BUMN Cuma Bisa Dipailitkan Menkeu, MA Batalkan Pailit PT DI

Putusan ini dinilai menyimpang dari ketentuan UU Kepailitan. Pertimbangan MA akan memancing kembali perdebatan soal kedudukan BUMN dalam kekayan negara?
PT Dirgantara Indonesia (DI) akhirnya batal pailit setelah Mahkamah Agung menolak permohonan pailit mantan karyawan DI pada Senin (22/10) lalu. Pembatalan itu diputus oleh Majelis yang diketuai Wakil Ketua MA Marianna Sutadi beranggotakan Ketua Muda MA Perdata Niaga Abdul Kadir Mappong dan Atja Sondjaja. Permohonannya sendiri diajukan mantan karyawan terkait kekurangan pembayaran iuran pensiun setelah mereka di PHK.
MA berkesimpulan bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN), baik berbentuk Perusahaan Umum (Perum) atau Persero hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan (Menkeu). Demikian dinyatakan oleh Marianna Sutadi yang bertindak sebagai ketua majelis. “BUMN yang seluruh modalnya dimiliki oleh negara, yang melaksanakan kegiatan kepentingan publik hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menteri Keuangan,” ujarnya Rabu (24/10), di Gedung MA.
Sebelumnya Pengadilan Niaga menyatakan mantan karyawan PT DI berhak mengajukan permohonan pailit, karena DI merupakan persero yang terbagi atas saham. Memang, mengacu pada Pasal 2 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU beserta penjelasannya, hanya perusahaan yang tidak terbagi atas saham permohonan yang pailitnya hanya dapat diajukan oleh Menkeu. Sedangkan BUMN yang terbagi atas saham seharusnya dapat dipailitkan siapa saja. [Putusan ini sempat memunculkan perdebatan. Presiden dan Wakilnya pun sempat urun bicara.]
Meski mengacu pada ketentuan yang sama, MA mengenyampingkan kata-kata ‘tidak terbagi atas saham’ dalam penjelasan pasal dari Undang-Undang. Pasal 2 Ayat (5) menyebutkan BUMN yang menjalankan kepentingan umum hanya dapat dimohonkan pailit oleh Menkeu. Namun penjelasan pasal itu memberi pengertian yang masuk kategori BUMN menjalankan kepentingan publik ialah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.

UU Kepailitan
Pasal 2 Ayat 5
Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Penjelasan
Yang dimaksud dengan "Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik" adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.

Alasan majelis MA menyesampingkannya ketentuan ‘tidak terbagi atas saham’, karena PT DI terpaksa menjadi membagi kepemilikannya atas saham untuk memenuhi syarat kepemilikan dari sebuah perseroan terbatas. “Oleh karena untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang Perseroan Terbatas. Bahwa suatu perseroan hanya dimiliki oleh sekurang-kurangnya dua orang. Maka dibagilah atas saham. Tapi keseluruhan modal itu kan modal yang dimiliki oleh negara” ujar Marianna.
Ia menambahkan, pembatalan ini dikuatkan dengan adanya lampiran keputusan Menteri Perindustrian yang menyebutkan beberapa BUMN, termasuk PT DI adalah obyek vital industri. Selain itu, PT DI juga dianggap sebagai aset negara, sehingga tidak dapat disita.
“Ingat Pasal 50 UU Perbendaharaan Negara; di dalam putusan MA, meletakkan sita saja dilarang. Kepailitan itu sita umum, kan tentunya hanya dapat dilakukan kalau dimohonkan oleh Menteri Keuangan sebagai bendahara umum negara,” demikian tutur Marianna.

Pandangan MA Inkonsisten
Diminta pendapatnya, praktisi Hukum Kepailitan Ricardo Simanjuntak menganggap putusan yang menyatakan PT DI hanya dapat dipalitkan Menkeu bertentangan dengan hukum. Menurutnya ketentuan tentang BUMN yang dapat dipailitkan diatur secar tegas. UU Kepailitan menetapkan bahwa meski milik pemerintah, apabila mereka terbagi atas saham, dalam hal ini berbentuk Persero, dapat dimohonkan pailit oleh siapa saja. “Kalau dia bilang harus melalui menkeu padahal UU bilang bisa (selain Menkeu-red), pertimbangannya menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan hukum” ujarnya.
“Ketentuan tegas tidak dapat diinterpretasikan. Mungkin mereka perlu baca UU 19 Tahun 2003 tentang BUMN. hanya ada dua (BUMN, red) Perum dan Persero. UU Kepailitan menjelaskan yang terbagi atas saham dan tidak terbagi atas saham” tandas Ricardo.


