Relevansi Platform Ekonomi Pancasila Menuju Penguatan Peran Ekonomi Rakyat

Pemilu 2004 sudah pasti akan diwarnai dengan ‘pertarungan politik’ antar parpol, sekaligus juga antar kandidat calon presiden, caleg, dan antar calon anggota DPD. Hasilnya bisa jadi kekuasaan tetap dipegang ‘pemimpin lama’, atau mungkin pula akan muncul penguasa-penguasa baru, partai baru, dan orang-orang yang baru pula. Lalu, akan berubahkah nasib ekonomi bangsa kita? Tidak dapat dipastikan, kecuali ada ‘janji-janji’ perubahan kebijakan ataupun program ekonomi yang lebih banyak bersifat parsial dan konvensional dari partai peserta pemilu. Saya setuju dengan Khudori (2004) bahwa momen Pemilu 2004 selayaknya bukan saja memungkinkan pergantian orang atau partai melainkan pergantian ideologi atau moral ekonomi yang mengarah pada ciri neoliberal-kapitalistik dewasa ini. Bukan berganti menjadi apa-apa, melainkan kembali ke ideologi atau moral ekonomi Pancasila, sebuah ideologi ekonomi yang ‘ke-Indonesia-an’.

Tulisan ini menjawab pragmatisme atau ketidaktahuan banyak orang sehingga mereka bertanya-tanya, relevankah Ekonomi Pancasila dalam memperkuat peranan ekonomi rakyat dan ekonomi nasional di era global (isme) kontemporer? Mereka skeptis, bukankah sistem ekonomi kita sudah mapan, makro-ekonomi sudah stabil dengan indikator rendahnya inflasi (dibawah 5%), stabilnya rupiah (Rp 8.500,-), menurunnya suku bunga (dibawah 10%). Lalu, apakah tidak mengada-ada bicara sistem ekonomi dari ideologi yang pernah ‘tercoreng’, dan tidak nampak wujudnya, tidak realistis, dan utopis? Mereka ini begitu yakin bahwa masalah ekonomi (krisis 97) adalah karena ‘salah urus’ dan bukannya ‘salah sistem’, apalagi dikait-kaitkan dengan ‘salah ideologi’ atau ‘salah teori’ ekonomi. Tidak dapat disangkal, KKN yang akut memberi sumbangan besar bagi keterpurukan ekonomi bangsa ini. Namun, krisis di Indonesia juga tidak terlepas dari berkembangnya paham kapitalisme disertai penerapan liberalisme ekonomi yang ‘kebablasan’. Akibatnya, kebijakan, program, dan kegiatan ekonomi banyak dipengaruhi paham (ideologi), moral, dan teori-teori kapitalisme-liberal.

Disinilah relevansi platform (istilah penulis) Ekonomi Pancasila, sebagai ‘media’ untuk mengenali (detector) bekerjanya paham dan moral ekonomi yang berciri neo-liberal kapitalistik di Indonesia. Profesor Mubyarto merumuskan Ekonomi Pancasila sebagai sistem ekonomi yang bermoral Pancasila, dengan lima platform sebagai manifestasi sila-sila Pancasila yaitu moral agama, moral kemerataan sosial, moral nasionalisme ekonomi, moral kerakyatan, dan moral keadilan sosial. Ekonomi Pancasila merupakan prinsip-prinsip moral (ideologi) ekonomi yang diderivasikan dari etika dan falsafah Pancasila. Oleh karena itu, selain berisi cita-cita visioner terwujudnya keadilan sosial, ia juga mengangkat realitas sosio-kultur ekonomi rakyat Indonesia, sekaligus ‘rambu-rambu’ yang bernilai sejarah untuk tidak terjerumus pada paham liberalisme dan kapitalisme. Gagasan Ekonomi Pancasila mulai dikembangkan Profesor Mubyarto sejak tahun 1981 dalam suatu polemik tentang sistem ekonomi nasional sampai saat ini. Inilah platform ekonomi yang lebih awal lahir daripada gagasan Amitai Etzioni tentang ‘ekonomi baru’ yang berdimensi moral dalam bukunya The Moral Dimension: Toward a Newf Economics, Free Press 1988). Penerapan platform Ekonomi Pancasila secara utuh (multi-sektoral) dan menyeluruh (nasional) menempatkan Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi khas Indonesia yaitu Sistem Ekonomi Pancasila.

