarah tidak berupa pekerjaan yang telah menjadi kewajiban pihak musta’jir (pekerja) sebelum berlangsungnya akad ijarah. Seperti membayar hutang, menyusui anak.

4. Tidak sah mengupah perbuatan yang bersifat ibadah, seperti shalat, puasa.

Perjanjian kerja dipandang sah apabila masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian mempunyai kemampuan / kecakapan bertindak (ahliyyah).

Aqad dipandang sah jika orang yang melakukan tersebut mempunyai akal yang sehat, karena apabila pelaku perjanjian tersebut tidak berakal maka dipandang tidak sah. Disamping iti pula, para pelaku juga sudah harus mukallaf karena orang yang melakukan perjanjian, sedang ia belum dewasa (mumayyiz), maka perjanjiannya juga dianggap batal dan siharuskan juga orang yang melakukan pejanjian itu adalah atas kehendak sendiri.

Di CV. Setia Kawan, peraturan yang menjelaskan bahwa para pekerja harus berusia 18 tahun keatas, itu artinya menurut pandangan Islam ia sudah dewasa dan dapat melakukan suatu perjanjian kerja. Sedangakan undang-undang menyebutkan bahwa syarat sah suatu perjanjian yaitu [2]:

1. Kesepakatan para pihak dalam mengikatkan diri dalam suatu perjanjian.

2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.

3. Sesuatu hal tertentu (obyek tertentu).

4. Adanya sesuatu sebab yang halal artinya tidak terlarang.

Untuk mengetahui berakhirnya masa perjanjian kerja di CV. Setia Kawan, maka perlu diketahui bahwa perjanjian kerja itu berakhir karena hal-hal yang telah ditentukan oleh pengusaha atau berakhir karena adanya PHK. Dengan demikian, maka masing-masing pihak tidak lagi mempunyai hak dan kewajiban.

Dari serangkaian uraian tersebut di atas, apabila penulis kaitkan dengan pelaksanaanpemutusan hubungan kerja yang berlaku tidak relevan. Sebab kebijakan-kebijakan yang sebagian dibuat pengusaha sangat tidak adil dan hanya mementingkan kepentingan perusahaan. Pengusaha memutuskan secara sepihak dan tidak menghiraukan hak-hak yang dimiliki pekerja.

Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, Allah SWT berfirman :

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَاوَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّاللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا(النساء / 4 : 58)

Artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS: An Nisaa : 4 : 58)

Berusaha untuk selalu menjaga keseimbangan antara hak yang dimiliki dengan kewajiban yang harus dilakukan, hal tersebut mengandung pengertian agar pengusaha melaksanakan kewajiban yang merupakan tanggung jawabnya. Dilain pihak pekerja agar selalu meningkatkan produktivitas kerja karena dengan meningkatnya produktivitas kerja, hak-hak yang diperoleh akan dapat dipenuhi serta ditingkatkan. Sifat suka bekerja keras sangat dianjurkan dalam Islam, hanya dengan bekerja keras perusahaan dapat berkembang lebih maju, sehingga usaha untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja dapat dilaksanakan.

Hal di atas telah diterapkan dan tercantum jelas didalam tata tertib yang dibuat CV. Setia Kawan. Dimana hal tersebut menjadi barometer, guna maju dan berkembangnya perusahaan. Sehingga pekerja dapat terlatih mental dan rasa tanggung jawabnya terhadap segala yang dihadapi, karena semua itu akan berdampak baik pada perusahaan, pengusaha dan pekerja.

Bekerja bukan hanya sekedar mencari nafkah semata, tetapi merupakan pengabdian manusia kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman :

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ وَمَنْيَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ (الزلزلة /99 :7-8)

Artinya :

“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan) nya pula.” (QS. Az-Zalzalah : 99 :7-8).

Bhakti kepada sesama manusia, bangsa dan negara. Ini berarti bahwa bekerja bukan hanya sekedar bekerja, tetapi melakukan sesuatu yang sesuai dengan norma-norma agama, norma negara dan norma masyarakat. Jadi, bekerja tidak boleh dilakukan dengan melanggar norma-norma yang berlaku dan yang diyakini.

CV. Setia Kawan dalam hal ini secara langsung maupun tidak langsung telah membantu negara dan masyarakat dalam membuka lapangan pekerjaan dan mensejahterakan pekerjanya guna memperbaiki taraf hidup dibidang ekonomi. Namun semua ini tidak terlepas dari nikmat Allah SWT yang telah diberikan pada ummat-Nya, ssehingga kita patut syukuri apa yang delah dikaruniakan-Nya kepada kita.



[1] Taqyuddin an-Nabhani,, Membangan Sistem Ekonomi Alternatif-PerspektifIslam, (Surabaya: Risalah Gusti, 2002), h.92.

[2] Subekti, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2004), h. 339, cet. 35


Related Posts by Categories



Comments (0)