UU No. 19/2003 tentang BUMN
Pasal 1 (2) Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.
Pasal 1 (4) Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.
Pendapat senada juga disampaikan praktisi lainnya Swandy Halim. Menurutnya, pengaturan penjelasan Pasal 2 Ayat 5 UU Kepailitan sifatnya kumulatif. Jadi, bukan hanya BUMN tersebut harus dimiliki negara tetapi kepemilikannya tidak boleh berbentuk saham. “Kalau kita lihat UU-nya secara letterlijk memang bisa dipailitkan karena terbagi atas saham” ujarnya.
Swandy juga memandang terdapat inkonsistensi dari MA dalam putusan ini dalam memandang status aset BUMN. Tahun lalu MA telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan piutang BUMN bukan piutang negara. “Itu berarti ada kontradiksi. Disatu pihak menyatakan piutang bank-bank negara diselesaikan menurut UU PT karena bukan piutang negara, dan dipihak lain (lewat putusan ini-red) menganggap BUMN sebagai milik negara” ujarnya.


Akhiri perdebatan
Swandy berpandangan masalah pokok terletak pada UU Kepailitan. “Kalau kita melihat spirit pembatasan pemohon pailit dalam UU, itu sebenarnya untuk melindungi kepentingan umum”. Dalam UU tersebut badan-badan yang tidak serta merta dapat dimohonkan palilit. Bank-bank, perusahaan efek dan bahkan perusahaan asuransi tidak begitu saja dapat dipailitkan. “Kalau perusahaan asuransi dilindungi kenapa BUMN tidak?” tanyanya.
Langkah terbaik menurut Swandy dan juga Ricardo ialah mengubah ketentuan dengan menghilangkan kata-kata terbagi atas saham. Apalagi sekarang ini lebih banyak BUMN yang berbentuk Persero. “Bisa muncul PT DI-PT DI lain. Kita harus melihat sumber masalah dan memperbaikinya. Sumber masalahnya apa?” tanya Swandy retorikal. Menurutnya, beberapa Undang-Undang terkait perlu disinkronisasi.
Yang saat ini dapat dilakukan untuk mengubah ketentuan ini ialah lewat amandemen UU atau mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Swandy berpandangan kata-kata ‘tidak terbagi atas saham’ sebaiknya dihapus, karena itu hanya memperumit. Atau sebut saja semua BUMN tidak dapat dipailitkan kenapa harus malu-malu. “Atau dapat saja BUMN mengajukan judicial review ke MK untuk meminta kata-kata ‘tidak terbagi atas saham’ dinyatakan tidak mengikat” tambah Swandy.
“Tidak ada gunanya ribut-ribut sebelum UU diamandemen. Kita tak mau memperbaiki sumber masalah tapi kemudian lari ke soal peripheral (pinggir, red)” pungkasnya.

Peradilan cepat
Sementara itu, mantan karyawan tetap berpegang teguh dengan dalil bahwa PT DI dapat dipalitkan karena berbentuk Persero dan terbagi atas saham. Mereka menyatakan akan mengajukan PK terhadap putusan ini. Kuasa hukum mantan karyawan DI Ratna Wening Purbawati juga menyatakan perkara ini sarat muatan politis dengan urun rembuknya pejabat teras negeri ini dalam perdebatan soal pailitnya DI.
Selain itu putusan juga sangat cepat keluar. “Putusan pailit Pengadilan Niaga dibacakan 4 September. Berkas memori dan kontra memori para pihak dikirimkan oleh PN dan diterima oleh MA pada 25 September” ujarnya. Kurang dari sebulan sejak berkas diterima MA memutus kasasi” ujarnya. Padahal sesuai UU, jangka waktu memutus ialah 60 hari. Sementara cukup banyak perkara yang diputus MA lewat dari jangka waktu yang ditentukan. Wah, coba semua putusan keluar secepat itu!


