Nanoteknologi, Antara Impian dan Kenyataan

       Sudah menjadi rahasia umum bahwa negara-negara maju di dunia, seperti Amerika Serikat, Jepang, Australia, Kanada dan negara-negara Eropa, serta beberapa negara Asia, seperti Singapura, Cina, dan Korea tengah giat-giatnya mengembangkan suatu cabang baru teknologi yang populer disebut Nanoteknologi. Milyaran dollar dana mulai dikucurkan di negara-negara ini, di berbagai bidang penelitian. Semuanya berlomba-lomba menggunakan kata kunci Nanoteknologi. Sebenarnya apa itu nanoteknologi? Dan mengapakah begitu banyak peneliti di berbagai negara berlomba-lomba memasuki bidang yang satu ini? Seberapa luaskah ruang lingkupnya? Mengapakah baru beberapa tahun ini terjadi boom nanoteknologi?

 

Sesuai dengan namanya, nanoteknologi adalah teknologi pada skala nanometer, atau sepersemilyar meter. Untuk dapat membayangkan dimensi nanometer, bisa kita ambil contoh dari tubuh kita sendiri.

Sehelai rambut manusia kira-kira memiliki diameter 50 mikrometer. Satu mikrometer sendiri adalah seperseribu milimeter. Dan satu milimeter adalah ukuran satuan panjang terkecil pada penggaris tulis 30 cm yang biasa dipakai anak-anak sekolah. Dan satu nanometer adalah seperseribu mikrometer, atau kira-kira sama dengan diameter rambut kita yang telah dibelah 50.000 kali!!  Sebagai perbandingan lain, ukuran sel darah merah kita adalah sekitar 20 mikro meter, dan sel bakteri perut adalah 2 mikro meter. Protein memiliki ukuran beberapa puluh nanometer.

Dari sudut pandang ukuran atas ke bawah (top-down) seperti itu, nanoteknologi menjadi penting dalam dunia rekayasa karena manusia berusaha untuk mengintegrasikan suatu fungsi atau kerja dalam skala ukuran yang lebih kecil dan lebih kecil. Mengapa? Orang bilang, "small is beautiful (kecil itu indah)", tetapi, tentu saja mengintegrasikan suatu fungsi mesin atau perkakas dalam ukuran yang lebih kecil bukan hanya berarti memperindahnya tapi juga berarti memperkecil energi yang diperlukan per suatu fungsi kerja dan berarti pula mempercepat proses serta mempermurah biaya pekerjaan. Sebagai contoh yang mudah kita pahami adalah apa yang terjadi pada dunia komputer dan mikroprosesor. Pabrik-pabrik mikroprosesor seperti IBM, Intel dan Motorola terus berusaha mempertinggi tingkat integrasi mikroprosesornya.

Sekira sepuluh sampai lima belas tahun yang lalu, jarak antar gate (gerbang) MOS (Semikonduktor oksida logam) adalah 0,75 m, dan level integrasinya pada 5P 80386 hingga 80486 adalah sekira 100.000 sampai 1 juta transistor dalam satu chip. Tapi, pada Pentium IV, teknologi pemrosesan IC (rangkaian terintegrasi) yang dipakai telah berhasil memperkecil jarak antar gerbang menjadi hanya 0,125 m dan mencapai level integrasi hingga 100 juta transistor dalam satu keping chip.

Jarak yang lebih kecil antar gerbang berarti makin kecilnya waktu yang diperlukan untuk perjalanan suatu elektron (artinya switching rate makin cepat) dan berarti pula makin kecilnya daya yang diperlukan prosesor tersebut. Lebih dari itu, makin banyak fungsi yang bisa diintegrasikan dalam prosesor tersebut, seperti built-in multimedia, pemrosesan suara, dan lain sebagainya.

 

Selain itu, teknologi pemrosesan IC ini mulai digunakan pula untuk mengintegrasikan fungsi-fungsi mekanik dan elektrik untuk membuat mesin, sensor atau aktuator pada ukuran milli, mikro, hingga nanometer. Struktur mikro yang mengintegrasikan fungsi mekanik dan elektrik inilah yang biasa disebut Micro Electro Mechanical System (MEMS). Sebagai contoh teknologi MEMS memungkinkan pembuatan array sensor tekanan yang berukuran demikian kecil (Gambar 1) hingga dapat ditaruh di mana saja di suatu struktur bangunan atau mesin, misalnya.

Namun, apakah nanoteknologi hanya berkutat dengan rekayasa IC dan mikroelektronika yang kemudian diterapkan pula untuk mikromekanika? Jika hanya demikian apakah perlunya terminologi ini demikian digembar-gemborkan akhir-;akhir ini?

Ternyata memang nanoteknologi yang kini tengah booming tidak hanya terkait dengan rekayasa konvensional top-down IC atau MEMS. Semuanya ini bermula dari pidato ilmiah pemenang Nobel, Richard Feynman tahun 1959, yang berjudul "There is plenty room at the bottom" (Ada banyak ruang di bawah), yang kini banyak dikutip para peminat nanoteknologi.