Lalu, apa bukti platform Ekonomi Pancasila relevan dengan kondisi sosial-ekonomi kita saat ini? Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson, 2001), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat ‘dideteksi’ dari tiga kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat, dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal, individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik dan visio-revolusioner (Mubyarto, Ekonomi Pancasila, 2003).Kita mulai dari platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers kita merumuskan ‘politik kemakmuran’, ‘keadilan sosial’, dan ‘pembangunan karakter’ (character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat silaturahmi, menegakkan hukum-hukum Allah (syari’ah), dan memperhatikan kepentingan sosial. Asalkan tidak malas untuk turun ke desa-desa atau ke pelaku ekonomi rakyat, tidak sulit untuk menemukan praktek ekonomi bermoral ini.

Relevansi platform Ekonomi Pancasila dalam hal ini dikuatkan akutnya perilaku ekonomi di Indonesia yang sama sekali mengabaikan moral, etika, bahkan agama. Lihat saja korupsi yang sudah membudaya dan melembaga karena tidak pernah diperhatikan secara serius, kecuali saat-saat terakhir menjelang Pemilu 2004 dengan pembentukan KPTPK. Ada lagi maraknya ‘penjarahan alam’ berupa penebangan hutan secara liar (llegal logging) yang terlalu lama ‘didiamkan’ sehingga berakibat banjir, tanah longsor, dan kekeringan di sebagian wilayah di Jawa, Sumatara, dan pulau lainnya. Yang masih panas-panasnya adalah maraknya ‘pornoaksi’ dangdut erotis lewat media TV yang memang ‘dibiarkan’ di alam kebebasan (liberalisme) saat ini. Tanpa peduli moral, agama, dan dampak sosial bagi masyarakat, para penyanyi, produser, perusahaan (iklan), dan stasiun TV, mengeruk ‘rente’ dari kegiatan ekonomi (bisnis) mereka. Masih ada juga penggusuran orang miskin, pengabaian nasib TKI, dan ribut-ribut soal ‘pesangon’ BPPN atau DPRD di berbagai tempat. Kondisi itu menegaskan perlunya ‘revolusi moral ekonomi’ menuju pengejawantahan platform Ekonomi Pancasila, yang bermoral dan tidak sekuler.

Platform kedua adalah “kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial”. Gagasan ini sudah lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah diamandemen dalam konsep ‘kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-seorang’. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi semangat tersebut karena setiap upaya ‘memakmurkan ekonomi’ ternyata yang lebih merasakan dampaknya tetap saja ‘orang besar’ baik pengusaha ataupun pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan puluhan juta orang (Khudori, 2004).

Zakat yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai instrumen pemerataan ternyata belum mampu berbuat banyak, padahal potensi untuk itu sangat besar. Banyak orang yang memiliki kekayaan milyaran (termasuk calon-calon presiden kita, Tempo, 2004), namun banyak pula yang pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Itulah kita, hidup di ‘negara kaya’ (SDA) yang ‘miskin’ (terlilit utang), tetapi masih mampu menampilkan gaya hidup mewah, eksklusif, dan glamour dari sebagian elit warganya. Lihatlah pesta-pesta bernilai ratusan juta semalam yang sering diadakan ‘selebriti’, termasuk juga acara-acara pejabat yang sering menyentak hati karena dipaksakan untuk tetap ada dan mewah. Dalam pada itu, kita masih saja berbicara pertumbuhan ekonomi mau 4%, 5%, atau 7%, tanpa berupaya keras memprioritaskan pemerataannya ataupun berusaha sedikit lebih ‘sederhana’ di tengah kemiskinan yang menjerat kurang lebih 36 juta rakyat Indonesia. Kita dapat belajar pada ekonomi rakyat kita, terutama di perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-ekonomi dalam kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui upaya-upaya ‘redistribusi pendapatan’.