PT Dirgantara Indonesia Dinyatakan Pailit
Semua unsur pailit telah terbukti secara sederhana. Tak semua BUMN permohonan kepailitannya harus melalui Menkeu.
Upaya memperjuangkan hak tidak mengenal akhir. Prinsip itulah yang terus dipegang sebagian karyawan PT Dirgantara Indonesia. Mereka terus berjuang dari satu pengadilan ke pengadilan lain; berkonvoi dari Bandung ke Jakarta; demonstrasi mulai dari depan pabrik perusahaan penghasil pesawat terbang itu hingga ke Istana Negara.
Meski memang lewat PTUN dan jalur pidana, hak-hak sebagian eks karyawan yang tergabung dalam Serikat Pekerja Forum Komunikasi Karyawan (SPFKK) PT DI tetap tidak terpenuhi. Janji Pemerintah untuk menyelesaikan persoalan karyawan DI tak kunjung kelar. Berdasarkan catatan para buruh, perusahaan masih terutang sekitar Rp200 miliar kepada mereka. Untuk mengembalikan utang itu, ratusan eks karyawan mencoba jalur lain: kepailitan.
Keberuntungan untun sementara berpihak kepada buruh. Dalam sidang Selasa (04/9), majelis hakim PN Jakarta Pusat yang diketuai Andriani Nurdin mengabulkan permohonan itu. “PT DI dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya”. Hakim mengetukkan palu. Taufik Nugroho ditunjuk sebagai kurator dan Zulfahmi sebagai hakim pengawas.
Putusan trio hakim Andriani Nurdin, Makassau, dan Heru Pramono itu tak urung membuat puluhan karyawan yang berada di ruang sidang histeris. Sebagian langsung sujud syukur, yang lain tak bisa membendung air mata. Ketua SPFKK Arif Minardi tampak sumringah seraya menelepon rekan-rekannya di Bandung yang kebetulan tak ikut menyaksikan sidang di Jakarta. Sebaliknya, PT DI mengajukan kasasi atas putusan tersebut.

Kewenangan Menkeu
Dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim menganggap pembuktian utang PT Di dapat dilakukan secara sederhana. Adanya utang lebih dari satu yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih sudah terpenuhi sesuai UU No. 37 Tahun 2004. SPFKK juga memiliki kapasitas untuk mengajukan permohonan pailit tersebut.
Soal adanya utang, majelis merujuk pada amar putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (P4) Pusat yang menghukum DI untuk membayar kewajibannya kepada para buruh. Putusan ini memerintahkan PT DI menyelesaikan pembayaran kompensasi pensiun kepada para pekerja. Butir ketiga putusan P4P dinilai majelis belum dilaksanakan termohon. Sementara bukti-bukti yang diajukan PT DI, menurut Hakim Andriani Nurdin, Makassau, dan Heru Pramono, tidak membuktikan kewajiban pembayaran uang pensiun itu telah dilaksanakan.
Majelis hakim juga menyinggung argumen sebelumnya yang diajukan DI. Kuasa hukum DI – yang sempat dimintakan dari jaksa pengacara negara -- berpendapat bahwa yang bisa mengajukan permohonan pailit terhadap DI hanyalah Menteri Keuangan (Menkeu). Sebab, PT Di masuk kategori BUMN yang bergerak di bidang publik. Untuk menguatkan pertimbangannya, majelis mengutip Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN yang membedakan BUMN persero dan perusahaan umum (perum). Perum adalah BUMN yang seluruh sahamnya dimiliki oleh negara. Sedangkan BUMN persero modalnya terbagi atas saham-saham. BUMN yang kekayaBerita

Dalam Status Pailit, Pengadilan Izinkan PT DI Tetap Menjalankan Usaha
PT Dirgantara Indonesia tetap dapat melanjutkan operasinya setelah permohonan mereka dikabulkan oleh Hakim Pengawas Zulfahmi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat.
Direksi PT Dirgantara Indonesia (DI) sedikit bisa bernafas lega. Pengadilan Niaga memperbolehkan perseroan tetap menjalankan usaha, meskipun berada dalam status pailit hingga turunnya putusan kasasi. Rekening debitur pun kembali dibuka oleh kurator setelah sempat disita umum.
Keputusan yang melegakan manajemen PT DI itu dikeluarkan lewat Penetapan Hakim Pengawas Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat, Senin (17/9) kemarin. Hakim Zulfahmi, yang ditemui hukumonline sehari setelah penetapan itu keluar, membenarkan adanya permohonan untuk membuka kembali ‘izin’ berusaha. Zulfahmi mengaku sudah bertemu dan membicarakan masalah itu dengan kurator Taufik Nugraha dengan Direktur Utama DI Budi Santoso.
Banyak dasar pertimbangan bagi hakim pengawas untuk memperbolehkan DI beroperasi kembali. Perusahaan ini masih harus memenuhi pesanan dan segera mengirimkan pesawat ke Burkina Faso dalam dua hari ke depan. Jika pesanan itu terlambat, sesuai perjanjian awal, DI terancam denda keterlambatan. Sayang, tidak diperoleh informasi berapa nilai ancaman denda tersebut.
Taufik sendiri mengaku ada hal-hal yang jika tidak dilakukan justru akan merugikan, bahkan mengurangi harta pailit. Denda tadi misalnya, jika benar-benar diterapkan akan mengurangi boedel pailit. Karena itu, operasionalisasi perusahaan merupakan salah satu solusinya.
Permohonan kurator didasari Pasal 104 ayat (2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), yang memperbolehkan perusahaan dalam pailit tetap menjalankan usahanya, setelah mengajukan permohonan kepada hakim pengawas.