Saat itu Feynman mengatakan, adalah mungkin (setidaknya saat itu masih dalam impian) untuk membuat suatu mesin dalam ukuran demikian kecil, yang kemudian dapat digunakan untuk memanipulasi material pada skala ukuran tersebut. Bahkan, saat itu Feynman menyatakan pula, seandainya seorang fisikawan dibekali "mesin" yang tepat untuk memanipulasi atom dan menaruhnya pada tempat yang sesuai, maka ia secara teoritis dapat membuat senyawa atau molekul apa saja, tentu saja yang stabil energinya (stabil = level energi minimum).

Sistem seperti itu, sekalipun bukan pada level atom, setidaknya telah ada di alam, sebagaimana telah ditulis pula oleh K. Eric Drexler dalam landmark papernya tahun 1981, dan mengenalkan istilah molecular manufacturing (manufaktur molekular). Dalam karya tulisnya tersebut, Drexler memberikan beberapa contoh, betapa mesin-mesin berukuran nanometer telah ada di alam dan bagaimana mereka telah terlibat dalam penyusunan molekul dan informasi dalam sel makhluk hidup. Misalnya, ribosom yang menyusun asam amino satu demi satu berdasarkan informasi RNA, untuk memfabrikasi protein, kemudian sistem genetika (enzim-enzim DNA polymerase, RNA polymerase, dll) yang menyimpan dan mengolah informasi genetik, flagella (semacam struktur 'rambut') pada bakteria sebagai motor penggerak, dan lain sebagainya.

Kemampuan untuk memanipulasi material pada skala nanometer adalah penting, sebab pada skala ukuran inilah material mulai membentuk sifat-sifat tertentu berdasarkan strukturnya. Pada level yang lebih kecil, level atomik (skala Angstrom), sifat yang dimiliki adalah sifat dasar atom itu sendiri. Ketika atom mulai bergandeng satu sama lain dan menyusun struktur molekular tertentu, sifatnya pun akan berbeda menurut struktur tersebut. Misalnya, atom Karbon (C), yang ketika tersusun dalam struktur tetrahedron tiga dimensi akan membentuk intan yang keras, tetapi ketika tersusun dalam struktur heksagonal dua dimensi dan membentuk lapisan-lapisan, maka yang kita dapati adalah grafit (bahan baku pensil) yang rapuh.

 

Nanoteknologi manufaktur molekular diarahkan pada pengembangan metoda (misal berupa 'mesin' berukuran nanometer) yang dapat melakukan penyusunan atom atau molekul komponen tersebut secara teratur dan terkendali untuk membentuk struktur yang diinginkan. Model fabrikasi material bawah ke atas (bottom-up) yang berlawanan dengan teknologi top-down konvensional seperti ini akan memungkinan pengontrolan yang amat presisi sifat material yang terbentuk (misalnya bebas defek/cacat).

Selain itu mengurangi timbulnya limbah saat fabrikasi karena hanya atom/molekul yang akan dipakai saja yang dimanipulasi (berbeda dengan metode atas-bawah yang kerap menimbulkan limbah akibat adanya material yang tak terpakai), dan tentu saja kemungkinan penghematan energi yang juga berarti penghematan biaya. Sistem fotosintesis pada tanaman misalnya adalah suatu contoh sistem manufaktur molekular dengan efisiensi energi yang tinggi.

Masalahnya kemudian, bagaimanakah komponen atom atau molekul tersebut dapat disusun? Seperti juga pendekatan ribosom pada sel, Drexler mengusulkan dibuatnya "lengan-lengan" robot dan komponen mesin lainnya berukuran nano yang memungkinkan untuk melakukan proses-proses layaknya fabrikasi pada level makro: sortir material, konversi energi, penempatan material, dll.

Metode ini disebut Mekanosintesis, melakukan sintesis kimia secara mekanis. Beberapa struktur mesin ukuran nano (yang dibentuk dari beberapa ribu hingga juta atom) telah berhasil disimulasi dengan komputer, yang berarti secara matematis dan fisis mungkin untuk dibuat. Sebagai contoh adalah dinding ruang berisi bahan material dan rotor pompa yang berfungsi memilih secara selektif atom Neon (Ne) untuk siap dipakai pada proses selanjutnya (Gambar 2). 

Masalah berikutnya, seandainya struktur seperti itu memang "mungkin" (baca: stabil secara termodinamis) untuk dibuat, bagaimanakah proses untuk membuat struktur-struktur awal yang akan digunakan sebagai mesin-mesin untuk fabrikasi nano berikutnya? Dan dari manakah energi penggerak mulanya?

Beberapa alternatif telah mulai diusulkan dicoba untuk mengatasi masalah pertama. Nadrian Seeman mencoba untuk membuat struktur-struktur dasar tersebut dari molekul DNA (asam deoksiribonukleat, senyawa dasar gen) dengan mengandalkan sifat swa-rakit (self-assembly) dari DNA, yaitu Adenin berikatan dengan Thymin dan Guanin berikatan dengan Cytosin.