Platform ketiga adalah “nasionalisme ekonomi; bahwa dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri”. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers kita, khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, perihal ‘politik-ekonomi berdikari’ yang bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai ‘nilai tambah ekonomi’ melainkan juga ‘nilai tambah sosial-kultural’, yaitu peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono, 2003). Oleh karena itu pokok perhatian seharusnya diberikan pada upaya pemberdayaan ekonomi rakyat sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Ekonomi rakyatlah yang bersifat mandiri, tidak ‘menyusahkan’ atau ‘membebani’ ekonomi nasional di saat krisis, sehingga ‘daya tahan’ ekonomi mereka tidak perlu diragukan lagi.

Lalu, kenapa saat ini nasionalisme ekonomi seakan-akan telah dianggap tidak penting, tidak relevan, dan tidak perlu diperjuangkan? Lihat saja, petani dan peternsk kecil kita begitu ‘menjerit’ di saat ada impor beras, gula, dan paha ayam. Apa gunanya kampanye cinta produk dalam negeri bila pemihakan terhadap pelaku ekonomi rakyat sebagai produsen lokal masih setengah hati. Lagi pula, mengapa kita ragu untuk melakukan ‘proteksi’ terhadap petani kita di saat Amerika, Jepang, negara-negara Eropa memberikan perlindungan kepada petani-petani mereka. Lebih lanjut, justru investasi (asing) dan privatisasi BUMN yang saat ini begitu dipercaya sebagai ‘dewa’ pertumbuhan ekonomi dengan melupakan begitu saja sifat pemodal besar untuk mencari tempat yang menguntungkan bagi investasi mereka. Dengan begitu pelarian modal (capital flight) atau relokasi industri adalah wajar bagi mereka, dan memang tidak ada kamus ‘nasionalisme ekonomi’ atau ‘nasionalisme modal’ dalam istilah mereka. Ada kesan kuat bahwa interaksi yang timpang (sub-ordinatif) dengan lembaga asing seperti IMF dan CGI (terkait dengan jebakan utang) telah ‘mengaburkan’ pentingnya kemandirian ekonomi bangsa yang ditopang oleh semangat nasionalisme ekonomi.

Platform keempat adalah “demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan; koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat”. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945 yang kini sudah berganti menjadi UUD 2002 (amandemen keempat). Perubahan ini telah menghilangkan seluruh penjelasan UUD 1945 termasuk penjelasan Pasal 33 yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional koperasi. Oleh karena itu, upaya penegakan demokrasi ekonomi nampaknya berhadapan dengan upaya-upaya untuk memperjuangkan pasar bebas, yang menjadi senjata penganut paham liberalisme dan kapitalisme. Isu-isu yang kemudian dicuatkan diantaranya adalah privatisasi BUMN dan liberalisasi impor.

Pemilu 2004 setidaknya merupakan manifestasi demokrasi politik, namun bagaimana dengan manifestasi demokrasi ekonominya? Penghapusan ‘koperasi’ dari penjelasan UUD 45 dan memasukkan ideologi ‘persaingan’ dan ‘pasar bebas’ dalam pasal 33 merupakan runtutan dari kebijakan privatisasi BUMN yang ditentang banyak kalangan. Beralihnya pemilikan BUMN ke investor swasta melalui privatisasi dikhawatirkan justru memperpuruk kesejahteraan ekonomi rakyat (Baswir, 2001). Kita patut prihatin jika aset-aset yang menguasai hajat hidup orang banyak terus ‘diobral’ ke pemodal besar apalagi pemodal asing (kasus Indosat). Jika dasar dan pengertian demokrasi ekonomi (dalam penjelasan Pasal 33 ) sudah ‘dihapuskan’, maka dengan platform Ekonomi Pancasila kita berusaha keras untuk mengembalikan hakekat demokrasi ekonomi atau sistem ekonomi kerakyatan dengan ciri ‘produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dibawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat’.