Pasal 104
1) Berdasarkan persetujuan panitia kreditor sementara, Kurator dapat melanjutkan usaha Debitor yang dinyatakan pailit walaupun terhadap putusan pernyataan pailit tersebut diajukan kasasi atau peninjauan kembali.
2) Apabila dalam kepailitan tidak diangkat panitia kreditor, Kurator memerlukan izin Hakim Pengawas untuk melanjutkan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Penetapan hakim pengawas tentu saja melegakan. PT DI dapat melanjutkan operasinya lewat seizin kurator setelah sebelumnya harta pailit dibekukan. Setelah ada putusan pailit, kurator menjalakan tugas berdasarkan Pasal 98 UU Kepailitan, yang berbunyi: “Sejak mulai pengangkatannya, Kurator harus melaksanakan semua upaya untuk mengamankan harta pailit dan menyimpan semua surat, dokumen, uang, perhiasan, efek, dan surat berharga lainnya dengan memberikan tanda terima.”
Taufik bercerita bahwa beberapa waktu lalu Direksi DI datang dan meminta operasi perusahaan tersebut tidak berhenti mengingat adanya prestasi lewat kontrak-kontrak yang bila tidak dipenuhi akan ada denda. Apabila denda dijauthkan pada akhirnya harta pailit akan terbebani.
Selain itu juga ada kemungkinan disepakatinya kontrak potensial yang bila dilanjutkan dapat menguntungkan harta pailit. “Hal-hal seperti itu yang menjadi concern. Termasuk pengeluaran sehari-hari PT DI, yakni gaji karyawan sekarang. Tanpa mengurangi hak-hak kreditur, hal itu masuk akal untuk ditempuh” ujarnya beberapa waktu lalu.
Selain permohonan melanjutkan operasinya, menurut Zulfahmi, kurator dan debitur PT DI juga mengusulkan agar jumlah kurator ditambah. Ide ini kemudian diteruskan kepada majelis hakim yang memutus perkara, oleh Zulfahmi.
Pailitnya PT DI cukup menghebohkan mengingat statusnya sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Perusahaan ini dipailitkan sejak 4 September 2007 setelah mantan karyawan sebagai pemohon pailit dianggap telah berhasil membuktikan terpenuhinya syarat pailit. Utang kepada mantan karyawan dihitung dari kekurangan pembayaran kompensasi pensiun berdasarkan Putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) tanggal 29 Januari 2004, yang telah berkekuatan hukum tetap.
Salah satu amar dalam putusan P4P itu mewajibkan PT DI memberikan kompensasi pensiun dengan berdasarkan upah pekerja terakhir dan jaminan hari tua sesuai dengan UU No. 3/1992. Total pembayaran yang harus dibayar PT DI kepada 6.500 mantan karyawannya diperkirakan sebesar Rp200 miliar.
Rencananya PT DI akan menggelar rapat pertama dengan para kreditur pada 24 September 2007 mendatang. Dalam rapat yang nantinya dipimpin oleh hakim pengawas, kurator akan melaporkan hasil kerjanya.