Dengan mensintesis DNA dengan deret tertentu, Seeman berhasil membuat bentuk-bentuk dasar kubus dan devais nanomekanik DNA. Peneliti lain di NASA Ames Research Center mensimulasi penggunaan Tabung Nano Karbon (suatu struktur atom karbon berbentuk tabung berdimensi nanometer yang disintesis dengan prinsip swa-rakit dari karbon, menggunakan katalis logam tertentu) untuk membentuk gir dan poros mesin. Struktur gir atau poros bisa dibuat dari tabung nano karbon dengan reaksi kimia tertentu untuk "menempatkan" gugus molekul kimia berbentuk roda (misal benzena) di sekeliling tabung (Gambar 3). 

Cara lain untuk menyusun komponen atom atau molekul pada tahap awal ini adalah dengan menggunakan instrumen nanoteknologi, seperti Mikroskop Gaya Atom (Atomic Force Microscope, AFM), dan Mikroskop Pemindaian Terobosan Elektron (Scanning Tunneling Microscope, STM). Prinsip dasar kedua mikroskop tersebut adalah seperti menggerakkan "tangan peraba" dalam koordinat x-y, sambil mempertahankan jarak (koordinat z) antara "tangan peraba" dengan sampel yang dipelajari (Gambar 4).

Disebut "tangan peraba" karena memang mikroskop-mikroskop ini tidak lagi memakai cahaya sebagai alat pencitraan akibat keterbatasan cahaya pada skala nanometer (adanya efek difraksi cahaya). AFM mendeteksi gaya non kovalen (non ikatan kimia, seperti gaya elektrostatik dan gaya Van der Waals) antara sampel dengan "tangan peraba", sedangkan STM mendeteksi terobosan elektron dari "tangan peraba" yang menembus sampel dan diterima suatu detektor di bawah sampel.

 

Mula-mula memang instrumen-instrumen ini terbatas hanya digunakan untuk keperluan karakterisasi atau 'pencitraan' sampel. Tapi, belakangan ini, mulai pula digunakan untuk memanipulasi molekul dan atom. Dengan mengubah besar arus terobosan pada STM misalnya, kita bisa mengambil atom O dan mereaksikannya dengan molekul CO untuk membentuk molekul CO2 dan semuanya ini dilakukan dengan presisi molekul tunggal. Pada reaksi kimia biasa, diperlukan cukup banyak komponen molekul yang bereaksi untuk memungkinkan, secara statistik, terjadinya "tumbukan" antar molekul tersebut.

Berkenaan dengan masalah suplai energi struktur mesin pada skala nano, Prof. Montemagno di University of California at Los Angeles telah berhasil mencoba menggunakan bio-nanomotor alami F1-ATPase untuk menggerakkan propeler yang dibuat dengan teknologi MEMS. Bernard Yurke di Bell Labs. menggunakan DNA untuk mencoba membuat nano-motor.

Alternatif lain yang mungkin adalah mengkombinasikan nanoteknologi atas-bawah MEMS dengan nanoteknologi bawah-atas. Motor elektrik dan pembangkit energi (misal baterai lapisan tipis) pada skala mikrometer dengan teknologi MEMS telah banyak dilaporkan. Berikutnya tinggal mentransmisikan gerak dari motor tersebut ke struktur "lengan" robot pada skala yang lebih kecil - nanometer.

Impian nanoteknologi untuk dapat memanipulasi bahan dengan tingkat fleksibilitas sama dengan yang telah dicapai manusia dalam memanipulasi data dengan teknologi informasi, mungkin masih terasa jauh dan masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan. Namun, dalam perkembangannya yang masih muda saat ini pun, nanoteknologi telah memberikan warna baru dalam bidang-bidang lain.

Penerapan nanoteknologi dalam bioteknologi analitis misalnya memungkinkan metode-metode baru yang jauh lebih sensitif dan stabil dibandingkan metode konvensional. Perkembangan MEMS, yang sekalipun berangkat dari teknologi konvensional IC, masih berlangsung demikian pesat, dengan adanya aplikasi-aplikasi baru dalam optik (muncul MOEMS - Micro Optical Electro Mechanical System), dalam sistem sensor terintegrasi nir-kawat, dan juga dalam aplikasi RF (Radio Frequency)-MEMS.

Pada pengembangan nanoteknologi inilah demikian terasa, betapa latar belakang ilmu dan teknologi yang multi disiplin sangat diperlukan: matematika untuk pemodelan, fisika untuk pemahaman fenomena-fenomena gaya dan energi, kimia (anorganik maupun organik) untuk pemahaman sifat material, serta biologi untuk pembelajaran sistem-sistem rekayasa pada makhluk hidup.

Selain itu kreativitas dan daya kreasi yang tinggi sangat diperlukan untuk menemukan terobosan teknik dan metoda baru, serta aplikasi yang cocok. Tentu saja keluhuran moral dan agama tetap diperlukan agar penerapan teknologi ini tidak malah merugikan keberlangsungan hidup ummat manusia. 

Dedy H.B. Wicaksono, Alumnus Teknik Fisika ITB, kandidat doktor bidang Biomimetic Sensor di Dept. Microelectronics, Technische Universiteit Delft, Belanda.

Related Posts by Categories



Comments (0)