Platform kelima (terakhir) adalah “keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang sesuai potensi masing-masing. Oleh karena itu pengalaman pahit sentralisasi politik-ekonomi era Orde Baru dapat kita jadikan pelajaran untuk menyusun strategi pembangunan nasional. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antardaerah melalui pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan. Paradigma yang kemudian dibangun adalah pembangunan Indonesia, bukannya pembangunan di Indonesia seperti yang dilakukan Orde Baru dengan paham developmentalism yang netral visi dan misi (Swasono, 2003).

Meskipun otonomi daerah telah mendorong kemandirian dan kreativitas Pemda dalam membangun wilayah mereka, namun masih saja mereka merasa kesulitan untuk menggali sumber-sumber penerimaan daerah. Langkah yang lazim diambil adalah optimalisasi PAD melalui pemberlakuan Perda-Perda yang justru kadang ‘bertentangan’ dengan peraturan di atasnya seperti halnya hasil kajian Depdagri menunjukkan ada sekitar 7000 perda yang dinilai tidak layak diterapkan (Sunarsip, 2004). Keadaan ini dimungkinkan karena masih juga terjadi ketimpangan antarwilayah, antara pusat dan daerah di Indonesia. Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang dimaksudkan untuk mengoreksi sentralisasi ekonomi dan pemerintahan praktis tidak mengubah sedikitpun perimbangan penerimaan negara di Indonesia. Pusat tetap memungut 95 persen, sedangkan PAD seluruh daerah di Indonesia tetap hanya 5 persen. Otonomi hanya mengubah sedikit sisi belanja. Sebelum otonomi pusat membelanjakan 78 persen, kini pusat membelanjakan 70 persen (Khudori, 2004).

Demikian, momentum Pemilu dan Sidang Umum 2004 merupakan saat yang tepat untuk mengoreksi kekeliruan sistem dan paham ekonomi kita, untuk kemudian merombaknya dengan kembali ke Sistem Ekonomi Pancasila. Gagasan para pendiri bangsa kita yang sejalan dengan praktek ekonomi rakyat dan menentang keras praktek ekonomi yang neo-liberal-kapitalistik kiranya menyadarkan kita akan perlunya perombakan sistem ekonomi tersebut. Inilah relevansi lima platform Ekonomi Pancasila yang dapat menjadi panduan (guidance) bagi pergantian sistem dan ideologi ekonomi menjadi ekonomi yang lebih bermoral, berkerakyatan, dan berciri ‘ke-Indonesia-an’, sehingga lebih menjamin upaya pewujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaannya, sadarkah para capres, caleg, dan calon pejabat pemerintahan lainnya akan kebutuhan adanya platform ekonomi yang khas Indonesia ini? Seandainya mereka (dan partainya) memiliki platform ekonomi tersendiri, kiranya dapat diperdebatkan dengan platform Ekonomi Pancasila. Bangsa kita benar-benar membutuhkan platform ekonomi yang utuh, komprehensif, bernilai historis, dan visio-revolusioner. Bukannya platform ekonomi yang konvensional, parsial, dan ‘eksklusif’ dari bidang bidang lain seperti politik, budaya, dan hukum. Seruan memberantas korupsi atau ‘anti politisi busuk’ saja belum cukup tanpa disertai reformasi (revolusi?) ideologi dan moral ekonomi liberal-kapitalistik yang menumbuhsuburkan praktek korupsi dan kejahatan ekonomi (economic crime) lain di Indonesia. Apakah Pemilu dan Sidang Umum 2004 akan mampu menjawab kebutuhan ini?

Related Posts by Categories



Comments (0)