MA Batalkan Kepailitan PT DI
Bersamaan dengan rapat verifikasi utang di PN Jakarta Pusat 22 Oktober lalu, ternyata Mahkamah Agung mengambil keputusan mengeOctober 29, 2007
Eks Pekerja PT DI Kian Menderita
Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menyatakan PT Dirgantara Indonesia (PT DI) pailit (Jawa Pos, 25-10-07). Dengan putusan MA tersebut, status hukum PT DI dikembalikan semula seperti sebelum terjadi kepailitan.
Putusan MA ini juga menjadi bukti penindasan habis-habisan hak-hak normatif pekerja/buruh. Ironisnya, pelaku penindasan hak-hak normatif buruh tersebut adalah pemerintah selaku pemegang saham PT DI.
Sebenarnya tidak terlalu mengherankan jika substansi putusan MA itu dianalisis. Ketidakheranan tersebut karena MA sudah biasa mengeluarkan putusan yang tidak berkualitas.
Saya telah membuktikan sendiri ketika melakukan riset disertasi doktor yang meneliti lebih dari seribu putusan kepailitan, di mana ditemukan, antara lain, banyaknya putusan pailit yang melanggar norma dan prinsip hukum yang ada. Antara satu putusan dan putusan yang lain saling bertentangan.
Argumentasi MA dalam putusan kepailitan PT DI itu sangat bertentangan dengan UU No 37/2007 tentang Kepailitan dan PKPU. MA berpendapat bahwa PT DI tidak dapat dimohonkan pailit oleh (eks) pekerjanya karena PT DI adalah perusahaan BUMN.
Dalam UU Kepailitan memang ada ketentuan yang menyatakan bahwa dalam hal debitor adalah perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan (vide, Pasal 2 ayat (5).
Akan tetapi, dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa yang dimaksud dengan "BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik" adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Atau dengan kata lain, BUMN yang diajukan kepailitannya oleh Menkeu adalah BUMN yang berbentuk perum. Sedangkan PT DI merupakan BUMN persero dan saham-saham PT DI pun terbagi-bagi.
PT DI merupakan perusahaan BUMN yang berbentuk persero. Saham PT DI secara nyata terbagi dalam saham-saham, di mana pemegang sahamya, antara lain, menteri keuangan dan menteri BUMN. Bahkan, PT Perusahaan Pengelola Aset yang merupakan lembaga pengganti BPPN juga diduga menguasai sebagain besar saham PT DI sebagai swap (penukar) atas utang-utang PT DI yang macet total terhadap BPPN.
Hal ini menjadi fakta hukum yang tidak terbantahkan oleh siapa pun bahwa PT DI bukan perusahaan BUMN yang sahamnya tidak terbagi atas saham sehingga harus menteri keuangan yang memiliki legal standing in judicio. Tetapi, mengapa MA berpendapat bahwa hanya menteri keuangan yang dapat mengajukan permohonan pailit atas PT DI?
Dalam pada itu, argumentasi MA yang lain yang sangat tidak berkualitas adalah PT DI tidak dapat dimohonkan pailit karena berkaitan dengan aset negara yang tidak dapat dilakukan sita umum oleh pengadilan.
Dalam hal ini MA lupa bahwa PT DI adalah perusahaan BUMN persero, di mana aset negara yang disertakan dalam persero adalah aset negara yang sudah dipisahkan sebagai bentuk penyertaan saham. Perusahaan BUMN yang persero secara penuh tunduk pada rezim hukum perusahaan yang nota bene hukum privat dan tidak tunduk pada rezim hukum publik.
Hal ini juga secara tegas dinyatakan dalam Pasal 11 UU BUMN (UU No 19 Tahun 2003) bahwa terhadap persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UUPT.


Lonceng Kematian
Terlepas dari persoalan hukum kepailitan, putusan MA itu menjadi lonceng kematian bagi nasib (eks) pekerja PT DI. Sudah lebih dari empat tahun para (eks) pekerja PT DI mengemis-ngemis hak yang seharusnya mereka terima, yakni hak-hak pesangon dan hak dana pensiun lainnya.
Tidakkah para penguasa negeri ini merasa iba atas wajah-wajah memelas dari anak-anak yang digendong orang tuanya yang hampir gila memperjuangkan nasibnya ini. Tidakkah mereka juga tersentuh hatinya mendengar bahwa (eks) pekerja PT DI tersebut untuk menyambung hidupnya menjual harta benda yang sedikit dimilikinya serta bekerja apa adanya dan bahkan mau bekerja sebagai pemulung dan penjual es krim asongan. Padahal, mantan pekerja PT DI adalah pekerja-pekerja dengan berkeahlian tinggi.
Pemerintah yang seharusnya menjadi uswatun hasanah (suri tauladan) dalam hubungan industrial malah dengan tidak malunya mempertontonkan contoh yang sangat buruk.
Betapa hipokritnya, menteri tenaga kerja yang akhir-akhir ini gencar menyosialisasikan RPP Pesangon dengan mengatakan bahwa banyak pekerja/buruh yang tidak dibayar pesangonnya karena pengusaha melarikan diri ke luar negeri, sementara Tuan sendiri membiarkan perusahaan negara yang mengemplang hak-hak normatif pekerjanya. Di mana suara menteri tenaga kerja dalam pemenuhan hak normatif pekerja PT DI yang di-PHK?
Dalam konteks hubungan industrial, peran pemerintah adalah sebagai regulator dan supervisor untuk menjaga kondusivitas hubungan industrial itu. Epistemologi perlindungan hukum seharusnya diberikan kepada pekerja/buruh yang secara ekonomis kurang diuntungkan dibandingkan dengan perusahaan.
Lantas, kenapa dalam kaitan dengan PT DI ini negara mengabaikan nasib pekerja yang nota bene adalah warga negara sendiri dan malah melindungi PT DI yang jelas-jelas merugikan keuangan negara.
PT DI telah menghabiskan uang negara triliunan rupiah tanpa ada return on investment yang memadai kepada negara. PT DI setidak-tidaknya telah membebani negara dengan modal awal lebih dari Rp 2 triliun, lalu berutang ke BPPN lebih dari Rp 2 triliun, ke Menkeu Rp 1 triliun, mengambil dana reboisasi hutan lebih dari Rp 400 miliar.
Dan terakhir PT DI mendapat investasi untuk pembuatan pesawat N-250 sebesar 2,2 triliun. Tapi karena kebobrokan manajemennya, jangankan mampu menjual produksinya secara memadai, untuk mendapat sertifikasi pesawat N-250 pun gagal total.
Dr M. Hadi Shubhan, ahli hukum perburuhan dan hukum kepailitan pada Program Sarjana Fakultas Hukum Unair (hadi_unair@yahoo.com)nai perkara PT Dirgantara Indonesia. MA membatalkan perusahaan yang berlokasi di Bandung itu dengan alasan pegawai PT DI tidak berhak mengajukan permohonan pailit sebuah BUMN yang bergerak di bidang publik. Majelis yang dipimpin Mariana Sutadi berpendapat meskipun PT DI berstatus persero, seluruh sahamnya masih dimiliki oleh negara. Oleh karena itu, yang berhak mengajukan pailit PT DI adalah Meneg BUMN.
(KML)annya terbagi atas saham bisa diajukan pailit walaupun bukan oleh Menteri Keuangan.

Metrotvnews.com, Jakarta: Majelis hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat mengabulkan gugatan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI) yang diajukan Serikat Pekerja Komunikasi Karyawan PT DI. PT DI. Dalam sidang gugatan pailit di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, hari ini, PT DI dinyatakan pailit karena memiliki utang kepada lebih dari dua kreditur yang belum terbayarkan. Keputusan ini disambut ribuan eks karyawan PT DI yang sengaja datang ke PN Jakpus.
Gugatan pailit disampaikan sekitar 6.500 mantan karyawan PT DI. Dalam sidang itu, majelis hakim yang diketuai Adriani Nurdin menyatakan pemohon pailit, yaitu 6.500 eks karyawan yang belum mendapat kompensasi pesangon memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan pailit. Dan dalam persidangan, pemohon dapat membuktikan dalil gugatannya.
Selain mengajukan bukti keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), pemohon juga mengajukan dua kreditur lain ke persidangan. Dua kreditur yang diajukan adalah Neli Ratna Sari sebesar Rp 15 juta dan Supriadi Jasa senilai Rp 75 juta. "Sidang menyatakan pemohon PT Dirgantara pailit dengan segala hukumnya," kata Andriani.
Adriani menyatakan, syarat-syarat pailit telah dipenuhi PT DI sesuai Pasal 2 ayat 5 Undang-undang Kepailitan, yaitu karena PT DI berbentuk persero yang 51 persen sahamnya dimiliki menteri keuangan. Majelis hakim juga menilai, hingga saat ini PT DI belum mampu menyelesaikan utang berupa pesangon mantan karyawan PT DI yang terkena pemutusan hubungan kerja. PT DI juga diminta memenuhi tuntutan karyawan PT DI untuk membayar dana kompensasi pensiun senilai Rp 215 miliar.
Keputusan tersebut disambut gembira sekitar 3000 mantan karyawan PT DI yang tergabung dalam Serikat Pekerja Komunikasi Karyawan PT DI. Sejak pagi mereka telah berkumpul di depan PN Jakpus. Para mantan karyawan PT DI sempat melakukan orasi sebelum memasuki ruang sidang. Sementara itu, menanggapi keputusan tersebut, kuasa hukum PT DI mengaku kec

Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat terkait kasus pailit yang menimpa PT Dirgantara Indonesia.
“MA menerima permohonan kasasi PT DI dan dibacakan pada Senin 22 Oktober lalu,” kata ketua majelis perkara Mariana Sutadi di sela-sela pelantikan 8 Kepala Pengadilan Tinggi di Gedung MA, Jl Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (24/10/2007).
Dalam pertimbangannya, majelis hakim kasasi menilai pegawai PT DI tidak berhak mengajukan perkara kepailitan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di bidang publik seperti halnya PT DI.
Mariana menjelaskan, sesuai penjelasan dalam pasal 2 ayat 6 UU Kepailitan disebutkan, yang dimaksud BUMN bergerak di bidang publik adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham.
Modal PT DI, menurutnya, secara keseluruhan dimiliki negara, namun terbagi atas saham yang pemegang, yakni Menneg BUMN dan Menteri Keuangan.
“Karena untuk memenuhi aturan ketentuan UU Perseroan Terbatas, perseroan hanya boleh dimiliki minimal 2 orang. Meski demikian, tetap seluruh modalnya dimiliki negara,” jelasnya.
Sehingga menurut UU Kepailitan, yang berwenang mengajukan perkara kepailitan atas sebuah BUMN itu adalah Menkeu. Selain itu, majelis kasasi juga merujuk pada lampiran Keputusan Menteri Perindustrian yang meneran
gkan bahwa PT DI, PT Krakatau Steel serta yang lainnya adalah objek industri vital milik negara. (ndr/sss/detik)


PT Dirgantara Indonesia Dinyatakan Pailit
Hukum
Inilah.com, Jakarta – Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI) karena terbukti memiliki utang kepada lebih dari dua kreditur yang belum terbayar.
Dalam sidang putusan di PN Jakarta Pusat, Selasa, majelis hakim yang diketuai Andriani Nurdin menyatakan pemohon pailit, yaitu 6.500 mantan karyawan yang belum mendapatkan hak kompensasi pesangon mereka, memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan pailit.
Majelis menilai PT DI yang berbentuk perusahaan terbatas bukanlah BUMN yang sahamnya seratus persen dimiliki oleh negara dengan kepemilikan saham yang tidak terbagi, sehingga Menteri Keuangan bukanlah satu-satunya yang dapat menggugat pailit PT DI.
Majelis menyatakan, pemohon dapat membuktikan dalil gugatannya, karena selain mengajukan bukti keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P), pemohon juga mengajukan dua kreditur lain ke persidangan, yaitu Neli Ratna Sari senilai Rp15 juta dan Supriadi Jasa senilai Rp79 juta.
Majelis menilai, PT DI belum melaksanakan butir ketiga putusan P4P tertanggal 29 Januari 2004, yaitu bahwa PT DI harus membayarkan kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua sesuai perhitungan gaji pokok terakhir, senilai Rp200 miliar kepada 6.500 mantan karyawan mereka.
Majelis menyatakan, PT DI telah memenuhi kualifikasi untuk dipailitkan seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yaitu termohon memiliki utang kepada dua kreditur atau lebih yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
"Majelis menilai, tidak ada fakta dan bukti-bukti yang dapat mendukung sangkalan termohon pailit bahwa tidak ada utang yang harus dibayar. Sebaliknya, bukti-bukti yang ada justru mendukung dalil pemohon bahwa utang telah jatuh waktu dan dapat ditagih," tuturnya.
Majelis merujuk pada pada surat peringatan Menakertrans tertanggal 5 Oktober 2004 bahwa PT DI harus segera melaksanakan putusan P4P tertanggal 29 Januari 2004 dalam waktu paling lambat 30 hari.
Majelis juga menyebutkan telah ada pertemuan pada Mei 2006 untuk mencari penyelesaian putusan P4P namun tidak ada jalan keluar karena beda penafsiran dari termohon pailit.
Majelis menyatakan, meski proses hukum perlawanan sita aset yang diajukan oleh PT DI masih berlangsung di PN Bandung, bukan berarti gugatan pailit dari mantan karyawan PT DI tidak dapat diterima.
Majelis menganggap tidak beralasan tanggapan termohon pailit, yaitu bahwa PT DI adalah obyek vital nasional yang memiliki rencana kerja yang jelas serta program kerja hingga 2017.
"Pada kenyataannya dokumen itu hanyalah estimasi yang tidak berdasarkan sarana dan prasarana serta modal yang mendukung," kata hakim anggota Heru Pramono. Bahkan, majelis menyebutkan, PT DI pada 2006 justru menderita rugi senilai Rp78 miliar.
"Berdasarkan hal-hal tersebut, majelis menilai tidak ada lagi alasan bagi majelis hakim untuk mempertahankan eksistensi termohon pailit," ujar Heru.
Putusan majelis hakim itu langsung disambut teriakan haru "Allahu Akbar" dari ratusan mantan karyawan PT DI yang memenuhi ruang sidang.
Majelis hakim menunjuk kurator Taufik Nugroho untuk melakukan penilaian aset PT DI serta hakim pengawas Zulfahmi dari PN Niaga pada PN Jakarta Pusat.
Kuasa hukum PT DI, Puguh Wirawan, menyatakan kecewa atas putusan tersebut dan mengatakan akan mengajukan kasasi.(bs/ant)
Mahkamah Agung Batalkan Putusan Pailit PT DI

Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) dalam putusan kasasi yang dikeluarkan 22 Oktober 2007 membatalkan putusan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI).
Meski demikian, ketua majelis hakim agung yang memutus perkara tersebut, Mariana Sutadi, di Gedung MA, Jakarta, Rabu, mengatakan masih terbuka kemungkinan bagi mantan karyawan PT DI untuk menuntut hak pesangonnya melalui mekanisme gugatan lain.
"Masih terbuka lebar pintu untuk gugatan, bisa melalui perdata. Tetapi, yang paling baik adalah melalui mediasi," ujarnya.
Berlawanan dengan pertimbangan hukum Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memailitkan PT DI pada 4 September 2007, MA menyatakan mantan karyawan PT DI sebagai pemohon pailit tidak memiliki kedudukan hukum untuk menggugat pailit PT DI.
Meski PT DI adalah BUMN berbentuk persero yang modalnya terbagi atas saham, namun menurut MA, saham PT DI seluruhnya dimiliki oleh negara yang diwakili oleh Meneg BUMN dan Menteri Keuangan.
"Karena itu, yang berhak menggugat pailit hanya Menteri Keuangan," ujar Mariana.
Putusan MA yang mengabulkan permohonan kasasi dari PT DI itu sekaligus membatalkan Putusan Pengadilan Niaga pada PN Jakarta Pusat yang memailitkan PT DI.
Pertimbangan MA, menurut Mariana, ditambah oleh adanya surat keterangan dari Menteri Perindustrian bahwa PT DI bersama dengan beberapa BUMN lainnya seperti Krakatau Steel adalah obyek industri vital negara.
Mariana menjelaskan dengan adanya putusan MA itu, maka semua aktivitas penilaian aset PT DI yang kini tengah dilakukan oleh kurator dan rapat-rapat kreditor dihentikan. ia menegaskan MA baru memeriksa kedudukan hukum para pemohon pailit dan belum masuk pada substansi permohonan.
"Untuk apa diperiksa substansinya apabila kedudukan hukumnya saja tidak terpenuhi. Karena itu, bunyi keputusannya mengabulkan permohonan kasasi PT DI tanpa memeriksa materi," katanya. Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat pada 4 September 2007 menyatakan pailit PT Dirgantara Indonesia (DI), karena terbukti memiliki utang kepada lebih dari dua kreditur yang belum terbayar.
Majelis Hakim PN Jakarta Pusat menilai, PT DI belum melaksanakan butir ketiga putusan P4P tertanggal 29 Januari 2004, yaitu bahwa PT DI harus membayarkan kompensasi dana pensiun dan tunjangan hari tua sesuai dengan perhitungan gaji pokok terakhir, senilai Rp200 miliar kepada 6.500 mantan karyawan mereka. PT DI, oleh pengadilan tingkat pertama, dinyatakan telah memenuhi kualifikasi untuk dipailitkan seperti yang diatur dalam pasal 2 ayat 1 UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan, yaitu termohon memiliki utang kepada dua kreditur atau lebih yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.
Putusan kasasi MA yang membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama itu diambil pada 22 Oktober 2007 secara bulat oleh Majelis Hakim Agung yang diketuai Mariana Sutadi serta beranggotakan Atja Sondjaya dan Abdul Kadir Mappong. (*)

Related Posts by Categories



Comments (0)